#21

24 1 4
                                    

Hari itu akhirnya tiba. Langit cerah di Jumat sore menjadi awal langkah Shane dan Jovi menuju kampung halamannya.

"Jov, lo beneran udah sehat 100% kan?" tanya Shane. Matanya meneliti tiap bagian tubuh Jovi, memastikan semuanya dalam keadan baik, tidak ada lagi bagian memar dan luka.

Setelah sekiranya Jovi menginap di rumah sakit, akhirnya ia pun diijinkan pulang. Pendarahan kecil dikepalanya memang sempat membuatnya tak sadarkan diri selama 3 hari. Dan sejak kakinya kembali melangkah di teras rumahnya, Jovi tak hentinya mengucap syukur.

Jovi tertawa pelan. "Perhatian banget sih kamu…" Shane menatap cowok itu tajam ketika pipinya dicubit gemas. "Sehat 100% kok. Yuk, berangkat. Nanti takut keburu ujan."

Hanya 3 hari. Bahkan tidak sampai 3 hari penuh, karna mereka berangkat jumat sore dan harus kembali minggu malam untuk bisa bersekolah di hari seninnya.

Shane melangkah ringan memasuki mobil. Ia mengangguk singkat pada Papanya Jovi ketika beliau menanyakan kesiapannya. Lalu mobil melaju, menuju tempat dimana semuanya dulu terasa begitu indah.

Shane melirik Jovi yang duduk diam di sebelahnya sambil memakan kripik singkong. Bahkan, ia tidak sadar bagaimana mereka bisa kembali akur seperti ini—seperti dulu.

— — —

Neysa mendesah pelan sambil melambai pada Shane yang sudah menjauh bersama Jovi dan motornya melewati gerbang sekolah. Akhirnya, mereka akan kembali berkunjung ke kampung halaman. Walaupun hanya sampai minggu, tapi ia bersyukur. Setidaknya ia tidak kehilangan teman sebangku saat sekolah di hari senin tadi.

Di belakangnya, tanpa ia sadari, seseorang sedang menunggunya sambil mengetuk-ngetuk helm di pelukannya. "Udah selesai, salam perpisahannya?"

Neysa terlonjak mendengar seruan yang tiba-tiba itu. Ia sangat mengenal pemilik suara itu. Lantas ia menoleh dengan alis terangkat.

"Shane udah pulang sama Jovi. Jadi, lo ga ada temen pulang bareng, kan? Nah..." Daren memakai helm yang digenggamnya, lalu menyerahkan helm lain pada Neysa. "Sekarang lo pulang sama gue aja."

Kalau biasanya, Neysa akan langsung menolak dengan ucapan yang tak kalah tajam dengan tatapannya. Namun, kali ini ia justru termenung menatap helm yang disodorkan padanya. Tangannya ingin terulur untuk menerima, namun ego menahannya. Mulutnya perlahan terbuka. "Ga perlu."

Ia berbalik, meninggalkan Daren yang menatap punggungnya dengan sendu.

Detik berikutnya, pertanyaan Daren membuat langkah Neysa terhenti. "Kalau gue anter jenguk Carlos, lo mau?"

*

Neysa tidak tau kenapa kakinya kembali memijak tanah ini. Bahkan, ia tidak tau kenapa ia mau ke sini bersama seseorang yang sedang ia hindari sekuat tenaga.

Daren berlutut di samping pusara Carlos, lalu mulai menyebar bunga di atasnya, tanpa pedulikan Neysa yang sedang memandangnya penuh arti.

Hingga akhirnya, Neysa ikut berlutut. Menyusul Daren untuk menyebar bunga. Lalu matanya terpejam, dan ketika ia kembali menatap Daren, ada getaran dalam hatinya.

"Gue minta maaf."

Hening.

Kalau kalian pikir itu adalah suara dari Daren, itu salah. Bahkan Neysa sendiri tak tau untuk apa ia meminta maaf.

Daren mengedip beberapa kali sambil menatap Neysa tak percaya. Sedikit, ada secercah harapan dalam bola matanya.

"Lo..." Daren mengusap wajahnya sekilas. "Maaf? Buat?"

Neysa tidak menjawab. Tapi dari pandangannya, Daren bisa mengerti. Akhirnya, ia menghela napas lega. Rasanya seperti terlepas dari ikatan tambang yang kuat.

"Gue yang harusnya minta maaf." Daren tersenyum, namun langsung pudar ketika mendapati Neysa menggeleng.

"Gue mau minta maaf buat Kak Carlos. Bagaimanapun, ini semua udah terjadi. Gue enggak tau kenapa. Tapi, gue mau belajar ikhlas. Biar... Kak Carlos juga tenang."

Tanpa disadari, samar-samar kedua ujung bibir Daren terangkat. Ia menatap nisan Carlos dengan haru. Hai, Carlos. Kali ini, gue janji enggak akan nyakitin adek lo lagi. Kalau gue ingkar janji, lo boleh, samperin gue tengah malem. Tapi, jangan pakai tampang serem, ya. Daren terdiam sejenak mengingat ucapan batinnya. Eh, sorry. Bercanda, hehe. Tapi, bagian tentang adek lo, gue serius!

— — —

Shane menghirup napasnya dalam-dalam ketika kakinya menapaki tanah berumput. Di sini lah, atmosfer rumah selalu terasa menyejukan, sama seperti udara yang ada.

"Ah! Hampir aja lupa." Shane menepuk jidatnya, lalu meraih ponselnya dan mengirim pesan pada Tantenya.

Tante, aku udah sampai Bandung dengan selamat. Minggu malam aku akan pulang. Tante mau oleh-oleh apa?

Sent.

Jovi menepuk pundak Shane. Cewek itu tersenyum ketika Jovi mulai hanyut dalam nostalgia.

"Rumah kita, ternyata masih sama. Untung enggak jadi dijual, ya."

Dulu, ketika masih tinggal di Bandung, Shane dan Jovi adalah tetangga. Dari sana juga lah kisah mereka bermula.

Di pagi harinya, sang fajar datang bersamaan dengan langkah kaki mereka memasuki daerah yang dikenal dengan tempat bersuasana duka.

Shane menatap nisan kedua orangtuanya yang saling bersebelahan dalam sendu sebelum sebuah tepukan melayang dipundaknya.

"Jangan diinget lagi," ucap Jovi sembari tersenyum tulus.

Shane mengangguk dan ikut tersenyum. "Gue masih punya lo dan lainnya. Iya kan?"

— — —

"Kadang, kita ga sadar kalau kita masih punya banyak bintang di sekitar kita, ketika terlalu fokus pada kehilangan bulan."

Ucapan Shane beberapa hari lalu terus mengiang di ingatannya. Terutama, pada saat ini.

Neysa tersenyum ketika Papa menyodorkan gitar listrik yang baru selesai dicoba.

Dibandingkan dengan kedua orangtuanya, Neysa memang lebih sering menghabiskan waktu di rumah dengan Carlos. Jadi, tak heran jika ia begitu kehilangan sosoknya sekarang. Sejak Carlos pergi, ia terus menyalahkan dirinya dan cowok itu—Daren.

Namun, kini, ketika ia menatap pasang mata dari Mama dan Papanya yang terus berbinar ketika menyapanya, mengelus puncak kepalanya, mengajarkan hal-hal kecil, ia tersadar.

Perkataan Shane, benar adanya. Ia masih punya ribuan bintang di sekitarnya.

Tiba-tiba saja, ponselnya berdering. Ia meraihnya dan melirik Papanya sebentar, "aku angkat telpon dulu ya, Pa."

Setelah mendapat anggukan dari Papa dan meletakkan kembali gitarnya, Neysa beranjak sedikit menjauh.

"Halo?"

"Hai."

Pertamakalinya, sejak kejadian itu, Neysa tersenyum mendengar suara Daren lewat ponselnya. Beruntung mereka hanyalah berbincang lewat telepon, jadi ia tidak ketahuan tersenyum.

"Sabtu depan gue ada tanding basket. Lo mau dateng kan?"

Hening. Lagi-lagi, Neysa tersenyum tanpa disadarinya.

Karena tidak mendapati jawaban, lantas Daren melanjutkan. "Ada Jovi juga. Jadi, Shane juga bakal dateng. Mau kan?"

Neysa mengangguk, tersadar Daren tak bisa melihatnya, ia akhirnya bersuara. "Iya."

Lalu sambungan terputus.

Di sisi lain, mendengar satu kata itu saja, berhasil membuat Daren tersenyum. Kehangatan itu kembali terasa. Walaupun Neysa masih seringkali jutek padanya, tapi ia bisa merasakan kalau cewek itu mulai bisa memaafkan dan menerimanya.

Tapi, kalau ia meminta Neysa kembali padanya, apakah mungkin?

MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang