#6

39 2 0
                                    

Shane mengaduk makanannya, mendadak rasa nafsu makannya hilang. Di sebelahnya, Jovi dan Neysa sedang berbincang seru.

"Jadi, lo suka Coldplay juga? Omg, gue juga suka banget!" seru Neysa. Terdengar tawa dari dua orang itu, berbanding terbalik dengan Shane.

Jovi mengangguk semangat. "Lagu-lagunya bagus."

"Ganteng pula!" Neysa terkikik. Di depannya, Jovi juga ikut tertawa. Namun, tak jarang sepasang matanya melirik Shane. Dahinya mengerut, mendadak juga ia teringat dengan janjinya beberapa tahun silam.

"Shan, kenapa ga dimakan?"

Mendengar namanya disebut, Shane mendongak. Senyum tipis terukir di wajahnya. Namun Jovi tau, itu bukan senyum yang biasanya.

"Kenyang,"

"Bukannya lo belum sarapan? Makan lah,"

Neysa memandang sepasang sahabat di depannya dengan bingung. Bagaimana Jovi tau kalau Shane belum sarapan? Ya, ia tau mereka adalah sahabat sejak kecil. Tapi, kenapa? Setaunya, mereka tidak tinggal bersama.

"Jov, gue cariin dari tadi ternyata di sini."

Tiba-tiba sebuah suara memecahkan suasanya. Neysa mengalihkan perhatiannya dari dua orang di depannya, dan mendapati seorang cowok yang tidak ingin ia temui, justru menghampiri meja mereka.

Sesaat, mata mereka bertemu, namun Neysa langsung membuang muka.

"Oy, Dar, sorry. Sini join." ajak Jovi. Lantas Daren mengambil posisi duduk di sebelah Jovi, yang juga berhadapan dengan Shane.

Setelah itu, keadaan kembali hening. Daren merasa kedatangannya merusak suasana. Ia melirik cewek di depannya yang sedang menyantap baksonya dengan tidak nafsu, kemudian Neysa, yang terus memandang arah lain. Ia yakin kalau Neysa tidak ingin dirinya dekat dengannya lagi.

"Gue ganggu ya?"

Jovi menoleh dengan cepat. "Lho, kok ganggu? Ya engga lah."

Daren memaksakan senyum. Tiba-tiba, Neysa berdiri. "Gue balik ke kelas duluan ya,"

Seperginya Neysa, menimbulkan kebingungan yang menyelimuti meja mereka. Jovi memerhatikan punggung Neysa yang menjauh. Dan ketika ia mendapati tatapan aneh dari Daren, ia yakin ada sesuatu diantara mereka.

— — —

Shane menghempaskan tubuhnya di sofa depan tv. Di hari Sabtu seperti ini, Om dan Tantenya libur dari pekerjaan mereka masing-masing. Tapi tetap saja, walau mereka di rumah, mereka tetap sibuk dengan pekerjaannya. Sedangkan disisi lain Shane justru tidak tau mau melakukan apa. Sejak tadi tangannya hanya memencet tombol remot dan berputar-putar saluran tv.

"Shane, dari pada kamu gabut begitu, mending anterin kue ke rumah Jovi. Sekalian silaturahmi sama Mama Papanya. Kemarin kan dia udah anterin kue ke sini."

Shane menoleh ketika mendengar seruan dari Tantenya yang masih berkutat dengan laptop.

"Harus ya, Tan?" jawabnya malas. Setelah kejadian akhir-akhir ini melihat kedekatan antara Jovi dan Neysa, membuatnya semakin malas untuk bertemu cowok itu.

"Iya dong, sayang. Sana gih, mumpung belum siang nanti panas loh. Nanti Tante pesenin taksi."

Dengan malas, Shane mematikan tv di depannya lalu beranjak. Mengambil sekotak kue berukuran besar di dalam kulkas yang memang sudah disiapkan oleh Tantenya.

"Sayang banget kemarin Tante lagi ga di rumah waktu Jovi ke sini. Padahal udah lama ga ketemu. Kamu satu sekolah sama dia?"

Shane hanya mengangguk. Merasa malas untuk membahas cowok itu. Berbanding terbalik dengan Tantenya yang terlihat antusias.

"Wah, berarti Tante ga salah ya masukin kamu ke sekolah itu. Ya udah, sana berangkat. Kayaknya taksinya udah dateng tuh," ucap Tantenya sambil mengedikan dagunya menuju pintu.

"Ya, Tante. Shane berangkat ya,"

Setelah berpamitan juga pada Omnya, Shane melangkahkan kakinya dengan malas. Ia harap Jovi tidak ada di rumah.

— — —

Dengan enggan, Shane mengetuk pintu di hadapannya. Matahari sudah kokoh di atas sana, menyalurkan panas yang begitu terik. Padahal waktu belum sampai pada angka 11, tapi panasnya seperti jam 1 siang.

Tak lama, terdengar sebuah teriakan dari dalam. Darah Shane berdesir. Lalu pintu itu terbuka, menampilkan seorang wanita paruh baya.

Saat itu juga, ketika menyadari siapa tamu yang berkunjung, wajah wanita itu berbubah drastis. Senyuman lebar terkulis dengan begitu jelas.

"Ya ampun, Shane! Ayo, masuk masuk!"

Shane melangkah masuk sembari tersenyum simpul.

"Shane sudah besar, ya. Makin cantik aja. Duh, kok baru main sih, ndok?" seru Nia, ibunya Jovi.

"Hehe, iya maaf ya Tan, baru sempet mampir. Ini aku bawa titipan dari Tanteku," katanya seraya menyerahkan kantong plastik berisi kue yang ia bawa.

Perbincangan antara mereka berdua terjadi begitu saja. Tanpa terasa, 30 menit sudah mereka berbincang. Shane juga senang, sejak dulu ia memang cukup dekat dengan ibunya Jovi. Wanita itu sudah seperti ibunya sendiri. Darinya lah ia bisa merasakan kembali kehangatan seorang ibu, sebuah rasa yang tidak bisa ia dapat dari tantenya sendiri. Harusnya ia menuruti saran Jovi untuk sering-sering berkunjung ke sini. Cowok itu benar. Dia bisa meraskan kehangatan di sini. Tentu saja, cowok itu memang selalu bisa mengertinya.

"Jovi ada di kamarnya, lagi main ps sama temennya. Kamu nyusul aja," kata Nia. Lantas, Shane permisi untuk ke kamar Jovi. Walau sedikit terpaksa, karna ia masih malas untuk bertemu cowok itu. Namun rasanya tidak enak kalau ke rumah seseorang tanpa bertemu sang tuan rumah.

Shane menaiki tangga menuju lantai dua satu persatu. Matanya mengelilingi sudut rumah ini. Ia memang baru pertama kali ke rumah Jovi yang ada di Jakarta. Karna hubungan tantenya dan ibunya Jovi yang masih erat lah yang membuatnya bisa tau alamat rumah cowok itu. Kini, di depannya sudah terpampang pintu berwarna putih. Dengan perlahan, ia mengetuknya.

"Jovi?"

Tak lama, pintu terbuka. Dengan sedikit terkejut, Jovi memaksa senyumnya.

"Eh, Shane?"

Selama dua detik, mereka saling diam. Hingga muncul seseorang dari balik punggung Jovi.

"Siapa Jov?"

Jovi menoleh, begitu pun Shane. Dari belakang punggung Jovi, Daren datang. Dan ketika mendapati Shane, ia mengulaskan senyum.

"Eh, lo temennya Neysa kan?"

Jovi yang pertama kali merespon, dahinya berkerut. "Lo kenal Neysa?"

"Iya kenal. Kok lo kaget gitu, sih?"

Pikiran Jovi melayang. Tebakannya benar kalau ada sesuatu antara Daren dan Neysa.

MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang