#15

35 1 1
                                    

Rasanya, jarum jam sangat lama hanya untuk melewati satu angka pun ketika sedang berada di kelas. Neysa bergerak-gerak tidak nyaman. Matanya menatap Pak Haris dengan malas sambil bertopang dagu. Sesekali ia menunduk untuk mencatat hal penting dari ucapan gurunya itu. Bagaimana pun, ia harus tetap mengikuti pelajaran dengan baik jika ingin nilainya tidak terbakar.

Neysa melirik teman sebangkunya, detik itu pun bola matanya memutar. Justru Shane sekarang terlihat sangat serius mengikuti pelajaran, sangat berbanding dengan dirinya. Padahal, ia baru saja ingin mengajak cewek itu berbincang.

Setelah jam-jam yang dirasa seperti bertahun-tahun berada di kelas, akhirnya Neysa pun bisa mendengar bunyi deringan bel. Lantas seisi kelas langsung berdesah lega. Bahkan, ada yang bersorak kecil.

Ternyata, tidak hanya Neysa yang bosan dengan pelajaran Pak Haris.

"Shan, pulang bareng kan?"

Gerakan tangan Shane terhenti. Ia melirik Neysa sebentar, lalu kembali membereskan tasnya. "Enggak dulu deh, Sa."

Dahi Neysa mengerut. "Kenapa? Lo mau pergi ya?"

Shane tak menjawab pertanyaan Neysa. Justru cewek itu langsung berdiri, ia mengulaskan senyum kecil pada Neysa sebelum akhirnya benar-benar melangkah keluar kelas. "Gue balik duluan, ya."

Sambil tetap memandangi punggung Shane yang semakin menjauh, Neysa menarik napas panjang. Tidak berbeda jauh dengan yang dilakukan Shane. Semakin jauh kakinya melangkah, ia terus menarik napas panjang. Rasanya ada yang perih dari kedalaman hatinya. Ia tidak tau tindakannya ini benar atau tidak.

Di perjalanan menuju gerbang sekolah, hal yang tidak diinginkan terjadi. Mata Shane bertemu dengan milik Jovi. Cowok itu yang semula sedang mengobrol dengan temannya langsung mematung. Lantas Shane langsung membuang muka. Ia menunduk dalam sambil tetap fokus untuk melangkah.

Pikirannya terus bergelut. Kembali terbayang oleh perbincangannya kemarin dengan Jovi. Ia tidak tau keputusannya benar arau tidak. Yang ia inginkan hanyalah membuat sahabatnya itu tidak terus berkabung dalam duka, walaupun itu harus mengorbankan hatinya sendiri.

"Shane!" yang dipanggil mematung. Ia kenal betul suara itu.

Di belakangnya, Jovi datang sambil terengah-engah karna berlari mengejar Shane.

"Pulang sama siapa? Gue anter yuk," ucap Jovi sembari tersenyum manis. Berbeda dengan Shane yang hanya memasang ekspresi datar.

"Ga usah, gue bisa-"

Tin! Tin!

Suara klakson yang tiba-tiba itu memotong perkataan Shane, lantas membuat keduanya menoleh. Daren datang dari arah belakang Jovi sambil tercengir lebar.

"Shane! Ayo, pulang bareng gue aja!" seru Daren lantang. Padahal, jaraknya dengan Shane sudah dekat.

Sempat Shane memandang Jovi dan Daren bergantian. Lalu ia tersenyum tipis. "Yuk, Dar."

Sambil memandangi Shane yang mulai menaiki motor Daren, Jovi hanya diam dengan pandangan tak suka. Padahal, tadi ia yang lebih dulu menawarkan pulang bareng. Jovi mendesah. Sepertinya Shane serius dengan omongannya kemarin.

Karna putus asa setelah ditolak, akhirnya Jovi kembali melangkah untuk mengambil motornya yang masih terpakir rapi di lahan parkir. Namun baru beberapa langkah saja kakinya bergerak, matanya menangkap seorang cewek yang sedang berjalan sendiri dengan tatapan kosong. Lantas, Jovi pun mempercepat langkahnya, kali ini bukan ke parkiran. Melainkan pada orang itu.

Jovi mengetuk kepala Neysa dua kali. Membuat cewek itu berjengit kaget. "Jalan itu jangan bengong. Ntar kalau nabrak, gimana?"

Neysa mengedip dua kali, lalu mencibir. "Paling yang gue tabrak juga cuma tiang listrik."

"Kalau nanti gagar otak gimana?"

"Hush! Sembarangan kalau ngomong!"

Jovi terkekeh pelan. "Pulang sendiri? Mending bareng gue aja yuk. Pasti selamat sampai tempat tujuan kok."

Hening sesaat hingga akhirnya Neysa mengangguk.

"Oke! Lo tunggu sini ya, gue ambil motor dulu." Jovi pun langsung berlari kecil ke arah lahan parkir, namun baru beberapa detik kemudian, ia berbalik dan berseru, "jangan bengong lagi! Nanti kesurupan lho!" lalu kembali bergegas sambil bersorak dalam hati, akhirnya gue ga ditolak lagi.

Perkataan Jovi barusan lantas membuat senyum Neysa terbit. Ia menarik napas panjang sambil menunggu dengan sabar Jovi yang sedang mengambil motornya.

- - -

"Batu, gunting, kertas!"

"Yes, bakso!"

Jovi mendesah pasrah sambil melirik kedai bakso di depannya dengan kesal. Sedangkan Neysa sudah berlari ke dalamnya dengan semangat.

Tadi, setelah setengah perjalan yang hanya dipenuhi dengan keheningan, akhirnya Jovi mengajak Neysa untuk makan. Berharap bisa mengembalikan mood Neysa yang sepertinya sedang tidak bagus. Jovi tau itu karna setiap ia mengajak cewek itu bicara, hanya dibalas dengan jawab singkat-singkat. Membuat Jovi jengah juga. Dan ketika Jovi mengajak cewek itu untuk makan mi ayam favoritnya, cewek itu malah meminta bakso. Jadilah permainan batu gunting kertas untuk memutuskan makanan apa yang dipilih. Berhubung kedai bakso dan mi ayam letaknya berbeda dan cukup jauh.

"Bang, baksonya dua ya! Jangan pakai bawang seledri," seru Neysa ketika mereka beruda sudah duduk dengan nyaman. "Jangan cemberut gitu dong, Jov. Gue jamin, pasti lo ketagihan deh sama baksonya," kata Neysa lagi. Kini perhatiannya teralih pada cowok di depannya yang sedang menopang dagu sambil memutar bola matanya.

"Iya, iya, terserah lo deh."

Padahal, niat Jovi mengajak Neysa makan adalah untuk mengenbalikan mood cewek itu. Tapi justru kini Jovi yang kesal sendiri. Ia menarik napas pendek, lalu menghembuskannya dengan keras. Kayaknya bakso enak juga, batin Jovi sambil memerhatikan beberapa pelanggan yang sedang menyantap baksonya dengan enak.

Tak lama kemudian, pesanan mereka datang, membuat Neysa kembali tersenyum sumringan dan langsung bersiap untuk menyantapnya.

Melihat senyum merekah itu, tak sadar membuat Jovi ikut tersenyum. "Apa cuma makanan yang bisa bikin lo senyum?"

Merasa diperhatikan, Neysa mengangkat kepalanya, lalu mengangkat bahunya acuh. "Semua cewek gitu kok," ujarnya lalu kembali menyantap baksonya. "Eh, emang tadi segitu suramnya kah muka gue sampai lo ngomong gitu?"

Jovi terkekeh pelan. "Lo ga inget? Kalau tadi gue ga nyapa lo, mungkin lo udah nabrak tiang listrik gara-gara jalan sambil melamun."

"Ah! Iya, gue lagi bingung aja tadi."

Sebelah alis Jovi terangkat. "Bingung kenapa?"

"Dari tadi pagi tuh Shane cuekin gue terus. Padahal ga biasanya dia begitu. Kan aneh."

Jovi diam sejenak, berusaha menebak alasan dibaliknya. Namun ia lebih memilih untuk tidak membahasnya. "Mungkin dia lagi PMS?"

Tampak Neysa seperti berpikir sejenak sambil mengunyah baksonya, lalu mengangguk. "Mungkin."

Dalam hati, Jovi bergulat dengan pikirannya sendiri. Memikirkan tentang Shane dan masalahnya. Memikirkan Shane yang sekarang sedang diantar pulang Daren.

Mendadak tangannya merogoh kantong celananya, lalu mengirim pesan lewat ponselnya.

Jovi : Shan, lo dimana? Sampai di rumah dengan selamat kan?

MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang