#11

36 2 0
                                    

Siang itu mentari bersinar dengan cerahnya. Berbanding terbalik dengan suasana di sekitar Neysa. Semuanya kelam. Kini, yang ia lihat hanyalah tumpukan tanah dengan nisan yang berdiri kokoh di bagian ujungnya.

Jeremy Carlos.

Neysa mengelus ukiran nama itu perlahan. Detik itu pun, air matanya kembali menetes tanpa bisa ia tahan. Ia memejamkan matanya, membiarkan tetes demi tetesan itu keluar dengan bebasnya.

"Maafin gue kak. Kalau aja waktu itu gue nurutin apa kata lo," ucapnya lirih. Dalam sekejap, semua memori menyeramkan itu kembali membayanginya. Tentang bagaimana Carlos menasehatinya tentang cowok brengsek itu. Dan bagaimana kakaknya itu membelanya ketika bencana itu tiba. Hingga kecelakaan itu datang.

"Kak, gue ketemu lagi sama cowok itu. Sekarang gue harus gimana? Udah ga ada lagi yang ngelindungin gue."

Dadanya sesak ketika bayangan senyum dari Carlos datang. Ia sangat merindukan senyuman itu. Juga pelukannya. Andai cowok itu masih ada, pasti sekarang ia tidak akan dibiarkan menangis seperti sekarang.

* * *

Neysa meraih tas ranselnya dengan cepat. Dan untuk yang kesekian kalinya, ia kembali menatap banyangannya di cermin. Sesekali ia berputar untuk memastikan setiap bagian tubuhnya tidak ada yang jelek. Tangannya terulur untuk merapikan rambut lurusnya yang terbiarkan tergerai. Senyum dan pipi merona pun tak lepas dari wajahnya.

Sebuah suara yang cukup kencang datang mengejutkannya. Ia menoleh ke arah pintu kamarnya dan mendapati Carlos berdiri di sana sambil bersedekap.

"Lo mau kemana? Ini udah malem."

Neysa melirik jam besar yang tertempel di dindingnya, kemudian mengerucutkan bibirnya.

"Jam 8," katanya cuek. "Gue janji kok, ga akan lewat dari jam 10."

Carlos maju mendekati Neysa. Tangannya tertumpu pada kedua bahu adik satu-satunya itu. Ditatapnya lekat wajah Neysa, seakan memastikan semuanya baik-baik saja.

"Ketemuan di mana?"

"Di cafe deket rumah Daren kok," Neysa memaksakan senyum terbaiknya, berusaha meyakinkan kakaknya kalau semua akan baik-baik saja. Tapi sepertinya itu tidak sepenuhnya berhasil. Karena Carlos tetap memasang ekspresi kuatirnya, membuat Neysa mengerutkan dahi. Sejak dulu Carlos memang tidak suka pada Daren, tapi baru kali ini Carlos begitu kuatir saat Neysa mau pergi dengan Daren.

"What's up?" bisik Neysa. Carlos kembali bersedekap, lalu mengehembuskan nafasnya berat.

"Take care. Langsung hubungin gue kalau ada apa-apa."

Hanya itu, kemudian Carlos keluar dari kamar Neysa, meninggalkan cewek itu dalam tanda tanya besar.

Walaupun Carlos selalu memperingatinya tentang Daren. Ia selalu yakin Daren adalah anak baik. Jadi, kenapa kakaknya itu begitu mengkuatirkannya?

Malam itu, ketika jarum jam pendek tepat berada di antara angka 7 dan 8, Neysa menapakan kakinya di tanah basah. Ia memeluk tas slempangnya agar terlindung dari rintik hujan. Sialnya, ia hanya menggunakan cardigan tipis sehingga tidak bisa melindunginya dari dinginnya angin malam ditambah gerimis yang ada. Neysa berlari kecil ke arah kedai kecil di pinggir jalan untuk mencari perlindugan. Ketika dirasakannya rintikan gerimis itu sudah tidak mengenainya, ia meraih ponselnya dan menghubungi seseorang yang menjadi alasan di balik ia harus hujan-hujanan seperti ini.

MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang