#7

50 2 0
                                    

Shane mengayunkan kakinya, merasakan air yang merayap lembut di kulitnya. Di sebelahnya, Jovi dan Daren terlihat sibuk dengan pikirannya masing-masing.

"Kok pada diem sih?" suara Shane memecah keheningan. Membuat kedua cowok di sebelahnya menoleh.

"Lo sih, dateng ga diundang. Ganggu gue sama Daren lagi main ps aja," canda Jovi, diikuti tawa oleh Daren.

"Aduh, sakit hati dedek. Gue kan dateng membawa berkat," ujar Shane dramatis sambil mengelus dadanya. Membuat Jovi gemas, tangannya terulur mengacak rambut Shane. Seketika, Shane tertegun dengan perlakuan Jovi yang tiba-tiba.

Maupun Shane atau Jovi, mereka sama-sama larut dalam memori masa lalu. Bahkan, Shane sendiri lupa kenapa justru sekarang ia jadi mau bercanda ria lagi dengan Jovi. Dari lubuk hatinya, sebenarnya ia juga rindu dengan saat-saat seperti ini. Dengan kejahilan Jovi yang dulu suka dilakukannya.

***

Semilir angin pada sore itu membuat rambutnya menari. Shane kecil berlari, ditangannya, tergenggam erat sebuah boneka panda. Senyumnya mengembang kala melihat rumah bercat hijau di depan sana.

"Jovi!"

Yang dipanggil menoleh. Tangannya terangkat dan melambai, mengisyaratkan untuk mendekat.

"Jovi, liat! Aku punya boneka balu!" seru Shane. Seakan mesin yang baru mendapat energi untuk menyala, ketika melihat senyum lebar Shane, otomatis membuat Jovi ikut tersenyum. Tapi tetap saja, rasa jahilnya tidak bisa ia hentikan.

"Apaan tuh? Jelek. Bagusan juga mobilku,"

Bibir milik Shane mengerucut. Merasa kesal karna temannya tidak sependapat dengannya.

"Enak aja! Mobil kamu tuh yang jelek. Huh!" Shane berbalik, kaki kecilnya berlari menjauh. Saat itu juga, Jovi kecil menyesal.

Sore harinya, dari kejauhan Jovi memerhatikan tetangganya itu yang sedang bermain sendiri di halaman rumah. Pikirannya melayang pada kejadian siang tadi. Rasa sesal menyelimutinya ketika punggung cewek itu yang menjauh, kembali terbayang dipikirannya.

Sesungguhnya, ia tidak bermaksud mengejek mainan milik Shane. Entah kenapa, ia hanya ingin menarik perhatian dari cewek itu. Walaupun ia sadar kalau caranya salah, ia tidak pernah bisa berhenti melalukan itu.

Kakinya melangkah. Hatinya berusaha meyakinkan kalau dirinya bisa. Ketika sampai depan rumah cewek itu, dengan lirih Jovi berkata, "Shane, maaf ya. Mainan kamu bagus kok."

Shane menoleh, sedikit terlonjak dengan kedatangan seseorang yang tiba-tiba. Tapi tak lama, ia kembali sibuk dengan bonekanya.

Jovi diam, tapi segera maju dengan tekat yang lebih kuat. Tangannya terulur, memberikan sesuatu pada cewek di depannya. Membuat dahi Shane berkerut.

"Apa?"

"Ini,"

Perlahan, kerutan di dahi Shane memudar. Di tangan Jovi, tergenggam sebuah mobil kecil berwarna merah.

"Kalau kamu sukanya boneka, ga apa-apa. Aku juga sukanya mobil-mobilan. Tapi kalau kita main bareng, ga apa-apa juga kan?"

Perlahan, senyum terukir di wajah Shane, lalu mengangguk. Saat itu juga, Jovi bisa bernapas lega. Hatinya menghangat. Dengan melihat senyum dari cewek itu, membuatnya ketagihan. Ia suka senyum milik Shane.

***

"Lucu ga sih, kita bisa ketemu lagi di sekolah yang sama," ucap Shane. Senyum mengembang di wajahnya maupun Jovi. "Lo ngikutin gue, ya?"

Jovi terkekeh. "Emang udah rencana dari Yang Kuasa kali, kalau kita harus ketemu lagi."

"Oh ya, lo belum cerita kenapa lo pindah ke Jakarta."

Mulut Jovi terbuka ingin menjawab, tapi langsung terhenti karna sebuah suara yang muncul dari sebelahnya.

"Ehem. Uhuk, uhuk.."

Shane dan Jovi menoleh. Dahi mereka sama-sama berkerut.

"Apa bedanya sekarang, gue sama genangan air ini. Sama-sama cuma jadi penonton dan tak dianggap," gumam Daren. Membuat kedua pasangan sahabat di sebelahnya tergelak tawa.

"Yah, sorry, Dar. Gue lupa kalau ada lo," seru Jovi. Daren memasang tampang pura-pura marahnya.

"Udah biasa kok dilupain."

Shane tertawa puas melihat dua cowok di depannya. Tiba-tiba, pipinya merasakan segelenyar dingin. Ia mengadah, gerimis.

"Coy, ujan. Masuk yuk."

Mereka bertiga beranjak dari tempatnya. Meninggalkan halaman belakang rumah Jovi kemudian mengeringkan sejenak kaki mereka yang basah karna tadi dicelupkan di kolom renang.

"Kebetulan. Nih, mama baru aja selesai masaknya. Ayo, makan," dari arah dapur, Nia datang membawa dua mangkok besar. Shane segera melangkahkan kakinya untuk membantu Tante Nia membereskan meja makan.

"Wah, Tante. Tau aja, ujan-ujan gini emang enak makan yang anget-anget," celetuk Daren, menimbulkan tatapan sinis dari Jovi.

Sedangkan Nia hanya tertawa, lalu mempersilahkan mereka semua untuk makan.

Sejenak, semua makan dalam hening. Terutama Daren yang terlihat sudah kelaparan sejak tadi. Berbeda dengan Jovi dan Shane. Pikiran mereka sibuk dengan hal-hal yang ingin mereka tau.

Shane melirik Jovi. Kerinduan itu masih terasa. Entah kenapa, ia masih belum puas berbincang dengan cowok itu. Sejak awal melihatnya di sekolah lampau waktu, pikirannya terus bertanya apa yang menyebabkan cowok itu pindah ke Jakarta. Jujur saja, waktu itu Shane benar-benar senang. Ia tidak pernah menyangka bisa bertemu lagi dengan cowok itu di Jakarta.

Beberapa bulan yang lalu, Shane terus bimbang dengan pilihan-pilihan di hadapannya. Setelah kedua orangtuanya meninggal, ia tinggal bersama om dan tantenya yang kebetulan belum juga memiliki keturunan. Sehingga secara tidak langsung, Shane sudah seperti anak kandung mereka. Hingga suatu hari, omnya harus dipindah tugaskan di Jakarta. Jadi, terpaksa Shane harus ikut pindah demi melanjutkan sekolah. Saat itu Shane memang tidak ijin pada teman bermainnya, yaitu Jovi, kalau ia mau pindah ke Jakarta. Itu terjadi begitu saja. Hingga sampai saat ini.

Di hadapannya, pikiran Jovi melayang pada Daren. Ia terus saja menebak-nebak ada apa antara Daren dan Neysa. Entah kenapa, ia peduli.

Bahkan sering kali, untuk sesaat ia melupakan tujuannya kenapa datang ke Jakarta.

- - -

Kini, Shane, Jovi, maupun Daren, sama-sama larut dalam suara hujan yang belum juga berhenti sejak tadi. Justru, turun semakin deras. Mereka bertiga duduk di halaman rumah Jovi. Shane dan Daren sudah siap dalam balutan jaket. Shane sudah menenteng tasnya sejak tadi. Begitu juga Daren, yang sudah menggenggam kunci motornya. Mereka berdua sama-sama sudah bersiap untuk pulang. Namun langsung gagal ketika mendapati hujan yang belum juga reda. Jadi lah mereka hanya duduk diam menanti langit yang berhenti meneteskan hujan. Sedangkan, matahari sudah mulai terbenam. Keadaan hujan membuat suasana semakin gelap.

Shane tertegun. Tiba-tiba saja, memori itu kembali. Di depan matanya, terlihat bayangan seorang anak perempuan dan anak laki-laki. Wajah mereka penuh dengan suka cita walau tubuh mungilnya sudah basah kuyup oleh hujan. Mereka terus berlari, saling mengejar, terlihat sangat menikmati derasnya hujan. Shane tersenyum kecut. Ia rindu pada saat-saat seperti itu. Mungkinkah semua itu bisa diulang?

Sedangkan di sebelahnya, Jovi larut dalam ingatannya tentang kejadian beberapa hari lalu. Saat itu juga hujan deras. Tempatnya di belakang mall, ia menemani seorang cewek yang baru dikenalnya, dan entah kenapa, ingin mengajak cewek itu untuk bisa mengubah pikirannya tentang hujan. Tapi tiba-tiba saja, sebuah bayangan anak perempuan yang sangat ia kenal, lewat di depan matanya. Ia mengerjap. Lalu menoleh ke samping, mendapati bayangan anak perempuan tadi yang sudah tumbuh besar dan cantik. Dan kali ini, bayangan itu benar-benar nyata. Jovi tersenyum kecil. Mungkinkah ia dan Shane bisa kembali seperti dulu?
Seperti saat-saat ketika hari itu belum tiba. Ketika saat Shane tidak berubah pendiam dan menjauh. Mendadak hatinya serasa diremas. Rasa sesal itu kembali.

MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang