#20

27 0 1
                                    

"Lo care banget sama Jovi, ya?" Shane menoleh dengan cepat. Dipandanginya Neysa dengan lekat, berusaha menebak isi pikirannya. Namun gagal.

Shane menampilkan senyum manisnya. "Kita udah sahabatan sejak kecil." Pandangannya kini lurus ke depan, kembali terkenang saat-saat bahagia dulu.

"Cuma sahabat?" jeda sejenak. "Maksud gue... kalian keliatan lebih dari itu," lanjut Neysa dengan hati-hati.

"Iya, cuma sahabat." Shane melirik cewek di sebelahnya sejenak. "Gue ga tau lagi kalau ga ada dia dan keluarganya, mungkin gue ga punya siapa-siapa."

Sedikit rasa penasaran mulai muncul dalam benak Neysa. Ia merubah posisi duduknya untuk bisa menatap Shane lebih lekat. "Maksudnya?"

Pandangan Shane masih lurus ke depan. Terpaksa, ia harus kembali bergulat dengan memori itu. "Orangtua gue meninggal karna kecelakaan pesawat. Sekarang gue tinggal sama Om dan Tante gue. Tapi, gue tetep selalu ngerasa sendiri karna mereka terlalu sibuk kerja.

"Gue pikir, gue bener-bener akan sendirian, ga bisa ngerasain hangatnya keluarga lagi. Apalagi, setelah kami pindah ke Jakarta."

Ada jeda sejenak. Shane menarik napas dalam. Rasanya sesak ketika harus mengingat itu semua. Tapi detik berikutnya kedua ujung bibirnya terangkat tinggi. "Sampai akhirnya gue sadar, kalau gue masih punya orang-orang yang gue sayang dan sayang sama gue. Mereka emang ga satu darah sama gue. Tapi mereka itu udah kayak keluarga kandung gue sendiri."

Neysa termenung mendengar deretan kisah dari mulut Shane. Shane menepuk pundak Neysa pelan, mengalihkan perhatian cewek itu sepenuhnya. "Kadang, kita ga sadar kalau kita masih punya banyak bintang di sekitar kita, ketika terlalu fokus pada kehilangan bulan."

Shane tersenyum tulus. Kalimat itu seperti telah menampar Neysa tepat sasaran.

"Silahkan, Jovi bisa dijenguk lagi."

Perhatian Shane maupun Neysa teralihkan begitu sang perawat keluar dari kamar Jovi sambil mempersilakan mereka kembali masuk. Shane mengangguk singkat sebagai tanda terimakasih. Setelah sang perawat melenggang pergi, Shane kembali masuk ke dalam kamar Jovi. Meninggalkan Neysa yang termenung dengan ucapan sahabatnya beberapa detik yang lalu.

- - -

Kakinya melangkah dengan gontai memasuki rumah dengan keadaan basah kuyup. Sial, karna selama perjalanan tadi hujan turun begitu saja tanpa ada tanda-tanda mendung dan sebagainya. Lebih sialnya lagi, Neysa pulang dengan ojek, bukan taksi.

Tadi, setelah berbincang singkat setelah Jovi diperiksa oleh perawat-dan juga setelah obrolan dengan Shane yang cukup berhasil monohoknya-Neysa memutuskan untuk pulang lebih dulu sedangkan Shane memilih untuk menemani Jovi sampai orangtua cowok itu pulang kantor. Sedikit terharu, begitu kuat tali persahabatan mereka. Bahkan Neysa bisa melihat rasa sayang diantara mereka itu lebih dari sayang pada sahabat. Tentu saja, tebakannya itu sedikit membuat Neysa ciut. Namun sekuat mungkin ia merelakan keduanya.

"Neysa, ya ampun kenapa kamu basah kuyup gini, nak?"

Neysa menoleh ke arah dapur ketika seruan dari Mama menggelegar. "Tadi Neysa naik ojek, Ma. Trus ujannya nendadak gitu."

Mama Neysa mendecak. "Ya udah, kamu mandi sana. Kita makan malam sama Papa."

Mendengar nama Papa disebut, kontan bola matanya membulat dan berbinar. "Papa udah pulang?"

Pertanyaan itu dibalas Mama dengan senyuman kecil sembari mengangguk. "Mama juga masak makanan kesukaan kamu." Diusapnya lembut rambut anak satu-satunya itu.

Neysa balas tersenyum lalu melangkah dengan semangat menuju kamarnya.

*

Rasanya baru kali ini, dapur rumah Neysa kembali ramai dengan bunyi dentingan sendok dan piring dalam waktu yang bersamaan. Neysa tak hentinya melirik Papa yang sedang makan dengan tenang di seberangnya. Akhirnya, setelah 6 bulan lamanya Papa dinas di pulau seberang, ia bisa berbincang lagi dengan beliau.

Sejak dulu, Neysa maupun Carlos memang lebih dekat dengan Papa. Namun bukan berarti tidak dekat dengan Mama, hanya saja mereka merasa Papa lah yang selalu bisa menghidupkan suasana rumah.

"Kamu masih bisa main gitar?"

Tangan Neysa yang ingin menyuapkan nasi, berhenti di udara ketika mendengar seruan dari Papa. "Ya. Tapi mungkin ga selancar dulu lagi."

"Emangnya kamu ga pernah latihan lagi?"

Neysa mendelik. Meletakkan sendoknya lalu menatap Papa sedih. "Aku kan maunya main gitar sama Papa dan Kak Carlos."

Hening.

Sejenak Mama dan Papa saling bertukar pandang. Lalu Papa berdeham sambil memasang senyum terbaiknya. "Padahal, Papa mau beliin kamu gitar listrik."

Kontan, mata Neysa berbinar dan membulat dengan sempurna. Tapi, detik berikutnya, bibirnya melengkung ke bawah. "Papa mau ajarin aku lagi kan?"

Dengan mantap, Papa menjawab, "kapan sih, Papa bilang enggak ke anak tercantik Papa?"

Mama tersenyum, tidak jauh berbeda dengan Neysa yang terkekeh. Lantas cewek itu langsung beranjak dari kursinya dan menghambur memeluk kedua orangtuanya.

- - -

"Shan, kantin, yuk!"

Shane menoleh dengan cepat. "Pelajaran pertama kan Pak Reno. Enggak ah!"

Mendengar tolakan tersebut, lantas Neysa mendelik. Terpaksa, akhirnya ia mengalah dan memilih duduk diam sambil menunggu sang guru datang. Kegiatan upacara benar-benar menguras tenaga. Padahal, kan, cuma diri doang, tapi capek banget! Tadinya ia ingin mengajak Shane ke kantin untuk melepas dahaga. Namun apa daya, temannya itu menolak sekaligus mengingatkan guru siapa yang akan mengajar.

"Oh iya, Jovi apa kabar?"

Mendengar nama cowok itu disebut, lantas membuat perhatian Shane yang awalnya sedang menyiapkan buku pelajaran, teralih dengan cepat. "Baik! Besok udah boleh pulang." Neysa tersenyum mendengarnya. Namun kalimat selanjutnya meruntuhkan semuanya. "Dan dia janji mau temenin gue ke Bandung untuk jenguk Mama Papa."

Neysa bungkam. "Mama Papa?" katanya lirih.

"Iya. Udah lama banget gue ga ziarah."

"Oh iya, ya.." Neysa memaksakan senyumnya lalu kembali bertanya dengan suara dibuat riang. "Kapan?"

Shane terlihat berpikir sejenak sebelum menjawab, "minggu depan, mungkin."

Dan kemudian Pak Reno yang membuat Neysa batal ke kantin pun masuk, menghentikan perbincangan Neysa dan Shane.

Neysa mendesah pelan. Entah kenapa, seperti ada beban di hatinya ketika mendengar rencana Shane dengan Jovi.

Hei, memang kau siapa?

Neysa tertawa sinis dalam hati.

MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang