#2

127 6 0
                                    

Cahaya mentari menyeruak masuk lewat celah tirai jendela kamarnya, menyadarakan Shane dari mimpi indahnya semalaman.

Ia terduduk di ranjangnya. Kembali mengingat kejadian kemarin. Sungguh di luar dugaan ia bisa bertemu lagi dengan Jovi. Percakapan pertama mereka di Jakarta, kembali terulang dalam ingatannya.

"Lo sendiri, kenapa ada di Jakarta?" tanya Shane. Jari-jari lentiknya mengusap dinginnya gelas berisi ice coffe mochacino.

Jovi tersenyum, "nyari lo."

Seketika jawaban Jovi membuat Shane tertawa. "Gue serius tau,"

"Gue engga."

Pagi ini Shane sudah bertekat. Bagaimana pun juga, ia harus bisa mendapat teman dekat di hari keduanya berada di SMA. Memang, sejak dulu Shane sangat susah untuk bersosialisasi. Bukannya anti sosial, tapi ia terlalu takut orang-orang tidak akan menyukainya.

Lagi pula ia sudah punya teman dekat di sana. Bahkan seseorang yang sudah sangat dekat sejak dulu. Jovi. Ia menggumamkan nama itu sekali lagi. Jovi.

Entah sudah berapa lama nama itu tidak keluar dari mulutnya. Padahal dulu ia sering meneriaki namanya ketika cowok itu mulai berlaku iseng padanya.

Dasar cowok usil.

- - -

Bunyi bel seketika membuat semua murid menghentikan aktivitasnya lalu menuju bangku mereka masing-masing. Sedangkan Shane yang sejak tadi sudah anteng di bangkunya hanya diam menatap keriuhan kelas. Bagaimana ia bisa mendapat teman dekat kalau semuanya sudah saling berkelompok?

Shane menunduk, membereskan iPhone dan earphonenya ke dalam tas ransel warna tosca miliknya. Tosca selalu menjadi warna favoritnya. Ia tersenyum getir. Tas ini juga salah satu hadiah dari wanita itu.

Buk!

Sebuah suara membuatnya mendongak. Matanya mengernyit menatap seorang cewek di hadapannya. Cewek itu meletakkan ranselnya di meja yang sama dengan Shane.

"Gue boleh duduk sini? Katanya tinggal ini yang kosong,"

Shane mengerjap, kemudian mengangguk. "Tentu,"

"Neysa," Shane bergeming. Sejenak menatap tangan yang terulur di hadapannya sebelum membalasnya.

"Shane."

Neysa tersenyum. Pelajaran dimulai begitu sang guru memasuki kelas. Dalam hati Shane ikut tersenyum. Akhirnya ia bisa mendapat teman, pikirnya. Semoga Neysa orang yang baik.

- - -

Jovi duduk di pinggir lapangan. Tangannya tak berhenti mengelap keringat yang terus mengucur di dahi dan lehernya. Lawannya kali ini cukup sulit. Dan ia menyukainya.

"Minum?"

Jovi tersenyum, lalu menerima botol minuman yang disodorkan Gio. "Thanks,"

"Dia sepadan sama lo,"

Jovi mengikuti arah mata Gio, lalu tersenyum miring. "Ya, lumayan."

"Eh, dia kesini," bisik Gio. Dan memang benar. Orang yang dari tadi mereka bicarakan berjalan ke arahnya sambil memantulkan bola basket di tangannya.

Tangan cowok itu terulur di depan wajah Jovi. "Gue Daren. Gue harap kita bisa tanding lagi kapan-kapan."

Jovi membalas uluran tangan itu sambil mengangguk. "Jovi. Kapan pun gue siap."

Daren duduk di sebelah Jovi. Keduanya sama-sama memandang lapangan di depannya. Sedangkan sang mentari tetap bertahan di atas sana, membuat panas menjulur dalam kulit.

Di sisi lain, kedua cewek sedang bercengkrama riang di kantin. Mulutnya tak berhenti tertawa.

"Dan lo tau? Dia langsung ngadu ke nyokapnya,"

Shane tertawa mendengar cerita Neysa tentang adiknya yang masih berumur 4 tahun.

"Cara ngadunya itu lho, ya ampun, bikin gemes. Ya makin demen gue cubitin pipinya."

"Aduh, gue antara prihatin, atau pengen ikutan nyubitin adek lo, haha.."

Neysa mengangguk antusias setelah menyuapkan sesendok bakso ke mulutnya. "Kapan-kapan lo harus ketemu!"

"Ya ampun, Sa. Pelan-pelan dong makannya,"

Neysa menyesap minumannya, kemudian mendorong pelan mangkok kosongnya. "Jalan-jalan, yuk!"

Jam istirahat membuat keadaan sekolah sangat ramai. Koridor kelas dipenuhi anak-anak perempuan yang duduk bercengkrama. Sedangkan sebagian anak laki-laki lebih memilih bermain di lapangan. Tidak perduli kalau seragamnya akan basah karna keringat.

Shane mengitari pandangannya ke sekeliling. Ketika melewati lapangan, langkah mereka berhenti. Dahinya mengerut mendapati pandangan Neysa yang terpusat pada lapangan.

"Kenapa, Sa?"

Neysa hanya menggeleng. Tapi tatapannya belum teralih dari lapangan, membuat Shane ikut memerhatikan lapangan. Segerbol anak laki-laki sedang asik berlari ke sana kemari, salah satunya membawa bola yang terus di pantulkan ke tanah, berusaha menghindari lawan. Hingga akhirnya bola di lempar, dan ditangkap oleh pemain lainnya. Shane bergeming melihat sosok itu. Cowok itu sangat gesit menghindari lawan, hingga ia berhasil memasukan bola, menimbulkan teriakan kecil dari temannya. Sedangkan pihak lawan hanya menggerutu dengan pasrah.

Jovi tidak berubah. Basket tetap lah dunianya.

Di belakang Jovi, muncul seorang lagi, ia mengajak Jovi untuk highfive singkat. Kemudian permainan selesai.

"Yuk, Shan."

Shane mengerjap, Neysa sudah lebih dulu berjalan di depannya. Sedangkan pikirannya masih tertinggal pada sosok itu.

"Tunggu, Sa. Gue mau beli minum dulu."

Sebelah alis Neysa terangkat. "Bukannya tadi lo udah beli minum?"

"Iya, gue mau beli minum buat temen gue," matanya melirik ke arah lapangan. Neysa ikut melirik, berusaha mendapat sosok yang sama yang dimaksud Shane, tapi justru hanya sosok yang tidak ia inginkan muncul di sana.

"Gebetan?" ledeknya, membuat Shane melotot. "Ya udah, gue duluan ya." Neysa terkekeh mendapati reaksi Shane yang lucu. Lalu kakinya melangkah meninggalkan teman barunya itu, dan berharap tidak akan bertemu dengan sosok yang tidak ingin ia temui lagi. Sekejap rasa menyesal menyelimutinya. Kenapa ia harus sekolah di sini, kenapa cowok itu juga sekolah di sini. Neysa kalut. Hatinya terus meyakinkan kalau semua akan baik-baik saja. Masa SMA-nya pasti bisa berjalan lancar dan baik tanpa dihantui oleh masa lalu.

MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang