***
Sivia menatap layar ponselnya lekat-lekat. Ia tampak berfikir keras. Sudah satu tahun ini ia selalu mendapatkan sms dan surat-surat yang berisi rangkain puisi, dan itu entah dari siapa.
"Kenapa Vi?" seseorang duduk di samping Sivia.
Sivia memandang orang itu yang tak lain adalah Alvin.
"Eh? Alvin?"
"Hadeuuhh.. Dapet puisi nih dari secreat admirenya?" goda Alvin curi-curi pandang ke arah handphone Sivia "Boleh gue lihat?"
"Nih! Lihat aja. Balas noh sekalian. Pusing gue!" Sivia menyerahkan ponselnya kepada Alvin yang bingung dengan tingkah Sivia.
From : 082115xxx
Aku suka melihatmu.
Melihat senyummu.Aku suka memandangmu.
Menikmati sikapmu.Sikap ceriamu.
Aku suka.
Suka semua yang ada papa dirimu.Alvin tertawa.
"idih tertawa lagi lo. Itu puisi romantis bukan lawakan!" protes Sivia mengambil ponselnya di tangan Alvin. "niat balas puisi ini gak?"
"Ogah! Gue-gak-bi-sa!" Alvin memberi penekanan pada kalimatnya. "Tuh minta aja sama Shilla, sastrawan kita semua!"
"Pasalnya, gue malu Vin minta Shilla balesin nih puisi mulu. Udah satu tahun Vin, tiap gue dapet puisi, Shilla mulu yang bales."
"Makanya belajar neng! Punya temen bisa tuh bukan dijadikan temen doang. Jadikan juga guru terbaik!"
Sivia manyun.
"Ih jelek lo vi!" ejek Alvin nyubit lengan Via, gemas.
"Ih dasar lo sipit! Nyubit-nyubit gue. Sakit tahu!"
"Eits! Nyantai sis! Sipit-sipit gini juga gue pinter. Ketua osis lagi!" kata Alvin narsis.
Sivia mendelik. "Woi sdar Vin! Lo udah bukan ketos lagi. Bangga amat lo jadi ketos!" teriak Sivia.
Alvin menutup telingnya, mendengar suara Sivia yang kencengnya asli bukan main. Ia sendiri bingung kenapa Sivia hobi banget teriak teriak.
"Vin!"
Baik Sivia maupun Alvin, menoleh kearah belakang saat mendengar suara memanggil Alvin.
"Eh Fy.. Hmm.. Sory ya gue duluan Vin!" Sivia berlari meninggalkan DpR.
"Ada apa Fy?"
"Gue mau bicara."
***
Hembusan angin malam, begitu terasa menusuk setiap sendi tubuhnya. Ia tendang kerikil-kerikil kecil di sekitar komplek rumahnya. Berjalan menyusuri jalan-jalan kecil dan sampailah ia pada satu tempat yang membuat ia tertawa kecil. Mengingat satu masa dimana ia memulai segala perubahan.
[Flashback]
Tampaknya seorang gadis dan anak laki-laki berdiri di lapangan basket kecil yang berada di samping perumahan Asri-Jakarta sore itu. Mereka dengan sangat lincah, saling berkejaran dan merebut bola. Tidak mempedulikan setiap bulir-bulir keringat yang membasahi kaus seragam mereka dan rasa lelah yang melilit tiap sendi dalam tubuh mereka.
Anak laki-laki itu memandang gadis tomboi di hadapannya sambil berusha merebut bola di tangan gadis itu. "Lo fikir lo hebat?" kata anak laki-laki yang rupanya Cakka, pada gadis itu yang tak lain adalah Agni.
Agni balas menatap Cakka. Tapi tak lama setelah itu ia menunduk dan mulai fokus pada bolanya. "Dan lo fikir lo yang paling hebat dan jago dalam basket?"