Untuk hidup yang kufikir sempurna setelah kehadirannya di sisiku.Untuk hidup yang kufikir lengkap setelah dia menjadi milikku seutuhnya.*
Dua pasangan itu tampaknya masih enggan beranjak dari tempatnya sekarang meski alam sudah memberikan tanda-tanda seringai malamnya. Mereka tetap asyik menikmati suasana di sekitar mereka. Tak mempedulikan apapun selain detik demi detik kebersamaan yang sebenarnya sering sekali mereka rasakan.
Atap gedung sekolah. Itulah latar mereka saat ini. Tempat yang beberapa bulan terakhir ini menjadi satu-satunya tempat favorit mereka.
"Al, maafin aku ya?" Gadis berwajah cantik itu, yang tak lain Sivia memulai pembicaraan. Memecahkan keheningan yang selama 3 jam ini menyelubungi lokasi itu. Ia menyandarkan kepalanya di pundak Alvin.
"Untuk apa?" tanya Alvin tak mengerti. Ia mengelus lembut kepala Sivia.
"Gara-gara teror yang aku berikan kamu jadi kaya gini. Banyak traumanya, terutama kalau lihat darah. Terus kamu juga masih dijauhi sama semua orang." Sesal Sivia mengingat kejadian-kejadian beberapa bulan yang lalu saat ia berperan menjadi gadis egois yang melakukan banyak cara hanya untuk memiliki Alvin seutuhnya. Termasuk meneror Alvin agar Alvin frustasi, disangka gila dan dijauhi semua orang. Sehingga hanya dia yang boleh dekat dengan Alvin.
Alvin tertawa pelan. Ia menatap langit yang benar-benar sudah menggelap. "Lupakanlah hal yang telah berlalu. Semuanya akan baik-baik saja. Lagian dekat denganmu saja sudah cukup bagiku. Aku tak butuh orang lain. Ya, kecuali Rio!"
Meski Alvin berkata demikian, Sivia tetap merasa tidak enak. Bukan apa-apa hanya saja sepertinya Alvin jauh lebih tersiksa ketimbang menghadapi teror yang ia berikan.
"Al..." Panggil Via.
"Iya, Vi?"
"Aku sayang kamu!"
Alvin tersenyum. Mencium kening Sivia lembut. "Aku juga tahu. Tak mungkin kau menerorku kalau kau tak sayang padaku." Sindirnya terkekeh pelan.
"Aargh Alvin. Katanya lupakanlah hal yang tlah lalu. Tapi, kenapa kau masih mengungkitnya?" Protes Sivia kesal. Ia memukul-mukul dada Alvin dengan pelan.
Alvin tertawa sambil sesekali meringis karena pukulan Via. "Haha, Iya, iya, maaf. Udah dong! Sakit tahu." Alvin memegang tangan Sivia yang dijadikan objek untuk memukulnya. Ia menatap Via lekat-lekat.
Via balas menatap Alvin lebih rinci.
"Aku sayang kamu juga, Via!"
*
Secara repleks Alvin membuka matanya. Terbangun dari tidurnya. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Nafasnya terengah. Ia seperti baru saja
berlari ribuan kilo meter. Terlihat capek. Dan satu kata yang membuatnya seperti. Mimpi buruk!Mimpi yang selama beberapa bulan setelah ia berhubungan dengan Via, menemani tiap malamnya. Membuat jiwanya lebih terguncang dari teror-teror Sivia sebelumnya. Mimpi yang menurutnya lebih buruk dari bangkai-bangkai yang pernah ia dapatkan. Entahlah! Entah mimpi apa.
Alvin mengedarkan pandangannya ke setiap penjuru ruangan kamarnya. Sepintas ia menangkap sosok bayangan di balik kaca yang pernah Rio pecahkan. Sama seperti waktu ia melihat Sivia dulu saat Via masih menerornya. Tapi, bayangan itu lebih menyeramkan.
Perlahan Alvin mengucek matannya. Kembali membuka matanya. Tak ada. Belakangan ini ia memang sering sekali berhalusinasi. Dan itu sukses membuatnya menjadi gila. Benar-benar gila.
"Aaaarrggh!" Alvin mengerang sekeras-kerasnya. Mengobrak-ngabrik kamarnya. Ia frustasi. Ia merasa menjadi orang yang bahkan tak mempunyai rasa aman. Ia seperti mafia yang menjadi buronan dolisi dan faktanya memang lebih dari itu.
"Hh..hh..hh.."
Alvin mundur menuju pojok kamarnya. Menatap darah segar yang mengalir dari telapak tangannya karena tanpa sengaja tangannya tergores pecahan kaca dari figura photo yang berhasil ia pecahkan.
Alvin bersandar di dinding kamarnya. Masih menatap telapak tangannya yang tak juga memberi tanda darahnya akan berhenti. Ia menggigil hebat. Tubuhnya bergetar. Ia tidak bisa melakukan apapun karena secara perlahan tubuhnya merosok ke bawah. Lemas. Tapi, kesadarannya masih ada.
Deg!
Secara tiba-tiba, bagian dadanya terasa sakit. Sakit yang beberapa minggu terakir ini menyerangnya. Ia berdrediksi ada sesuatu yang tidak beres pada alat pemompa darahnya. Dan itu terjadi setiap kali hal ini terjadi.
"argh!" Alvin mengerang pelan lantaran ia tidak punya tenaga cadangan untuk mengerang lebih keras. Ia meremas dadanya kuat-kuat. Berharap sakit itu hilang. Dan nyatanya tidak sama sekali. Justru sakit itu semakin meronta. Semakin hebat dan semakin membuatnya semakiu tersiksa. Dan untuk saat ini tak ada Rio yang membantunya seperti dulu.
Dengan susah payah, Alvin mencoba meraih telepon genggannya yang tergeletak sembarang di meja belajarnya. Dapat! Ia berusaha menghubungi seseorang.
"Ri.. Rio! Tolong..hh.. tolong yo.. hh!"
"Al! Alvin! Lo kenapa?"
Tut...tut..tut..
gelap!
*
"Rio! Gue mohon maafin gue! Gue tahu ini semua salah gue. Gue yang jadi penyebab awal Alvin kaya gini. Rio..."
Sivia terisak hebat di depan ruang ICU saat
ini. Ia memeluk Rio yang masih bergeming. Menahan amarah. Bayang-bayang Alvin masih terus menempel di pelupuk matanya. Bayang-bayang Alvin yang tergeletak mengenaskan di kamarnya. Bayang-bayang wajah pucat Alvin yang sudah kehilangan banyak darah. Bayang-bayang tubuh kurus Alvin yang hampir kehilangan detak jantungnya.Dan untuk saat ini , ia berhak memaki-maki Via. Karena dokter mengatakan bahwa apa yang Alvin alami berawal dari tekanan yang terlalu berat sehingga membuat kerja jantung Alvin jauh berada di garis normal. Dan yang Via lakukanlah yang membtat Alvin seperti ini.
"Rio..." lirih Via semakin menguatkan pelukannya.
"Kamu tahu Vi? Rasa egois karna kamu ingin memiliki Alvin, ternyata menjadi Alat yang secara perlahamembunuh Alvin." Terang Rio.
"Maafkan aku, Rio!"
Klek!
Pintu ruang ICU itu terbuka. muncul beberapa orang dengan seragam putihnya. Membuat Via melepaskan pelukannya dan menoleh ke arah orang-orang itu. Begitupun dengan Rio.
Terlihat sudah dari rau wajah orang-orang itu yang kusut dan terkesan penuh kecewa dan penyesalan. Ada sesuatu yang buruk. Pertanda tak ada satupun kata yang cukup ampuh untuk menggambarkan keadaan sesunggunya.
*
Untuk hidup yang kufikir sempurna setelah kehadirannya di sisiku.Untuk hidup yang kufikir lengkap setelah dia menjadi milikku seuuhnya.
Aku ingin ikut bersamamu.Karena kau hanya untuku.
END