Part2

731 12 0
                                    

***

Sejuk. Mendamaikan. Itulah yang ia fikirkan tentang satu ciptaan Tuhan yang bergerak-gerak lembut di hamparan biru itu.

"Yang lain pada kemana ya Kak?" tanya seseorang mengalihkan perhatiannya.

Ia membalikan badan dan sudah menemukan Rio tengah berjalan ke arahnya.

"Biasanya DPR rame. Kok cuma ada Kak Shilla doang?"

Shilla tersenyum "Lo masuk kelas apa Yo?" bukan menjawab pertanyaan Rio, Shilla malah memberi pertanyaan baru untuk Rio.

Rio duduk di samping Shilla "IPA Kak."

"Cocok!"

"Lho.. Kenapa memang?"

"Karena lo pintar dan cocok nempatin posisi itu. Selain itu, gue rasa lo deh yang bakalan dapat gelar ketua osis.."

Rio tertawa pelan "masa sih Kak? Tapi, gue gak pernah ingin ada di posisi gue saat ini. Gue gak pernah mau jadi anak IPA dan gue juga gak pernah ingin jadi ketua Osis." jelas Rio membuat Shilla berhasil noleh ke arahnya dengan tatapan bingung.

"Hmm.. Kenapa sih Yo? Bukankah orang-orang begitu bernafsu buat duduk di kelas IPA?"

"Karena sebenarnya, gue gak pernah ingin orang lain tahu gue pintar. Gue gak pernah mau orang kenal sama gue karena gue seorang teladan ataupun ketua osis" Rio jeda sejenak. Menarik nafas dalam saat mengakui posisinya saat ini tidak pernah ia harapkan.

"Gue ingin orang kenal ya.. Gue sebagaiRio. Bukan ketua osis atau yang lainnya. Lagian jadi orang pintar itu ribet Kak! Punya beban mempertahankan kebanggaan orang lain."

Shilla tersenyum. Menaikan satu alisnya pertanda tak mengerti. Benarkah ada orang yang berfikir seperti itu?

"Coba deh lo fikirkan Kak! Kalo orang kenal kita sebagai orang pintar, saat nilai kita down kita akan menjadi topik yang fenomenal ketidakpercayaan orang lain. Kadang kita jadi takut mengecewakan orang-orang yang begitu bangga pada kita. Padahal semua juga tahu ada kalanya kita berada di bawah."

Lagi-lagi Shilla hanya tersenyum. Mengingat dulu ia sangat kecewa saat ia di tempatkan di kelas IPS. Padahal sudah jelas ia merasa seorang pintar yang mampu menjadi seorang bintang pelajar.

"Dulu, gue pengen banget duduk di bangku kelas IPA Yo.. Dan gue yakin akan duduk disana bersama Alvin dan Ify, atau paling tidak dengan Agni di kelas IPA 2. Mengingat sejak SMP gue adalah seorang yang pintar. Gue selalu rangking dan jadi kebanggaan guru-guru. Tapi nyatanya? Gue sama sekali gak masuk kelas IPa dan terlempar jauh ke kelas IPS bersama Sivia, Iyel dan Cakka..

Gue kecewa berat Yo! Mungkin karena gue terlalu yakin dan nyatanya tidak. Membuat gue benar-benar terpukul. Tapi setelah itu, gue berusaha meyakini hati gue kalau gue bakalan lebih baik di kelas IPS ini. Gue mulai belajar bersyukur dan mengambil pelajaran bahwa seharusnya kita mempersiapkan segala sesuatu yang negatif yang akan menghampiri kita."

Entah dorongan darimana shilla tiba-tiba bercerita panjang lebar pada Rio. Padahal ia bukan tipe orang yang suka berbagi pengalaman hidupnya. bahkan teman-teman yang lainpun belum tahu tentang ini.

"Sebenarnya IPA-IPS sama aja Kak!"

Untuk kesekian kalinya Shilla dibuat diam oleh seorang adik kelas. Dulu ia berfikir kenapa IPA disebut sebagai tempatnya orang-orang pintar? padahal jelas sudah satu sama lain punya kemampuan masing-masing. IPA belum tahu dan memahami pelajaran IPS. Begitupun sebaliknya.

"Kak!" Panggil rio.

Shilla memandang Rio. Hingga tatapan mereka beradu. Membuat detakan jantung Shilla berdetak dengan irama tersendiri.

Queen Of Sad Ending Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang