Because I Love You Alvin!(part3)

199 2 0
                                    

13 Desember 2015

Aku memandang Alvin iba. Tak tega aku melihat ia seperti saat ini. Dijaga ketat oleh Kakaknya, Angel. Hanya karena kejadian kemarin, selain membuat cagiva Alvin harus mendapatkan perawatan di bengkel, Alvinpun mengalami patah tulang rusuk yang cukup parah.

"Sory Al! Kakak gak maksud protect berlebihan sama kamu. Gak maksud juga kakak memperlakukan kamu kaya anak kecil gini. Kakak takut kamu kenapa-napa. Mengingat beberapa hari kebelakang kamu sering banget mengalami kecelakaan."

Angel memfokuskan pandangannya ke depan untuk berkonsentrasi pada kemudinya. Sebenarnya ia tidak mau menjadi sopir untuk Alvin hari ini karena seharusnya Alvin berada di rumah sakit atau paling tidak di rumah untuk sekedar beristirahat. Tapi, ia tahu adiknya yang satu itu akan berubah menjadi batu jika kata ulangan menjadi tantangannya. Dan dalam kondisi apapun Alvin tidak akan meninggalkan ulangan itu.

"Kakak takut kehilangan kamu." sambung Angel.

Alvin tersenyum. Sesungguhnya ia tidak terlalu mempermasalahkan semua itu. Ia tipe orang yang menerima apa yang seharusnya ia terima. Ia suka membuat semuanya simple dan mudah. Dan itu yang membuatku tergila-gila padanya.

Alvin mendesah. Menutup buku kimianya dan memfokuskan pandangannya ke depan. "Kak!" panggil Alvin.

"Ya?"

"Ah, tidak jadi."

"Apa? Jangan main rahasia-rahasiaan deh!"

"Hm.. Beneran gak jadi!"

Angel menatap Alvin bingung. Begitu juga dengan aku. "Ayolah! Apa yang ingin kamu katakan?" paksa Angel menyenggol-nyenggol lengan Alvin.

"Ada satu soal ulangan yang tidak aku isi." Kata Alvin membuatku dan Angel melongo.

"Kenapa?"

"Aku gak tahu jawabannya."

"Soalnya?"

"Bahan kimia apa yang bisa membuat perasaan sakit hati hilang begitu saja?"

Aku dan Angel tertawa bingung mendengar pertanyaan Alvin. Jelas itu hanya karangan Alvin saja. Aku tahu apa penyebab Alvin mempertanyakan itu.

[Flashback]

Taman rumah sakit. Itulah latar kami--aku, Alvin dan gadis itu. Satu tempat yang kiranya cukup menyenangkan diantara tempat-tempat lainnya. Tapi, itu sebelum Alvin menyuruh gadis itu datang kesana dan menemaninya yang sedang menunggu pemeriksaan kecelakaan tadi pagi. Dan saat ini? Tentunya tempat itu menjadi setting yang buruk. Lebih buruk dari kamar mayat dan ruang operasi.

"Al!" panggil gadis itu mulai mencairkan kebekuaan diantara kami. "By the way, ada apa sih?" tanyanya.

Aku mengamati mereka serius. Sepertinya hawa-hawa di sekitarku mulai mendingin, melihat tatapan Alvin yang sungguh-sungguh berbeda kepada gadis itu.

"Sebenarnya aku ingin mengatakan ini tadi. Tapi, kamu tahu sendiri aku mengalami kecelakaan. Jadi aku katakan sekarang aja ya?"

Aku membuka telingaku lebar-lebar untuk mendengar apa yang ingin Alvin katakan. Sepertinya sesuatu yang amat sangat serius.

"Apa?" tanya si gadis.

"Aku mencintaimu!" ujar Alvin terus terang.

Dan sesaat saja, aku merasa sesuatu yang aneh terjadi. Hatiku secara spontan mencelos sakit. Seperti baru saja cairan-cairan kimia berbahaya disiramkan ke dasar hatiku dan menyerap ke dalam lautan hati yang paling dalam.

Aku memandang Alvin di balik bulir-bulir air yang sudah membendung di pelupuk mataku. Apa salah jika aku bilang, tega sekali ia mengatakan itu di hadapanku? Tentu salah. Dengan di bawah kendali aku memukul-mukul dada Alvin, pelan. Kemudian berlalu meninggalkannya.

"Aarrggh.." Alvin memegan bagian tubuhnya yang tadi aku pukul.

"Kenapa?" tanya Gadis itu cemas.

Alvin memandang ke arah kemana ak berlari. Gadis itu melakukan hal yang sama. Tatapan itu tentunya tatapn aneh yang selalu mereka lontarkan padaku.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya gadis itu lagi.

"Aku akan baik-baik saja jika kamu respon ucapanku!" Alvin memegang wajah gadi itu. Kemudian mensejajarkan pandangnya pada pandangan gadis itu.

"Maaf Alvin! Aku tidak bisa!" ujarnya melepaskan tangan lembut itu dari wajahnya dan berlalu meninggalkan Alvin yang bingung dengan aksi gadis itu.

[Flashbackend]

"Sebenarnya bukan itu yang ingin aku katakan." kata Alvin menghentikan tawaku dan Angel. Kami beralih memandang Alvin serius.

"Apa?" Angel sedikit memelankan mobilnya untuk menyimak Alvin.

"Kalau Alvin benar-benar mati. Jaga diri kakak baik-baik ya?"

"Apa maksudmu? Bahkan kau terlihat sehat-sehat saja."

Alvin menarik nafas dalam. Kemudian menyandarkan punggungnya di jok. Aku mengamatinya. Lebih tepatnya mengamati sabuk pengaman yang Alvin acuhkan. Di balik kehati-hatiannya ternyata ia tidak peduli pada hal-hal spele seperti itu.

"Aku hanya berfikir, waktuku semakin dekat."

"Aih, jangan berkata sakral seperti itu! Jangan buat kakak takut!" komentar Angel tidak suka.

Alvin bergeming.

Aku menatap keduanya lebih rinci. "Memang itu adanya Kak! Sebentar lagi jantung Alvin akan berhenti dari profesinya. Sekarang coba deh kakak fikirkan apa tanda-tanda kecelakaan yang menimpa Alvin beberapa hari kebelakang kalau bukan tanda-tanda malaikat pencabut nyawa ingin Alvin segera mati. Hanya saja gadis itu selalu menghalanginya!" ketusku sambil tersenyum kesal.

Angel membalikan badan dan menatapku datar. Aku membalas tatapan yang sama seperti tatapan Alvin padaku itu. Apa ini alasan aku ingin Alvin tahu perasaanku lebih cepat? Karena aku tahu waktu Alvin tidak banyak? Entahlah, yang pasti aku bukan seorang gadis yang memiliki sixth sense, ataupun seorang dokter yang bisa memvonis hidup seseorang, aku juga bukan gadis luar biasa yang punya kemampuan membaca fikiran malaikat kematian. Aku tidak tahu. Kalaupun aku tah, hanya pada saatnya nanti yang lain akan kuberitahu.

"Sudahlah Kak! Jangan menatapku seperti itu! Lebih baik kau cepatin dikit laju mobil ini! Sekarang itu udah sore, waktuku tidak banyak. Alvin juga harus istirahat panjang." kataku memalingkan muka ke luar jendela. Aku jengkel menyikapi Angel yang sok melankolis. Bukan apa-apa hanya saja itu membuatku ragu.

Sedikit mengamati keadaan di sekitarku, Angel kembali membalikan badan dan menatap jalan di depannya. Tanpa fikir panjang, ia menginjak pedal gas. Mobil melaju di atas kecepatan rata-rata. Menyelip mobil-mobil lain yang masih berjalan normal.

Alvin menatap Angel bingung plus heran. Kemudian ia membalikan badan lagi dan...

"Stooppp Kakk!" teriak Alvin histeris begitu mobil sejajar dengan tiang papan reklame, bilboard kartu perdana berwarna merah mencolok. Alvin menutup mata. Angel berusaha menginjak rem dan aku terpaku di jok belakang.

Beruntung. Meski cukup keras membanting tiang besi itu, dan spion serta body mobil sebelah kiri rusak, tak ada korban jiwa. Angel mengusap dada. Aku menunduk lesu dan Alvin diam. Secara tiba-tiba sebuah cairan merah mengalir di pelipisnya. Akibat tidak menggunakan sabuk pengaman. Tapi, tampaknya ia tidak peduli dengan itu. Ia lebih peduli dengan pengamatannya pada papan reklame itu dan....

BRUUUUAAAKKK

Sesaat mobil yang kami tumpangi tertindih reklame besi itu. Aku sempat terhenyak menyadari dua orang di hadapanku sudah dilumuri warna-warna merah pekat karena pecahan kaca yang tertancap hampir di seluruh tubuh mereka. Sepintas kuamati Alvin yang terlihat paling mengenaskan. Dan dalam rona-rona kepanikan dan kengerian itu, aku tersenyum.

Queen Of Sad Ending Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang