***
Awan kumulus dengan bentuknya yang khas terlukis rapi di atas kaki-kaki langit dengan warna biru cerahnya yang menenangkan. berpadu dengan serat-serat kuning emas yang terpancar dari si penguasa siang yang selalu pongah. keangkuhannya menembus tiap kaca-kaca bening bangunan bernuansa cream-cokelat yang perlahan-lahan dipenuh oleh anak-anak berseragam putih-abu. SMA Albider menunjukan kemewahannya.
Dan di ruangan paling timur, ruangan yang masih kosong. Tepat di bangku paling pojok, seorang siswi berkacamata begitu asyik menikmati suasana sepi di ruangan itu. serat-serat cahaya matahri menyorot sebuah buku bergaris dengan tulisan tangan yang rapi yang menjadi tema si gadis saat itu. ia begitu sibuk dengan buku dan penanya. tak peduli seberapa sunyi ruangan itu. Acuh tak acuh dengan sayup-sayup suara siswa-siswa lain di luar ruangan yang masih asyik membicarakan calon ketua osis baru. Yang ia pedulikan hanya apa yang sedang ditulisnya.
"Lemparkan sini Al!"
Sontak perhatiannya teralihkan begitu mendengar suara yang cukup keras mengusiknya. dengan segera ia memfokuskan titik fokus matanya pada lapangan basket di samping kelasnya karena suara itu berasal dari arah sana.
Dua orang anak laki-laki yang merupakan teman sekelasnya, kali ini menjadi penghuni lapangan basket itu. mereka selalu berhasil mengganggu euoforianya bersama tokoh-tokoh cerpennya. dan ia tidak terlalu suka itu.
"Yaelah.. malah bengong lagi."
Cepat-cepat ia menunduk begitu menyadari salah satu dari anak laki-laki itu tengah memandangnya dan melontarkan senyuman kepadanya.
Merasa tidak mendapatkan balasan dari gadis itu., anak laki-laki itu kembali mendrible bola dan mulai fokus kembali pada permainannya. Gadis itu selalu begitu, terkesan dingin dan masa bodoh.
"Berapa kalipun kau tersenyum padanya, kau tidak akan mendapatkan respon yang baik darinya. Kau lupa? Satu-satunya siswa yang lupa caranya tersenyum di Albider ini hanya dia, gadis berkacamata yang punya gelar sastrawannya SMA Albider bernama Via?."
Anak laki-laki bernama Alvin itu terkekeh pelan mendengar komentar temannya yang selalu protes besar-besaran saat ia kepergok tersenyum ke arah gadis bernama Via yang saat ini duduk sendiri di dalam kelas.
"Ih, ketawa lagi. asal kamu tahu ya! setinggi apapun jabatan keramahanmu itu, kamu tidak akan pernah bisa membuat dia tersenyum."
Lagi-lagi, Alvin hanya tertawa pelan sambil melempar bola ke arah tiang ring. Kemudian tersenyum lebar kearah temannya saat bola meluncur dari ring. "Yang aku tahu, semua orang bisa tersenyum." katanya sambil mengambil bola yang sudah menggelinding tanpa arah dan berjalan meninggalkan lapangan. temannya mengikuti.
"Hmm.. baiklah. Aku setuju dengan ucapanmu.”
Gadis itu hanya bisa tersenyum tipis mendengar sama-samar percakapan singkat anak laki-laki bernama Alvin dengan temannya, Cakka. Seperti itukah ia di mata tema-temannya? Bahkan ia sendiri tidak tahu kenapa ia seperti orang yang hidup di satu tempat yang tidak tahu apa itu cahaya matahari sehingga ia tumbuh menjadi seorang yang dingin dan tidak tahu apa itu kehangatan.
***
Pandangannya terfokus pada barisan kata dalam novel yang sedang dibacanya. Ia selalu betah duduk berlama-lama di taman belakang sambil ngedate sama novel-novelnya seusai jam pelajaran berakhir.
Bau rumputnya yang khas, gesekan daun yang menyimpan irama tersendiri. Angin sejuk yang mendamaikan. Semuanya selalu sukses membuainya manja.