Chapter Three

306 7 0
                                    

SASSHIE

                Seminggu sudah berlalu sejak kejadian yang membuatku ingin mengubur diriku sendiri itu, dan hingga saat ini aku masih tidak bisa menghilangkan ingatan akan wajahnya yang memandangiku dengan sorot tajam karena marah. Ya, wajah cowok bernama.. – aku mencoba memikirkan namanya lagi – .. ah, cowok yang bernama randra itu.

                “Stupid.. stupid.. sasshie stupid..”, aku menggumam lagi mengutuk diriku sendiri.

                Seharusnya aku memang tidak usah ikut ke acara makan malam itu. seharusnya aku..

                “Lagi menggumam apa sayang? Kamu ga malming sama reva, sash?”, suara mama membuyarkan lamunanku. Aku menoleh ke arahnya masih dengan pikiran setengah melayang,

                “Iya ma?”,

                Ibuku itu sekarang sudah duduk di sofa bersamaku, tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya menatapku, “Kok malah jawab iya ma sih, sash. Bengong mikirin apa lagi sih kamu? Semingguan ini mama liat kamu kayaknya bengong terus.”, katanya. Ia menatapku menyelidik sebelum akhirnya beralih menyalakan televisi.

                “eh? Bengong? Ah.. ga kok ma.”, elakku sedikit terbata-bata sambil tersenyum kecil. Jangan sampai mama tau apa yang sebenernya terjadi antara aku, reva, sama cia..

                Cia. Entah sejak kapan nama yang biasa aku panggil dengan nada sayang itu sekarang malah membuatku merasa mual. Aku membenci nama itu, sama besarnya seperti aku membenci pemilik nama itu.

                “terus, itu apa?”, ucapan mama lagi-lagi membuyarkan lamunanku. Aku memandangnya bingung, sementara matanya memandang ke sesuatu yang sedang aku pegang.

                Aku mengikuti arah pandangan mata mamaku, dan menemukan sesuatu yang ganjil. Oke, sejak kapan aku membaca majalah dengan terbalik? Aku lalu tertawa canggung seraya menutup majalah itu dan menaruhnya di atas meja. Pikiranku seharian, ah tidak, semingguan ini maksudku, memang tidak pernah bisa fokus. Aku selalu saja membayangkan kejadian malam minggu kemarin. Cia, Reva, dan.. tamparanku pada cowok bernama randra itu, orang yang bahkan tidak kenal padaku dan tidak aku kenal.

                Pandangan mama kembali menyelidik,

                “gimana planning pernikahan kamu sama reva, sash? Udah sampe mana? Kamu kok ga cerita apa-apa sih sabtu malam kemaren? Jadi kan ketemuan sama cia?”, tanyanya secara beruntun. Cia. Kenapa sih semua hal harus selalu berkaitan dengan dia? Oke, relax, sash.

                Aku sedang berpikir ingin memulai menjawab dari mana – bukan jawaban yang sebenarnya, tentu saja – ketika tiba-tiba iphoneku berbunyi dari arah kamar, melantunkan nada ‘bruno mars – treasure’. Seseorang menelepon.

                “handphone kamu ya sash? angkat sana. Reva kali tuh ngajak dinner, ini kan malam minggu sayang..”, goda ibuku sementara aku dengan malas berjalan ke kamar untuk mengambil iphone-ku. Aku memikirkan kata-kata ibuku. Reva? Sejak kapan ia meneleponku duluan? I’m not such a dreamer, ma..

                Layar iphoneku berkedip-kedip,

                Alicia Calling

                Sudah kuduga. Aku memandang nama penelepon itu dengan malas. Ini sudah hampir ke sepuluh kalinya ia meneleponku hari ini. Mau apa sih si cia? Kenapa dia masih saja berusaha untuk..

The Story of UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang