by sirhayani
part of zhkansas
...
Aku membasahi bibirku yang terasa kering. Ini terasa canggung. Aku menoleh dan mendapati Agam sedang mengambil sebatang rokok dan pematik di dashboard. Dia menyalakan api dan membakar ujung rokok yang sudah terselip di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Seandainya dia salah satu cowok kekinian, yang memasang foto profil facebook dengan gaya sedang merokok atau dia mengunggah foto seperti itu di sosial media yang lain, jelas membuatku ilfeel. Tetapi tidak dengan dia. Dia tidak narsis. Foto-foto yang dia unggah di instagram bahkan semuanya hanya berbau alam. Dan menurutku, aku suka dengan cowok seperti dia.
Ah, aku menggeleng-geleng. Aku tidak mau dulu berpikiran ke sana.
"Kenapa lo nggak turun?"
Suaranya yang tiba-tiba kudengar membuatku tersentak. Aku membuka steatbelt dan menatapnya sambil meneguk ludah. Tenggorokanku benar-benar kering. "Gue cuma pengen bilang terimakasih."
"Oh," balasnya singkat. Bahkan setelah aku menyelesaikan kalimatku tadi, dia hanya melihatku sekilas lalu kepalanya beralih memandang entah apa lewat jendela.
Asap rokoknya ke arahku, aku menahan napas agar asap rokok itu tidak masuk lewat udara yang kuhirup. Tetapi, tidak berhasil. Cepat, aku membuka kaca mobil dan mengeluarkan kepalaku ke sana untuk menghirup udara segar.
"Lo bego, ya?" Dia bertanya sadis, membuatku sudah tidak memedulikan apapun yang dia katakan. "Kenapa lo nggak langsung keluar aja dari mobil?"
Aku memejamkan mata. Antara malu dan kesal karena nada bicaranya. Perlahan, aku menggeser dudukku dan bergerak untuk menatapnya. "Sorry," kataku pelan.
Kudengar dia mendengus. "Kenapa lo masih di situ? Rumah lo udah sampai 'kan?"
Aku mengerjap bingung. Iya juga, sih. Malu-malu, aku menatapnya. "Gue tadi pengen ngomongin sesuatu." Aku mengingat pertanyaanku saat di sepanjang perjalanan tadi. Dia menaikkan sebelah alisnya, sepertinya menungguku untuk melanjutkan kata-kata. "Lo ngerokok, tapi lo ketua OSIS..." suaraku makin memelan. Aku menggigit bibir dengan gemas.
"Kelakuan gue nggak ada pantes-pantesnya jadi Ketua OSIS, gitu maksud lo?" tanyanya menohok. Aku makin gelisah. Ini yang sangat kutakuti, ketika ada orang lain yang tersinggung karena kata-kataku.
"Maksud gue—"
"Gue ngerti." Agam memotong perkataanku. Dia sesekali menghembuskan asap rokoknya keluar jendela, walaupun angin masuk ke dalam mobil dan asap rokok itu masih mendatangiku. "Lo nggak asma,'kan?"
Aku terdiam. Perlahan aku menggelengkan kepalaku.
"Oh." Dia menganguk-anguk. Sekarang yang kulihat, dia tidak sedang memegang rokok. Sepertinya sudah dia buang. "Dari dulu gue pengen berhenti ngerokok, katanya dengan masuk ekstrakurikuler ngebuat kita terhindar dari hal-hal buruk atau paling tidak masuk organisasi." Agam menatapku. "Dan pilihan gue jatuh pada OSIS."
Aku baru tahu tentang Agam, yang seperti ini.
"Tapi, gue masuk organisasi belum berarti ngubah kebiasaan lama gue. Gue berusaha pelan buat ngejauhin yang namanya rokok." Dia menghembuskan napas pelan. "Tapi, nggak bisa. Sampai sekarang."
Aku sekarang mengerti. Tetapi, tentang alasan Agam merokok membuatku masih bertanya-tanya. Mungkin masih ada alasan yang lebih pas untuk seorang Agam yang mulai merokok sejak SD. Membayangkan bocah SD sedang merokok membuatku meringis.
"Lo pernah denger pemuda yang meninggal karena paru-paru bocor?" tanyanya. Aku menggeleng. Sedangkan dia tertawa pelan. "Lo kudet ternyata."
Aku melotot. "Enak aja," balasku jengkel. Dia hanya tertawa. Lesung pipitnya terlihat di pipi sebelah kiri. Dan lesung pipit itu muncul hanya jika dia sedang tertawa. Rasanya, aku beruntung melihat pemandangan itu.
"Dan itu semua karena dia udah ngerokok sejak masih SD."
Aku kaget. Sumpah! Hal yang membuatku mengeluarkan berbagai spekulasi. Mungkinkah Agam sekarang terkena penyakit itu?
"Lo mikir gitu?"
"Eh—"
Dia tertawa pelan. "Enggaklah. Gue nggak sedang mengidap penyakit itu."
"Oh." Aku mengangguk-angguk. "Gue kira lo mau curhat. Ternyata Cuma pengen lo bilang doang."
"Ya, sebagai renungan gue." Dia menatapku lagi. "Siapa tahu lo mau bantu gue buat berhenti ngerokok."
Aku mematung. Perkataannya membuatku terbawa perasaan. Kata-katanya mampu membuat jantungku berdegup dua kali lebih cepat dari biasanya.
Dan aku bersyukur, terdengar suara deringan ponselku yang setengah jam lalu sudah tidak kudiamkan. Aku melihat sebuah pesan dari Lia.
Jangan lupa ke rumah gue!
Aku tidak langsung membalasnya. Aku terlalu lama di dalam mobil ini. "Gue masuk, ya?"
Dia mengangguk. Lalu, aku segera keluar tanpa mengucapkan kata lagi.
*
KAMU SEDANG MEMBACA
True Stalker
Teen FictionAdaptasi True Stalker sudah tayang di Vidio! 🎬 - Aku adalah stalker. Itu sebuah hobi? Bisa dibilang begitu. Tetapi, aku hanyalah seorang gadis SMA yang duduk di bangku kelas X. "Lo udah tahu kelakuan gue di sekolah. Satu cara supaya gue bi...