14

842K 46.4K 4.5K
                                    

by sirhayani

part of zhkansas

__

Matahari sudah mulai tenggelam, ini sudah hampir malam dan aku masih berkeliaran di sekitaran kompleks. Aku memang seperti gadis kecil, yang tidak boleh keluar rumah jika sudah maghrib dan malam. Begitu cara kedua orangtuaku mendidikku sejak kecil.

Aku melihat seseorang bersandar di mobil. Dari jarak jauh ini, aku sudah bisa mengenal siluet itu. Jelas dia Agam. Tak lupa dengan sebatang rokok yang tak pernah ia biarkan lepas dalam apitan dua jemarinya sehari saja.

Aku kembali berjalan santai setelah tadi berlari dari blok sebelah hanya untuk sampai dengan cepat ke tujuanku.

"Kenapa lo ke sini, Kak?" Kucoba membiasakan diri untuk lebih menghormatinya sebagai seniorku.

"Gue lagi pengen keluar." Kepalanya lalu menoleh ke arahku. Rokok yang tadinya tinggal setengah itu ia buang ke aspal dan menginjaknya. "Bareng lo."

"Eh?" Aku menatapnya heran. "Maksudnya?"

Dia mendengus. Pandangannya kembali menghadap ke rumah. "Gue udah izin sama Bokap lo."

Aku mengerutkan kening. "Kok bisa?"

"Bokap lo satu kantor dengan bokap gue. Gue juga sering ketemu Bokap lo belakangan ini." Agam menatapku. "Dan gue udah diizinin buat ngajak anak gadisnya keluar. Malam ini."

Aku tidak tahu harus membalas perkataan Agam dengan kata apa. Baru kali ini Papa membiarkanku keluar dengan orang yang bahkan baru kukenal. "Lo bilang apa sama Bokap gue?"

Agam tidak menjawab. Dia mengedikkan bahunya lalu tangan kirinya bergerak membuka pintu mobil bagian penumpang. "Masuk!"

"Tapi—"

"Gue udah izin, jadi jangan khawatir," potongnya. Aku melengos. Kubiarkan kakiku melangkah memasuki mobil itu, hingga kudengar suara pintu tertutup. Aku mencebik. Tas ranselku kusimpan di kursi belakang.

"Kita mau ke mana sih?" tanyaku. Agam hanya diam. Dia fokus ke jalan untuk membelokkan mobilnya. "Kak!"

"Tumben lo sopan," katanya yang membuatku bungkam. "Biasanya nggak ada sopan-sopannya."

Yang kurasakan sekarang adalah malu, takut, dan perasaan aneh lain yang bercampur aduk. Aku memandangi apa saja yang kami lewati. Dari bangunan-bangunan kota, hingga pejalan-pejalan kaki. Semua demi mengusir rasa canggung yang tiba-tiba menelusup di diriku.

Kami sama-sama diam. Berada di samping orang yang bicaranya irit membuatku ikut-ikutan berbicara seadanya.

Mobil itu berhenti di pinggir jalan. Beberapa pedagang kaki lima berada di tepi jalan. "Lo mau makan jagung bakar atau kacang rebus?" tanya Agam. Belum mendengar jawabanku, dia langsung turun dari mobil.

Sebenarnya dia itu diciptakan untuk bertanya saja, ya? Tidak untuk mendengar jawaban?

Aku mendengus sebal. Ini sama saja dia tidak menghargaiku. Aku membuka pintu mobil dan membantingnya dengan kesal. Kulihat dia sudah berdiri di Mas-Mas itu, dia ternyata membeli jagung bakar. Lalu, untuk apa dia bertanya tadi?

"Lo mau 'kan?"

Aku mengangguk saat dia menyodorkanku satu jagung bakar yang sudah hangat. Kami saling diam. Aku selalu merasa kaku setiap kali di dekatnya.

"Lo nggak biasa keluar malam katanya."

Aku menatap Agam heran. "Kata Bokap gue?"

Dia mengangguk pelan. Aku memerhatikannya sedang memakan jagung bakar itu dalam diam. Pandangannya lurus-lurus saja. "Kalau gue nanti jadi Ayah, gue juga bakalan ngelakuin hal yang sama kayak Bokap lo."

Jagung yang ada di mulutku berhenti kukunyah. "Maksudnya?" Aku pura-pura bertanya, pura-pura ingin mendengar penjelasannya yang lebih panjang. Supaya aku tidak hanya mendengar dia mengucapkan beberapa kata. Kalau perlu, dia mengatakan puluhan kata. Aku memandangnya, tetapi dia tetap saja tidak mau balik memandangku.

Akhirnya, dia balik menatapku dengan pandangannya yang... datar. "Lo pura-pura nggak tahu."

"Hah?" Kelopak mataku mengerjap-ngerjap.

"Terbukti dari respon lo kayak gitu, dan nada bertanya lo tadi."

Aku mencebikkan bibir. Dasar! Sepertinya, dia gemar membaca suasana. Walau lebih banyak diam.

"Kenapa lo ngajakin gue keluar?" Aku menatapnya heran. "Lo bahkan belum shalat maghrib." Ya, untuk seorang laki-laki muslim sepertinya, tak ada alasan untuk tidak shalat.

"Gue jarang shalat," jawabnya enteng. "Lo sendiri?"

"Biasalah, perempuan," jawabku dengan suara pelan. Aku tak ingin membahas jauh-jauh tentang ini.

"Oh." Dia mengangguk pelan. "Gue lupa, nama lo siapa?"

Uhuk

Aku tersedak jagung. Tak ada respon dari Agam selain menatapku dengan pandangan heran. Dia itu!

"Segitu kagetnya?" Dia mendengus pelan. "Jadi, nama lo siapa?"

"Diba, Kak," jawabku pelan. "Adiba Ayudia."

"Gue nggak nanya nama lengkap lo."

Aku melotot kaget. Sialan banget nih cowok!

Aku memandangnya dengan pandangan jengkel. "Ya udah, mending lo nggak usah nanya-nanya nama gue," kataku sinis.

"Ya udah, gue tarik pertanyaan gue." Agam membuang jagungnya yang sudah habis ke dalam tempat sampah. Jaraknya jauh, tetapi dia berhasil memasukkannya. Sedangkan jagungku masih tertinggal setengah. Aku memerhatikannya, menunggu dia bertanya entah apa. Dia menatapku dalam-dalam. "Gimana kalau suatu saat gue suka sama lo?"

Aku mematung. Ya ampun! Aku terkadang heran, perkataan cowok di depanku ini hanya satu kalimat tetapi sanggup membuatku tak bisa membalasnya, satu kata pun.

Sekarang, aku tidak ingin membiarkannya untuk mendengar jawaban.

"Gimana?" Dia masih bertanya ternyata. Kalau kondisinya seperti ini, aku tidak tahu harus menjawab apa.

"Em—" Aku menggigit bibirku dengan gemas. Pertanyaannya itu membuatku bingung harus menjawab apa. "Itu tergantung dari diri lo sendiri sih," jawabku.

Kudengar dia tertawa pelan. Aku menatapnya. Rambutnya dia usap ke belakang. "Maksud gue," dia menggantungkan kalimatnya lalu beralih menatapku. "Respon lo ke gue gimana?"

"Hah?" Astaga! Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku meneguk ludah. Perlahan, kepalaku yang tadinya menunduk kembali menatapnya. "Respon gue? Tergantung apa gue suka sama lo atau nggak."

Agam menaikkkan sebelah alisnya. "Oh, gitu ya?" Aku mengangguk. "Ya udah. Sekarang, lo mau pulang atau masih mau di sini?"

"Gu—"

"Mas, jagung bakarnya dua lagi ya!" seru Agam.

Aku melengos sambil menatapnya. "Lo kenapa bertanya tapi ujung-ujungnya ngambil keputusan sendiri, sih?"

Agam mengedikkan bahu. "Tapi, itu mau gue."

Aku mendengus. Kulihat jarum jam tanganku yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Entah sampai kapan kami berada di tempat ini, tapi otakku seolah-olah membiarkanku tetap di sini.

Bersama Agam.

*


 

True StalkerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang