24

787K 39.9K 725
                                    

by sirhayani

part of zhkansas

__

"Woi, Dib! Jalan, gih!" seru Lia. Aku merasa de javu saat mendengar kalimat itu ditambah lagi dengan keberadaanku yang berada di anak tangga teratas bersama Lia, Saphira, dan Alya. "Oh, ada Kak Ghali." Kudengar Lia tertawa. "Sini gue bantu lewat, lo di pinggir tembok aja. Kayak waktu itu." Kata-kata Lia persis sama dengan apa yang dikatakannya hari itu. Aku menghela napas panjang. Seperti waktu itu, Ghali sedang berdiri di anak tangga terakhir.

"Dib, jalan!" seru Alya. "Anak-anak pada mau turun juga, tuh."

"Palingan nggak berani karena ada Kak Ghali."

Kulihat Alya menganggukkan kepalanya. Aku mencoba biasa saja dan mulai berjalan menuruni tangga. Cowok itu tampak bermalas-malasan. Kedua tangaannya ia masukkan di masing-masing kantung celana abu-abunya, dua kancing teratasnya sudah terbuka dan memperlihatkan kaos hitamnya, dan tas ransel hitamnya tersampir hanya di bahu kanan. Tunggu! Celana yang digunakannya bukan jenis kain, tapi jeans. Astaga. Aku menatapnya takjub. Baru kali ini aku tahu dia memakai jeans ke sekolah. Warna celana jeans yang digunakannya memang persis sama dengan celana SMA.

"Eh, Lia?"

Kami berempat berhenti mendadak. Aku yakin, siswa-siswi lain yang ingin lewat merasa jengkel dengan kami yang menghalangi jalan.

"Kenapa, Kak?"

"Temenin gue ke anak-anak lagi." Aku tidak tahu apa maksud dari perkataannya. Anak-anak itu siapa? Ada dua makna: anak-anak yang memang berumur masih di bawah belasan tahun atau anak-anak yang dia maksud adalah teman-temannya.

"Yaelah, Kak!" Kulihat Lia melengos. "Gue nggak bisa. Mama nyuruh gue pulang cepet. Ada urusan."

"Ya udah, temen lo aja."

"Ya ampun. Jangan bilang gue?" Aku bertanya-tanya dalam hati. Pasalnya, diantara teman-teman Lia, hanya aku yang dikenalnya.

"Yang mana?"

"Adiba."

Tuh, 'kan!

"Kok gue, Kak?" Aku menunjuk diriku sendiri. Alya meninju pelan bahuku dari belakang. Sialan!

"Lo nggak mau?" Tatapannya tajam. Setajam elang, burung hantu, yang jelasnya seperti itu. Itu maksudnya dia sedang mengintimidasiku? Parah.

"Ta—tapi, Kak..." Lia segera menarikku menjauh. Aku hanya mengikut.

"Gini." Pandangan Lia sesaat menuju ke arah Ghali. "Kalau gue diajak sama Kak Ghali, gue suka cari alesan. Lo tahu kenapa?" Aku menggeleng-geleng. "Dia bawa gue ketemu teman-temannya di warung yang ada di depan sekolah. Gue jelas takut banget. Sampai sekarang gue belum tahu alasan Kak Ghali kenapa ngajakin gue ke sana. Pokoknya ngeri banget deh kalau lo ke sana."

"Emang ada apa?"

"Lo tahu Kak Adri? Kakak kelas duabelas IPA 4 itu lho, ada lagi Kak Zaky yang anak IPS lo tahu 'kan? Pokoknya di sana itu banyak banget kakak-kakak kelas. Dan lo tahu apa yang mereka lakuin?"

Aku menggeleng lagi. Terkadang aku memajukan kepalaku hanya untuk mendengar suara Lia yang sangat pelan. Mungkin dia takut Ghali mendengarnya.

"Mereka ngerokok."

"AP—" Aku segera menutup mulutku sebekum teriakanku benar-benar mengundang perhatian. "Kak Ghali juga ngerokok? " tanyaku dengan suara pelan.

"Ya iyalah. Temen-temennya aja kayak gitu."

Aku mulai gelisah. "Gimana dong, nih? Bantuin gue kek. Gue susah banget nggak nurutin keinginannya dia. Dia itu," Aku menggantungkan kalimatku dan berbalik untuk melihat Ghali. Dia sedang bersandar di dinding. "Dia itu kayak preman. Gue takut, serius."

"Lo berdua ngomongin apaan?"

Mampus! Aku menepuk jidatku. Jangan bilang dia dengar semuanya. Tapi, kalau mendengar pertanyaannya tadi dia sepertinya tidak mendengar perbincanganku dengan Lia. Syukurlah.

"Lagi ngomongin PR yang pengen kita kerjain, Kak."

"Bukannya nggak ada PR, ya?" tanyaku. Lia menatapku tajam. Oh, aku baru tahu maksudnya apa. Dia berbohong pada Ghali. Dan perkataanku sudah terlanjur di dengar Ghali tadi.

Ini berarti, rencana Lia untuk menolongku gagal total.

"Jangan salahin gue," kata Lia terang-terangan. Aku memang tidak ditakdirkan untuk kabur dari keadaan ini.

"Ikut gue!"

Aku melengos. Kutatap Lia yang mengedikkan bahunya. Tapi, kenapa aku seolah-olah tidak bisa membantah keinginan Ghali? Aku menghela napas panjang. "Gue pergi ya?" Aku bertanya tanpa semangat. Kulambaikan tanganku pada Saphira dan Alya yang mulai berjalan ke arah kami. Aku hanya bisa diam mengikuti Ghali yang sudah jauh di depan sana.

"Tunggu, Kak!" seruku sambil berlari mengikutinya di belakang. Dia sudah siap menyeberang jalan, sedangkan aku masih berusaha mengejarnya di belakang.

Terkadang aku berpikir, aku bisa saja kabur dan tidak mengikutinya.

Toh, dia juga sedang tidak memedulikanku di sini. Setidaknya menungguku yang tertinggal jauh di belakang.

Akhirnya aku berada di sampingnya. Dan kemudian dia melangkah lagi.

Aku bertanya dalam hati, "Apa dia nungguin gue?" Tetapi aku segera berlari. Kembali mengejarnya. Ya, aku terkadang suka berlari saat menyeberang jalan sejak kecil. Karena itu juga, aku pernah hampir tertabrak. Aku senang mengingat kejadian itu, di mana Papa hampir menangis karena hampir kehilangan Puteri satu-satunya.

Aku belum pernah melihat seorang laki-laki menangis.

Bukannya menangis bukan ciri khas laki-laki? Jika laki-laki menangis, maka itu adalah kesakitan terbesarnya.

Setahuku begitu.

"Lo datang juga."

Aku mendengar suara yang tidak kukenal. Aku juga tidak melihatnya karena saat ini aku berdiri di belakang Ghali. Aku menunjuk bahu Ghali menggunakan telunjukku. Dia segera berbalik dan menaikkan sebelah alisnya.

Kebiasaan cowok-cowok sok keren.

"Kenapa?"

"Kita ngapain di sini?" tanyaku. Dia malah menarikku dan membawaku ke warung itu. Aku hanya bisa diam membisu. Ditambah lagi ketika aku melihat beberapa siswa SMA yang duduk di bangku panjang sambil merokok.

Astaga!

Dari tujuh siswa yang ada di warung ini, hanya aku dan Ghali yang tidak memegang batang rokok. Jelas lah. "Kenapa lo bawa gue ke sini, Kak?" Harusnya aku kabur tadi. Padahal aku sudah mendengar cerita Lia tentang teman-teman Ghali. .

"Duduk aja." Dia hanya menjawab dengan cuek. Ini maksudnya apa?

"Dia bukannya pacarnya sobat lo?"

Aku menatap salah satu siswa itu dengan heran. Dari perkataannya, aku menyimpulkan bahwa Agam dan Ghali adalah sahabat.

Yang benar saja? Aku bahkan tidak pernah melihat mereka saling sapa.

Ghali bergumam pelan. Dia mengambil sebungkus rokok yang ada di atas meja dan mengambil sebatang rokok dari bungkusan itu. Rokok itu ia selipkan di bibir, pematik ia nyalakan, dan ia membakar ujung rokoknya.

Aku risih di sini. Ingin pulang. "Kak, gue ngapain sih di sini?" Aku seperti orang bodoh yang bertanya tentang diri sendiri. Dia tida menjawab. Aku baru sadar Ghali dan Agam punya kepribadian yang nyaris sama.

"Sorry, lama."

Aku mematung. Aku benar-benar kenal dengan suara itu. Perlahan kudongakkan kepalaku untuk menatap seseorang yang baru saja berbicara itu.

Kami saling pandang dan sama-sama terkejut.

*


 

True StalkerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang