Harris!

507 50 3
                                    

"Ana?"

Pupil mataku membesar menyadari bahwa sosok perempuan itu adalah Ana. Teman karibku sendiri, ada kelegaan sendiri juga risa yang tak berkepanjangan. Aku tak ingin jika gadis lain yang bersama Harris. Namun saat kupikir semuanya sudah baik-baik saja, Harris masih menatapku bimbang dan seketika itu aku sadar mungkin pemikirannya tengah tertuju pada Endra yang berdiri dibelakangku.

"Kau bersama Endra?" Ana terkejut. Matanya mendelik kelewat batas.

"Ya," "hm- Harris, Mamah Ada?" Aku langsung beralih ada dirinya. Ia hanya menggeleng. Damn, aku lupa bahwa Mamah sedang tak dirumah.

"Ya sudah kalau begitu, aku pulang Delli"

"oh ya, terimakasih Endra" senyumku meramah, Endra juga berpamitan dengan Ana dan mengabaikan tatapan Harris yang semakin tak tentu arah. Mobilnya telah melaju keluar jalan komplek, Harris bangkit dari kursinya.

"Aku ngantuk. Temani Ana" jelasnya sebelum masuk rumah. Ana mengigit bibirnya, seolah tahu apa yang tengah terjadi.

Barusaja bokongku menempel dipermukaan kursi, pernyataan Ana yang bertubi sudah mengarah. "Aku sudah tahu. Ah God Delli! Aku bahkan tak menyangka ini. Dan Harris-"

"Stttt hentikan Ana. Kau tak boleh menceritakan ini pada siapapun, kau janji?"

Ia mengangguk lemah, raut wajahnya was-was padaku. Apa dia ketakutan? "Aku janji."

Dan lenggang. Aku tak mengerti dengan semua ini. Harris marah saat aku bersama Endra namun aku lelah jika harus bersama dengan hubungan tak jelas seperti ini. Ya, aku tahu. Sangat dimengerti bahwa pacaran itu tidak diperbolehkan. Tapi bisakah Harris mengikat-ku oleh sesuatu? Sehingga aku bisa mengontrol diriku agar tetap didekatnya. Seperti yang kumau.

"Jadi Deli.. hm,.. sampai kapan?"

"Apanya?" Alisku terangkat.

"Begini. Kau dan Harris. Tanpa status?"

Aku menghela nafas panjang. Kapan gadis ini tidak mencampuri urusanku? Bahkan masalah dikehidupannya pun belum bisa diatasi secara penuh. Stop it Ana.

"Entahlah sampai kapan Ana, aku sendiri tak tahu"

"Kau harus menjaganya, kau kan tahu Harris. Pria tampan seperti dia, mana ada cewek yang gak mau sama dia?"

"Ya, aku tahu" dan kali ini bisa kuakui ucapannya benar. Ana membuatku semakin memperdalam gambaranku ketika Harris dengan gadis lain. Rasanya sakit, melihatnya seperti tadi saja membuat jantung ini melambat berdetak. Aku takut dia akan pergi dariku, dan aku tak ingin ditinggal seperti dulu lagi.

..

Dirumah, aku mencari Harris yang ternyata tengah membaca buku diteras belakang dekat dengan kolam rumahku. Kakinya menggantung dibawah air sedangkan wajahnya yang terkena senja matahari sore ini begitu sempurna. Dia begitu tampan dan aku jatuh cinta padanya. Mungkin ini sebabnya aku sangat tak ingin kehilangannya.

"Hai" aku yang berpakaian santai, tanpa berjilbab dan hanya bercelana pendek selutut itu membuat mata Harris jatuh melihat kakiku yang jenjang terbuka. Sering aku melakukannya karena kupikir dia sudahlah menjadi anggota keluargaku. Dan dugaanku benar. Ia berpaling lagi, tak berkomentar apapun.

"Hai juga"

Aku duduk disampingnya membuat celanaku sedikit naik hingga memperlihatkan sedikit pahaku yang mulus. Harris lagi-lagi menatapku dibalik bulu mata lentiknya, aku berusaha menutupi itu meskipun gagal.

"Sejak kapan kau biarkan Auratmu terbuka seperti itu dihadapanku?"

Aku tercengang. Mulutku terbuka tak percaya, kali ini wajah Harris benar-benar datar. Dan aku tak tahu dengan apa yang seharusnya kulakukan. Aku sadar bahwa aku bukanlah gadis baik. Tidak sepertinya yang sedari sekolah dasar menuntut ilmu keagamaan secara taat. Aku hanyalah gadis tanpa berhijab sebelum akhirnya Harris yang membantuku melalui semua ini.

"Kupikir kita - " sialnya suaraku menghilang. Aku gugup. "Kita- hmm- saudara?"

Ia tertawa lirih dimana Jantung dan batinku berkata bahwa ia tengah mengintimidasiku, tawanya terdengar ironis bagiku. "Saudara? Itu dulu. Kau kan tahu Lucy bukan ibu Kandungku"

"Ya aku tahu. Maafkan aku, aku kedalam-" tiba saja lenganku dicegahnya seketika kakiku hendak mengangkat tubuh untuk bangkit. "Stay here for me. Bukan maksudku marah Soal pakaianmu. Aku senang melihatnya-eh, hm- maksudku..." ia kelewat bicara yang membuat sudut bibirku terangkat. Bahkan pria seperti Harris-pun masih sering melanggar aturan. "Maksudku..." ia berdeham. Berulang kali. "Maksudku- sudahlah lupakan"

"Apa? Kau suka melihatku Sexy seperti ini?" Godaku dan Harris kini tertawa lebar. Aku tak pernah melihatnya sesenang ini. Mungkin pikiran kotorku sudah meracuni otaknya yang polos nan lugu itu. Baguslah, setidaknya aku semakin mengerti, bahwa Harris juga memiliki sisi yang demikian denganku.

"Sebagai pria, aku juga punya nafsu. Hanya saja, aku ingin kau hanya melakukannya untukku. Seperti ini, hanya dihadapanku"

Lagi, bibirku terangkat. Kali ini memperlihatkan deretan gigiku padanya. "Kalau aku melanggar?"

Ia seolah berpikir "hmm... aku akan menghukummu"

"Apa hukumannya?"

"Menikahimu?"

Mendengar ucapan itu, kali ini aku Tertawa. Begitu menggelikan ketika hukumannya hanyalah berupa menikahiku. Sedangkan hubungan kami saja belum bisa dipastikan. "Menikahiku? Kita barusaja lulus SMA"

"Jadi? Aku sudah bisa menafkahimu. Bukan begitu? Toh aku yakin baik fisikmu maupun aku sudah bisa melengkapi satu sama lain"

Tanganku melayang pada lengannya, mencubitnya gemas. "Harris! Sejak kapan pikiran kotor itu muncul!"

"Sejak melihatmu seperti ini" gerakan tangannya dibuat sedramatis mungkin yang membuat kami sedetik kemudian melunak kembali dalam tawa yang secara bersamaan.

Malam ini, Papah dan Lucy dinner disuatu restoran. Sedangkan Mamah harus keluar kota dengan bisnis butiknya yang sudah ia jalani bertahun-tahun- atau seperti itulah yang ku tahu belakangan ini. Setidaknya, dirumah aku masih memiliki Harris juga seorang pembantu yang Papah pekerjakan seminggu lalu karena takut kami melakukan hal bodoh dirumah yang terbilang cukup sepi.

Dideretan meja makan panjang berteksturkan kayu yang seratannya masih terlihat mulus itu, Bibi menyiapkan makan malamku. Duduk kami yang berhadapan membuat aku mengerti Bahwa Harris memperhatikan-ku sedari tadi. Semenjak percakapan kami saat dikolam, aku lebih sering menggunakan celanaku yang selutut meskipun adanya Harris. Ia bilang tak apa, dan aku menurut saja. Aku hanya menggunakan hijab saat diluar rumah. Dan malam ini, Harris yang hanya bercelana Boxer hitam dengan kaos polos putihnya menyantap masakan Bibi yang sebanding dengan keringat saat membuatnya.

"Kau bisa masak seperti ini?" Harris akhirnya memulai pembicaraan. Aku hanya mengangguk menyombongkan diri yang membuat Harris bersuara seolah tak mempercayai hal itu.

"Kau ini, aku sudah mengatakan bisa kau tak percaya"

Ia tertawa. Setiap kali ia tertawa terasa begitu renyah dan aku menyukainya. Seolah tenagaku seharian telah bersamanya kembali memenuh dan bebanku berkurang drastis aneh? Memang.

"Aku memang tidak percaya dengan itu. Kau mau apa?" Suaranya kelewat nakal. Damn. Harris yang kukenal sudah berumur 19 tahun. dimana umurku haru 18 ketika lulus. Harris berkata bahwa dirinya terlambat masuk sekolah dasar. Melupakan itu, aku sadar bahwa sekaranglah masa pubertas Harris. Tak salah ia melamarku saat di London. Menggelikan.

"Aku akan buktikan"

"Tak perlu. Aku tak membutuhkannya sekarang, tapi nanti, saat kau sudah menjadi milikku"

Tanganku menggebrak meja pelan. "Harris! Menyebalkan" bibirku mayun, dimana membuatnya tertawa. "Kenapa? Kau tak mau menjadi istriku? Bagian dari hidupku?"

"Tidak. Sebelum aku lulus dengan S3 ku"

"S1?" Tawarnya.

"Hentikan bodoh" dan akhirnya aku tertawa. Lucu, dua remaja yang dimabuk cinta harus membicarakan pernikahan mereka. Tapi, bisakah itu terjadi?

Commentnya mana :'( sorry kalo ceritanya garing :'(

Salam' Alaikum My loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang