London

513 47 8
                                    

Pikiranku terus berputar tak tentu arah. Semakin Hari semakin banyak yang harus kuperjuangkan dari Harris, Sbmptn, sampai ke Mamah. Aku tak tahu dengan apa yang harus kulakukan. Aku terus termakan oleh semua ucapan itu, Endra.. ah persetan dengan bocah itu. Aku bahkan dibuat bimbang oleh kedua pria ini. Kuakui Endra memiliki paras yang lebih daripada Harris. Tetapi tidak jika aku mengingat betapa manisnya senyuman Harris setiap kali terbentuk. Aku bahkan tak sadar sudah mengangkat sudut bibirku sedaritadi. Harris..

Pagi ini aku menggunakan kendaraan umum untuk berangkat ke sekolah. Pak El menelfonku semalam dan berkata bahwa aku harus mengumpulkan berkas-berkasnya sesegera mungkin. Tanpa pikir panjang, aku menuju ruangannya. Dia disana, bersama Siswa yang lain dengan sesosok yang begitu familiar untukku. Endra?

Saat menoleh, Mata kami bertemu. Aku tak sanggup mengalihkannya sebelum akhirnya suara pak El membuat kami berdua saling menarik diri.
"Ya?"

"Kau sudah membawa berkasnya Del?"

"Sudah" aku menghampirinya, mengambil lembaran-lembaran yang sudah ku tata sedemikian rapih disebuah Map. Pak El menganguk dengan segera menyimpan berkas itu agar aman. Aku berpamitan seusainya, Aneh rasanya karena tak sepatah katapun Endra memanggilku seperti biasanya. Menawariku untuk pulang bersama pun tidak. Aku bukannya berharap, melainkan hanya berpenasaran dengan perubahan sikapnya. Mungkinkah karena aku menolak cintanya? Atau karena aku pulang bersama Harris?

Harris! Dimana dia sekarang?

Aku mengambil benda pipih yang sudah menjadi sebagian dari jiwaku itu. Aku sudah banyak melewati banyak rintangan hidup berdua bersamanya. Bersama benda mati yang berharga bagiku. Tak lama tersambung hingga dia mengangkatnya.

"Ada apa Deli?"

"Ak-" suaraku terputus seketika suara yang begitu keras menyambar dari dalam telfon kami, begitu memerkakan telingaku. Tak lama, kendaraan yang sepertinya berlalu lalang begitu kencangnya kembali menemani. Harris dimana? Ini belum dua minggu seusai dirinya mengatakan akan pulang ke inggris bukan?

"Kau dimana?" Aku mengubah pertanyaanku.

"Di-.... kenapa me-..nya?"

Sialnya suara Harris semakin terputus. "Harris? Kau dimana?" Nadaku meninggi, aku tak yakin Harris akan mendengarku.

"Harris?"

Tak ada sautan darinya, hanyalah suara kendaraan yang masih mengiringi kami. Samar-samar aku mendengar beberapa orang membicarakan sesuatu. Entahlah, dua orang pria dimana salah satunya adalah suara Harris. Sedetik kemudian telfonku terputus. Setelah sekian lama aku mendiaminya semenjak Harris berutang akan penjelasannya padaku, kini ia memutuskan telfonku?

Dengan penuh kekesalan, aku meletakkan ponsel kedalam tas begitu keras. Aku takkan menyentuhnya. Takkan.

..

Sudah hampir setengah enam sore, Mamah baru menginjakkan kaki kerumah dengan alasan kepergianya yang tak kumengerti. Perekonomian kami semakin menipis. Baik aku maupun Mamah belum memberitahu Papah mengenai hal ini. Tidak, Mamah melarangku. Dan sebagai anaknya, aku akan menghargai setiap jerih payahnya untukku.

Aku disini, terduduk diteras rumahku. Memandangi langit biru yang mulai menggelap. Sebentar lagi waktu Maghrib akan tiba. Tiba saja telingaku mendengar deruan mobil dimana benda itu malah terhenti di halaman rumahku. Menghalangi pemandanganku sedaritadi. Mau tak mau aku mengalihkan pandangan kesal. Disana, Harris berada. Melambai, barusaja membuka pintu mobilnya. Wajahnya agak pucat yang membuat kekesalahku sedikit berubah menjadi sebuah kekhawatiran yang aneh untuk kujelaskan.

"Mau apa kemari?" Ujarku kelewat sinis.

"Aku ingin berbuka disini. Bolehkah? Aku sudah menelfonmu berkali-kali tetapi kau tak mengangkatnya. Apa kau marah?"

Salam' Alaikum My loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang