12

90 15 2
                                    

Gue nggak tau selanjutnya gimana, dan saat pertama kali gue buka mata, hanya ada rungan putih, bau alkohol dan betadin yang menyeruak di penciuman gue. Pipi gue lengket karena abis nangis beberapa waktu lalu. Arsya nggak ada disebelah gue, cuma ada jaketnya yang dibagian lengan kirinya sobek. Gue inget, tadi sempat gue liat luka Arsya yang merekah merah.

Samar-samar gue denger suara orang ngobrol diluar. Dibalik jendela ada dua orang polisi dan Arsya lagi ngobrol sama mereka. Gue nggak tau apa yang mereka obrolin, tapi terkesan ditutup-tutupi.

"Saya mohon untuk rahasiakan ini dahulu, dan jika ada apa-apa kabari saya" ucap Arsya sambil memberikan nomor hpnya.

Gue sama sekali nggak tau apa-apa, terlebih kata Arsya yang meminta untuk merahasiakan ini. Gue sejenak teringat tentang telfonnya bibi sesaat sebelum gue pingsan.

"Sya...mama di mana?" tanya gue lemah

"Tante Vanya di UGD. Kamu jangan banyak pikiran dulu, mama baik-baik aja" ucap Arsya saat ia memasuki ruangan, lengannya sudah dibebat sama kasa. Tiba-tiba air mata gue keluar lagi, gue terisak sendiri diatas bangkar rumah sakit. Seharusnya Arsya yang tidur disini, tapi kenapa jadi gue?

"Kamu kalo mau nangis sampe berdarahpun nggak akan pengaruh!!" ucap Arsya penuh dengan nada tinggi, gue bukannya diem malah tambah nangis. Gue emang paling nggak bisa untuk di bentak.

"Aku mau__mau ke mama Sya.." ucap gue meminta, dan Arsya cuma mengangguk

Kami berdua berjalan beriringan di lorong rumah sakit, yang menurut gue menyeramkan. Gue jarang bangat ke sini, karena emang gue jarang sakit.

"Ma__ma__mama.." ucap gue terisak sambil melihat sosok tubuh di bangkar UGD yang dipenuhi dengan alat-alat medis dengan suara yang bikin gue benci, benci jika suatu saat alat-alat itu tidak lagi berbunyi seperti semestinya dan grafik dimonitor cuma garis lurus "pa__papa di mana Sya?"

"Om Indra di ruang melati, beliau baik-baik aja. Cuma lecet-lecet aja Ness"

Gue melihat manik mata Arsya, entah kenapa hati gue ada yang ngeganjel. Gue menarik nafas panjang, lalu membuangnya pelan-pelan

"Mama sama papa kenapa Sya?"

"Kecelakaan"

"Kok bisa?Di mana Sya?" tanya gue penuh penasaran

"Tadi waktu mau jemput lo" ucap Arsya pendek

Gue melihat mama yang tergeletak tak berdaya, bagian kepalanya dibebat sama kasa, lehernya juga. Gue nggak tau, apa yang sebenarnya terjadi.

"Mobilnya gimana Sya?"

"Cuma bagian kaca doang yang pecah. Yang lain nggak"

Pengakuan Arsya membuat gue diam dan berusaha menelan secara perlahan apa yang diucapkan Arsya.

"Temenin gue ke rooftop" ajak Arsya sambil narik tangan gue

Gue terdiam,di atas gedung ini,semilir angin menyapa begitu kencang. Dingin. Dan kerlap-kerlip lampu kota menambah sebuah lukisan indah ini menjadi jauh lebih menarik. Gue menenangkan pikiran gue, berusaha mengkilas balik kejadian yang belum sampai 24 jam. Dan rasanya itu semua hanya buat gue sesak.

"Gue mau berubah" ucap Arsya tiba-tiba

"Ma__maksud kamu?"

"Gue mau berubah, jadi Arsya yang normal kaya orang-orang lain" tambahnya lagi, gue coba memahami apa kalimat yang barusan dilontarkan Arsya.

Arsyanya gue yang bandel sejak SMA. Arsya adalah kakak angkat gue, dia sekarang udah kuliah dan gue kelas satu SMA. Gue baru aja jadian sama Arsya. Arsya adalah orang yang keras kepala, ngenyel dan kelakuannya emang udah diluar batas. Itu semua karena dia broken home.

Killer of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang