bertemu lagi

692 135 23
                                    

"And when he looks at me, I swear I can't breathe."  Unknown

:-:-:-:

"Chris, temenin aku ke Jeanette's, dong? Aku lagi kepengen banget minum cappuccino," ajakku sembari bergelayut manja di lengan Chris.

Ini sudah kali keberapa aku mengajaknya untuk menemaniku ke Jeanette's, namun respons yang dia berikan selalu sama—diam. Menyebalkan juga ternyata memintanya untuk menemaniku ke kafe Jeanette's.

Aku mengerucutkan bibirku, melipat kedua tanganku di dada, dan menatapnya dengan tatapan datar—persis seperti orang yang sedang merajuk.

Chris terkekeh pelan, kemudian mengangkat satu tangannya untuk mengusap puncak kepalaku. Ia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik, "Kalau pacar kesayanganku ini lagi kepengen banget, aku temenin deh."

Aku tersenyum lebar ketika mendengar bisikannya barusan. Segera kutarik lengan Chris dan membawanya ke Jeanette's. Dapat kudengar suara tawa kecil Chris di belakangku saat aku menarik lengannya.

Sudut kafe menjadi tempat pilihanku lagi kali ini untuk duduk bersama dengan Chris. Sepertinya sudut kafe Jeanette's akan menjadi tempat favoritku sekarang, karena dari sini aku juga dapat melihat seisi kafe yang lumayan ramai hari ini.

Seperti biasa, aku memesan secangkir cappuccino. Jika biasanya aku memesan cappuccino yang dingin dengan extra sugar, kali ini aku memesan secangkir cappuccino hangat. Sehangat perasaanku hari ini.

Berbeda denganku yang memesan cappuccino, Chris malah memesan kopi hitam. Jujur saja, aku bukanlah penggemar kopi hitam.

Aku lebih menyukai cappuccino, latte macchiato, dan moccacino daripada kopi hitam yang rasanya pahit. Entahlah. Menurutku kopi hitam itu tidak enak.

Sembari menyesap cappuccino hangatku, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling kafe. Mungkin saja aku dapat melihat Max lagi dan bertemu dengannya.

Ah, aku baru sadar! Aku kan sedang bersama pacarku sekarang, kenapa aku justru malah mencari-cari cowok yang bahkan aku sendiri tidak kenal?

"Kamu kenapa, sih?" tanya Chris dengan tatapan heran.

"Emangnya aku kenapa?" Bukannya menjawab, aku malah balas bertanya dengan tatapan heran juga.

Chris mengangkat kedua bahunya cuek. Kemudian, dia merangkulku cukup erat.

"Kamu kelihatannya lagi cari seseorang," ujarnya sambil menatapku lekat-lekat. "Siapa?"

"Nggak, aku gak lagi cari siapa-siapa. Mungkin itu cuma perasaan kamu aja."

Aku berusaha bersikap senormal mungkin. Mencoba untuk menghilangkan rasa salah tingkahku yang muncul sesaat.

Chris terkekeh. "Unfortunately, you're not a good liar, Megan."

Aku tersenyum kikuk. "Aku mau ke toilet bentar."

Chris mengangguk dan tersenyum. "Oke, jangan lama-lama ya."

Aku membalas ucapannya dengan anggukkan. Kemudian, aku melangkahkan kakiku menuju ke toilet. Di dalam toilet, yang kulakukan hanyalah berkaca di cermin, lalu setelah itu aku keluar dari dalam toilet.

Saat berjalan melewati bagian kasir kafe, aku melihat seseorang yang sangat mirip dengan Max—walaupun dari belakang. Atau mungkin itu memang benar adalah Max?

Maka dengan ragu, aku langkahkan kaki menghampiri seseorang tersebut. Saat tanganku hampir menyentuh pundaknya, orang tersebut membalikkan badannya tepat menghadap ke arahku.

Dan orang tersebut benar-benar adalah Max.

"Hey, Megan! We meet again," sapa Max disertai senyum lebarnya.

Dammit, aku bahkan merasa tak bisa bernapas dan jantungku berdebar sangat kencang.

Berada di jarak sedekat ini dengan Max adalah kali pertama bagiku. Maksudku, dalam jarak yang benar-benar dekat.

Mata itu—mata coklat milik Max—sukses membuatku merasa seperti disihir oleh mantra magic. Aku suka caranya menatap mataku.

Max terkekeh. Ia melambai-lambaikan tangannya di hadapan wajahku dan membuatku tersenyum malu-malu terhadapnya.

"Are you okay?" tanyanya.

"Ya, of course I am," jawabku sambil mencoba mengatur debaran jantung yang semakin memburu.

Max tersenyum. "Bagus deh. Oh ya, kamu sering ke sini, Megan?"

"Kadang-kadang sepulang sekolah."

"Great! Kita bakal sering ketemu kalau begitu."

"Kamu sering ke sini?" tanyaku sambil tersenyum.

"Not really. Kafe ini punya mamaku, so yeah I guess I will come here more often. My mom is kind of busy lately, dan aku diminta untuk melihat keadaan kafe."

"Oh, gitu. Ngomong-ngomong, Max, aku harus nyamperin pacar aku di sana." Aku menunjuk ke arah Chris yang sedang duduk sambil memainkan ponselnya.

"I'll see you later, maybe?" Aku menggigit bibirku. Ini sudah menjadi kebiasaanku jika sedang gugup.

Max tersenyum padaku. "Sure, I'll see you later then."

Aku mengangguk pelan dan membalas senyum Max, kemudian berjalan menghampiri Chris.

Saat aku menghampiri Chris, ia langsung mengajakku untuk segera pulang. Aku pun berjalan berdampingan dengan Chris. Chris menggenggam tanganku dengan erat, seolah-olah dia tak ingin aku pergi ke mana-mana.

Sebelum keluar dari kafe, aku sempat menatap wajah Max sebentar dan melambaikan tanganku padanya—mengucapkan 'sampai jumpa lagi' tanpa suara.

Max yang sedang berdiri di dekat barista kafe pun hanya tersenyum dan mengangguk. Tak lupa ia melambaikan tangannya padaku juga.

Senyum itu, senyum yang selalu menjadi alasan di balik kebahagiaanku akhir-akhir ini.

Deep InsideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang