"Love is like a wind, you can't see it but you can feel it." – Nicholas Sparks, A Walk to Remember
*catatan: jangan lupa untuk putar lagu di multimedia
:-:-:-:
Soal surat yang Chris berikan saat itu—surat tersebut sudah aku bakar. Waktu itu aku pulang dengan tangis yang masih pecah, emosiku memuncak, sehingga akhirnya aku memutuskan untuk membakarnya ketika aku tiba di rumah.
Lagipula, untuk apa aku menyimpan surat tidak penting itu? Kalau kata sahabat-sahabatku, aku harus move on dan melupakan Chris.
Memang sulit rasanya melupakan seseorang yang kita cintai selama bertahun-tahun, namun jika melupakan adalah cara terbaik untuk lepas dari kesedihan, mengapa tidak?
Aku sudah melupakan Chris sejak lama. Semenjak itu, aku dan Chris tidak pernah berkontak-kontakan lagi. Aku memutuskan untuk benar-benar menjauhkan diriku darinya. Aku tidak ingin terus-menerus terjebak dalam perasaan dan kenangan yang menyiksaku.
Kabar baiknya, aku dan Max sudah resmi berpacaran sejak sebulan setelah kelulusan SMAku. Aku lulus SMA dengan nilai ujian terbaik tiga tahun lalu. Aku bahkan berhasil masuk di universitas impianku berkat kegigihan dan giat belajarku selama SMA.
Saat ini, aku sedang duduk santai sambil menikmati cappuccino-ku. Tidak, aku tidak sendirian. Max menemaniku kali ini. Aku yang mengajaknya untuk pergi kemari.
Kebetulan, Max sudah lama tidak datang ke kafe Jeanette's, begitu juga denganku. Kami berdua sibuk dengan urusan kami masing-masing; aku dengan tugas-tugas kuliahku dan Max dengan skripsinya yang belum juga selesai.
Max yang awalnya duduk di hadapanku tiba-tiba saja bangkit berdiri dan melangkahkan kakinya menuju ke sebuah panggung kecil di kafe Jeanette's. Ia mengambil sebuah gitar akustik yang tergeletak di sana.
Max pun duduk di kursi sambil memeluk gitar tersebut. Dia menarik napas dan mengembuskannya dengan pelan. Lalu, dia mulai memetik senar gitarnya dan bernyanyi.
Saying "I love you"
Is not the words
I want to hear from you
It's not that I want you
Not to say but if you only knew
How easy it would be to show me how you feel
More than words
Is all you have to do
To make it real
Then you wouldn't have to say
That you love me
'Cause I'd already know
Selesai menyanyi, Max langsung dihadiahi tepuk tangan yang meriah dari para pengunjung di kafe—tak terkecuali aku. Setelah itu, Max kembali menghampiriku dan duduk di hadapanku.
"Gimana?" tanyanya.
"Biasa aja," jawabku sambil menyesap cappuccino-ku.
"Biasa aja apa biasa banget?" Dia mencolek daguku dan menatapku sambil tersenyum jail.
Aku balas menatapnya dengan senyum yang dikulum.
"Tapi kamu suka, kan, aku nyanyiin lagu kesukaan kamu?" tanya Max sambil mencolek daguku lagi.
"Nggak, biasa aja." Aku menahan tawaku agar tidak pecah.
"Masa sih? Bilang aja kamu suka dan seneng aku nyanyiin, apalagi suara aku bagus."
"Pede banget kamu," Aku tertawa geli. "aku kan udah bilang aku biasa-biasa aja," lanjutku.
"Ngaku aja, deh!"
Tawaku pecah saat itu juga. "Iya, iya, aku ngaku!"
Max mencubit hidungku pelan. "Tuh kan, akhirnya ngaku juga."
Aku terkekeh. "Malem ini kamu mau kan nyanyiin aku lagu?"
Max belum menjawab, dia terlihat berpikir sebentar.
"Gimana, ya?" Max mengetukkan jemarinya di atas meja. Dia menatap ke langit-langit kafe dan masih menampakkan tampang sok berpikirnya itu.
Aku melipat kedua tanganku di dada, memberinya tatapan tajam dan datar. "Kalau gak mau, ya udah," ujarku sok ketus. "Lagian aku gak maksa."
Ya Tuhan, aku nyaris saja hampir tertawa terbahak-bahak di depan Max. Bisa-bisa sandiwaraku gagal kali ini. Aku ingin berpura-pura merajuk pada Max, lagipula aku suka melihat reaksinya ketika aku sedang berpura-pura merajuk. Max terlihat sangat lucu.
Max memindahkan posisi duduknya menjadi di sebelahku. Ia menatapku dengan puppy eyes-nya yang sangat lucu dan menggemaskan itu. Lalu, ia mengerucutkan bibirnya dan memeluk tubuhku sambil berkata, "Jangan marah dong, Megan."
Astaga, lihat saja tingkah lucu dan manisnya itu! Cukup, aku menyerah. Aku tak kuasa lagi menahan tawaku untuk tak segera pecah. Aku tertawa terbahak-bahak. Wajah Max lucu sekali saat ini. Dia terlihat seperti anak kecil.
Aku mencium pipi Max dan tersenyum padanya. "Aku gak akan pernah bisa marah sama kamu, Max. Gak akan pernah, asalkan...,"
Max menaikkan sebelah alisnya. "Asalkan apa?"
"Asalkan kamu mau nyanyiin aku satu lagu lagi malem ini," Aku menyandarkan tubuhku di sandaran kursi, "hari ini kan hari ulang tahun aku yang ke-20, masa gak ada kado spesial dari kamu?"
"Kamu cuma mau kadonya itu sebuah nyanyian?"
Aku mengangguk dengan semangat. "Iya, cuma nyanyian kamu aja, kok. Tapi, lagunya aku yang pilihin, ya!"
Max menyengir lebar. "Iya, iya, kamu yang pilihin deh. Emangnya kamu mau aku nyanyiin lagu apa?"
"Sambalado, tapi versi rock."
Aku tertawa terbahak-bahak lagi saat melihat ekspresi wajah Max yang langsung kaget bukan main.
Kemudian, Max mencubit pipiku dengan keras sehingga membuat aku mengaduh kesakitan. Ini kebiasaannya kalau dia merasa gemas padaku.
Namun setelah itu, Max menciumi kedua pipiku dengan lembut. Masih bisa kurasakan betapa lembut dan hangatnya kecupan itu di pipiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Deep Inside
Short Story#28 in Short Story (23/07/16) Ini soal jatuh cinta dan patah hati. Keduanya sangat berhubungan, bahkan berada dalam satu paket yang sama. Jika seseorang sedang jatuh cinta, berisiko besar bahwa pada akhirnya, cepat atau lambat, ia akan merasakan pat...