siapa dia? [pt. 3]

288 56 9
                                    

"Have you ever been in love? Horrible isn't it? It makes you so vulnerable. It opens your chest and it opens up your heart and it means that someone can get inside you and mess you up." ‒ Neil Gaiman, The Sandman, Vol. 9: The Kindly Ones

:-:-:-:

Aku melangkahkan kakiku keluar dari dalam ruangan itu sambil mengusap air mata dengan punggung tanganku. Rasanya dada ini sesak sekali. Sialnya, tangisku tak kunjung berhenti. Saat kudengar suara seseorang dari belakang terus-menerus berteriak memanggil namaku, aku semakin mempercepat langkah kakiku. Semakin cepat aku berjalan, semakin keras pula suara teriakan seseorang itu. Aku pun memutuskan untuk berlari kencang hingga keluar dari gedung rumah sakit.

"Megan!"

Teriakan itu semakin keras ketika aku membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya. Aku pun segera menurunkan rem tangan dan menginjak pedal gas mobil. Mataku yang sudah berair-air dan memerah memandang ke arah kaca spion dan aku pun segera melaju dengan kecepatan tinggi saat aku melihat seseorang itu berada di belakang mobilku.

Aku menangis dengan sangat kencang saat di dalam mobil. Fokusku terbagi dua antara kejadian beberapa menit lalu yang aku lihat dan jalanan yang sedang sepi saat menyetir. Dadaku terasa semakin sesak saat mengingat kejadian itu. Aku tidak tahu harus ke mana. Sudah tak ada tujuan lagi rasanya. Ingin pulang ke apartemen, tapi aku meninggalkan jaketku di rumah sakit. Masalahnya, kunci apartemenku ada di dalam saku jaket.

Tapi, sepertinya aku tahu satu tempat dimana aku akan merasa tenang.

***

"Ar, kamu bisa ke taman biasa?" tanyaku di telepon pada Arnold. "Aku butuh teman untuk cerita."

Aku mengangguk saat Arnold mengatakan bahwa dia akan tiba di taman lima menit lagi. Aku putuskan telepon secara sepihak dan menaruh ponselku ke dalam tas. Aku duduk di bangku taman yang menghadap ke arah danau. Perasaanku jadi sedikit tenang saat melihat pemandangan danau ini.

"Ada apa, Meg?"

Aku menoleh ke belakang saat mendengar suara seorang laki-laki. Ternyata itu Arnold. Arnold duduk di sebelahku dan menatapku sambil meminta penjelasan. Dia pasti sudah menyadari bahwa mataku kini sedang memerah dan sembab.

"Kamu pasti abis nangis?" Tebakan Arnold benar.

"Cerita dong sama aku, kamu kenapa bisa sedih gini sampe mata kamu sembab gara-gara nangis?"

Tanpa aku sadari, tetes air mataku sudah mulai jatuh lagi. "I'm fine," kataku sambil tersenyum pada Arnold.

"You're faking a smile, Megan. I know you're lying."

"Dari mana kamu tahu kalau aku bohong?"

Arnold mengangkat sebelah tangannya dan mengusap puncak kepalaku. Ia menatap wajahku lekat-lekat. "Come on, kita ini saudara. Biarpun cuma saudara tiri, tapi kita punya connection yang kuat. Kita dilahirkan oleh perempuan yang sama."

"Aku tahu kamu lagi bohong, because I can see it from your eyes," lanjut Arnold.

Aku tidak menjawab ucapan Arnold barusan. Tangisku semakin pecah saat aku mengingat kejadian di rumah sakit itu. Aku sudah berusaha sebisaku untuk tidak mengingat kejadian bodoh itu dan bersikap seperti aku baik-baik saja di hadapan Arnold, tapi rasanya sulit sekali.

"Kamu boleh pinjam pundak aku, kok. Kamu ceritain semuanya sama aku. Nggak apa-apa kalau kamu nangis, seenggaknya beban kamu akan terasa sedikit berkurang waktu kamu membagi cerita itu ke aku," kata Arnold dengan lembut.

"Boleh?" tanyaku sambil menatapnya.

Arnold mengangguk pelan sambil tersenyum. "Iya, adek tiriku yang cantik. Boleh, kok."

Aku meninju bahunya pelan. "Jangan panggil aku adek!" ujarku sembari tertawa pelan.

"Aku kan lebih tua satu tahun dari kamu, Meg, berarti boleh dong aku panggil kamu adek?"

Aku memutar kedua bola mataku. "Terserah kamu aja."

Arnold hanya terkekeh pelan.

Aku pun menyandarkan kepalaku di pundak Arnold. Tangan kanan Arnold sedikit terangkat dan mendarat di pundak sebelah kananku. Arnold mengusap-usap pundakku lembut, sehingga membuatku merasa sedikit lebih tenang.

"Jadi, ada apa?" tanya Arnold memulai percakapan karena sebelumnya kami sempat hening selama beberapa menit.

"I saw Max kissing a girl."

Arnold menatapku sambil mengernyitkan keningnya. "You saw him what?" tanyanya dengan nada sedikit meninggi.

"Kissing a girl," ujarku pelan. "And that girl is his ex girlfriend."

"Dia cium cewek itu tepat di bibir?"

Aku mengangguk. "Tepat di bibir."

Air mataku turun semakin deras ketika mengingat kejadian itu kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Tak lama kemudian, tiba-tiba saja aku merasakan ponselku bergetar di saku celana. Aku pun mengambil ponselku tersebut dan melihat namanya tertera di layar.

Max is calling...

Dengan tangan yang sedikit gemetar, aku menekan tombol berwarna hijau di layar dan mengangkat panggilannya.

"Halo?"

Deep InsideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang