"We accept the love we think we deserve." – Stephen Chbosky, The Perks of Being a Wallflower
:-:-:-:
Aku memasukkan pakaianku ke dalam koper dengan rapi. Tak lupa juga kumasukkan barang-barangku yang lainnya. Setelah kurasa semuanya sudah aku masukkan ke dalam koper, aku pun menutup koperku dan menaruhnya di depan pintu kamar. Setelah itu, aku mandi dan bersiap-siap untuk pergi ke bandara.
Dalam perjalanan menuju ke bandara, aku sempat mengirimi pesan pada Max bahwa aku akan tiba di sana sekitar beberapa menit lagi. Ya, aku akan pergi liburan dengan Max ke Inggris kali ini. Inggris, negara kelahiran Max. Max bilang, dia akan membawaku ke kota Manchester juga untuk menemui ayahnya, ibu tirinya, dan juga Caitlin.
Setibanya di bandara, aku langsung menghubungi Max dan memberitahunya bahwa aku sudah tiba. Tak lama kemudian, saat aku sedang mengedarkan pandanganku ke sekeliling, Max datang menghampiriku.
"Kamu gak bawa koper?" tanyaku heran saat melihat ia tak membawa koper, namun malah menggendong tas ransel saja.
Max menggeleng. "Males. Lagian barang bawaan aku gak banyak, di sana juga ada kok baju-baju punyaku. Aku bawa keperluan yang gak ada di sana aja."
"Gak bawa gitar?"
Max tersenyum. "Aku bisa pinjem punya Connor."
"Gak modal ih," seruku sambil mencubit hidungnya pelan.
"Biarin." Max tertawa seraya mengacak-acak rambutku.
***
Akhirnya aku dan Max tiba di Inggris juga. Dapat aku akui, ternyata di sini sangat dingin sekali. Untung saja aku membawa banyak baju tebal dan sweater rajut yang pastinya akan menghangatkan tubuhku. Sedangkan Max, dia terlihat biasa saja. Mungkin karena dia sudah biasa dengan suhu udara di Inggris.
Aku dan Max menginap di rumah Aunt Clary, adik ayah Max, yang berada di kota London, ibukota Inggris. Aunt Clary mempunyai dua orang anak laki-laki yang bernama Connor dan Carson.
Connor seumuran denganku, sedangkan Carson berusia setahun lebih tua dibandingkan Max. Connor dan Carson punya wajah yang tak kalah tampan dengan Max—aku rasa sahabat-sahabatku pasti akan menyukai mereka.
Selesai menaruh barang-barang kami di rumah Aunt Clary, Max pun mengajakku untuk jalan-jalan mengelilingi kota London. Dia membawaku ke Hyde Park, salah satu taman terluas dan terpopuler di kota London, dan membelikanku es krim rasa stroberi setelah berjalan-jalan.
Aku dan Max menghabiskan hari pertama kami di kota London dengan sangat seru dan menyenangkan!
Hari kedua di London juga tak kalah seru dengan hari pertama. Kali ini Max mengajak kedua sepupunya, Connor dan Carson, untuk juga ikut bersama kami menonton pertunjukan sirkus.
Selesai menonton pertunjukan sirkus, kami lalu pergi ke London Eye dan menaiki bianglala yang indah itu untuk melihat keindahan panorama kota London dari atas. Max juga membelikanku permen kapas berwarna merah muda yang aku suka setelah itu.
Sampai tiba saatnya di hari keempat kami di London, Max membawaku ke sebuah tempat yang aku belum tahu—Max enggan memberitahu, katanya biar surprise. Bahkan sejak tadi di perjalanan menuju tempat-yang-aku-belum-tahu itu, mataku ditutup oleh Max menggunakan penutup mata.
Saat aku rasa kami sudah tiba di tempat itu, Max pun menggenggam jemariku dan membawaku entah ke mana. Aku hanya mengikutinya saja dengan mataku yang masih tertutup ini.
"Waktu aku buka penutup mata kamu, kamu belum boleh buka mata, ya. Kamu tetap pejam mata sampai aku bilang kamu boleh buka mata kamu. Okay?"
Aku mengangguk pelan. "Okay."
Dia terkekeh pelan, kemudian ia membuka penutup mataku. Aku masih memejamkan mata, walaupun sebenarnya aku sudah tidak sabar melihat tempat apa ini.
Surprise macam apa, sih, yang ingin Max berikan? Sepertinya, selama kami berpacaran, baru kali ini Max ingin memberiku surprise, namun mengharuskan mataku ditutup oleh penutup mata. Spesialkah surprise-nya kali ini?
Max pun mulai menghitung mundur.
"Tiga..., dua..., satu...! You can open your eyes."
Aku membuka mataku dan melihat tempat yang ada di hadapanku ini dengan tatapan takjub. Max membawaku ke Primrose Hill yang dipisahkan oleh Prince Albert Road dan ZSL London Zoo dari Regent's Park.
Aku masih tercengang menatap pemandangan Primrose Hill yang berada tepat di hadapanku. Maksudku, aku tidak sedang bermimpi, 'kan?
Aku merasakan semilir angin membelai wajahku lembut. Rasanya ingin menangis terharu saat ini juga. Mengunjungi tempat seindah ini di kota London adalah birthday wish-ku saat aku masih remaja. Aku pernah memberitahu perihal itu pada Max, dan kini ia mewujudkan harapanku. Benar-benar mewujudkannya!
"You make it come true, Max! You make my wish come true!" Aku langsung memeluk tubuh Max. "Thank you so so so much."
Max mengusap puncak kepalaku dengan lembut. "Iya, sama-sama. Udah menjadi kewajiban aku untuk selalu bahagiain kamu. Gimana? Tempat ini bagus banget, kan?"
"Of course, it is. Bagus dan romantis banget!"
Max terkekeh pelan. "Aku tau kamu pasti bakalan suka tempat ini, Babe."
Aku menatapnya lekat-lekat sambil menyengir lebar.
Max balas menatapku sambil mengernyitkan dahinya. "What?"
"You just called me 'Babe'."
"Kamu ngerasa aneh aku panggil kayak gitu?"
Aku tertawa. "Nggak lah, ngapain juga aku ngerasa aneh dipanggil kayak gitu sama pacar aku sendiri."
Max terkekeh pelan, kemudian dia mendekapku tak kalah erat dengan saat aku mendekapnya. Dia mengusap puncak kepalaku dengan lembut dan mengecup keningku. Aku tersenyum manis.
Tepat pada malam itu di Primrose Hill, Max memberitahuku betapa sayang dan cintanya dia padaku. Aku jadi merasa sangat beruntung karena telah memiliki dia sebagai pacarku, karena setidaknya walaupun aku sudah kehilangan Chris yang dulu kukira akan menjadi seseorang yang selalu ada di sisiku, kini aku sudah punya Max yang nyatanya lebih mencintaiku daripada Chris.
"Besok mau ke mana?" tanya Max berbisik di telingaku.
Aku yang mendengar bisikan itu pun langsung mendongak dan menatapnya, lalu tersenyum dan menjawab, "Gimana kalau kita langsung ke Manchester aja? Aku udah gak sabar untuk ketemu keluarga kamu di sana, apalagi Caitlin."
"Okay, besok kita ke Manchester kalau gitu." Ia mengacak-acak rambutku pelan sembari tersenyum lebar.
Max mengecup pipiku lembut, kemudian semakin mempererat dekapannya. Rasanya aku ingin membekukan waktu saat ini juga. Aku ingin terus berada dalam dekapan hangatnya. Aku ingin terus bersama dengannya sampai waktu akhirnya memisahkan kami berdua. Aku mencintai Max, dan aku harap akan selamanya tetap seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Deep Inside
Short Story#28 in Short Story (23/07/16) Ini soal jatuh cinta dan patah hati. Keduanya sangat berhubungan, bahkan berada dalam satu paket yang sama. Jika seseorang sedang jatuh cinta, berisiko besar bahwa pada akhirnya, cepat atau lambat, ia akan merasakan pat...