"There is never a time or place for true love. It happens accidentally, in a heartbeat, in a single flashing, throbbing moment." ‒ Sarah Dessen, The Truth About Forever
:-:-:-:
Aku segera menyambar tasku yang semula kugantung di balik pintu kamar. Tak lupa pula kuambil jaketku yang kusimpan di atas meja kamar. Aku mengunci pintu kamar dan memasukkan kunci tersebut ke dalam tasku.
Dengan langkah cepat aku berjalan menuruni tangga. Lift di apartemenku sedang rusak dan diperbaiki untuk sementara waktu, maka dari itu aku terpaksa menggunakan tangga.
Setibanya di parkiran, aku segera masuk ke dalam mobilku. Aku melaju dengan kecepatan tinggi menggunakan mobilku agar aku dapat segera tiba di tempat tujuan. Saat dalam perjalanan, tak dapat aku pungkiri ternyata seperti ini rasanya merasakan panik, sedih, dan khawatir dalam waktu yang bersamaan.
Max kecelakaan. Aku ulangi sekali lagi, Max kecelakaan. Mobilnya tertabrak dengan mobil lain saat berada dalam perjalanan pulang dari kampus. Kini Max sedang dirawat di sebuah rumah sakit yang jaraknya lumayan jauh dari apartemenku.
Yang terus-menerus aku pikirkan hingga saat ini, kapan aku akan tiba di rumah sakit dengan cepat jika jalanan saja sedang macet parah seperti ini?
Aku terus mengumpat dalam hati. Kesal karena aku tidak bisa tiba secepatnya di rumah sakit untuk mengecek keadaan seseorang yang sangat aku cintai sedang terbaring lemah di sana.
Aku bahkan bisa merasakan panas di mataku. Tak kuasa lagi aku menahan tangis ini untuk segera pecah. Aku biarkan saja diriku menangis sejadi-jadinya di perjalanan. Aku sudah sangat khawatir sekali terhadap keadaan Max.
Akhirnya aku tiba di rumah sakit setengah jam kemudian. Aku berlari menuju ke ruangan di mana Max dirawat. Carmen yang pertama kali memberitahuku soal ini, dia juga yang memberitahuku soal ruangan Max. Jika Carmen tidak memberitahuku, mungkin sekarang aku tidak tahu apa-apa.
Belum sempat aku membuka pintu ruangan Max dirawat, aku berhenti berlari. Napasku terengah-engah. Jantungku juga berdetak sangat cepat. Aku ingin terlihat tenang saat masuk ke dalam ruangan. Saat aku rasa aku sudah cukup tenang, aku pun segera masuk.
Kulihat Max sedang disuapi makan oleh seorang perempuan. Siapakah dia? Entahlah, yang jelas aku tidak mengenalnya. Aku bahkan tidak pernah bertemu dengan perempuan itu.
Sepertinya perempuan itu bukan keluarga Max, sebab aku sudah bertemu dan mengenal semua keluarga Max, apalagi saudara sepupu perempuannya. Perempuan itu jelas bukanlah saudara sepupu Max. Aku tahu itu.
"Hai, Meg," sapa Max dengan suara lembutnya. Ia terdengar begitu riang. Aku tersenyum padanya. "You came!" serunya sambil tersenyum lebar.
"Carmen ke mana?" Bodohnya aku. Mengapa aku justru malah menanyakan keberadaan Carmen dibandingkan keadaan Max sekarang?
"Dia barusan aja pulang. Kamu pasti dikasitahu sama Carmen ya kalau aku kecelakaan dan dirawat?"
Aku mengangguk pelan. "Iya," jawabku singkat. Kuedarkan pandanganku ke seluruh ruangan, saat melihat ada sofa, aku langsung duduk di situ.
Dammit, rasanya canggung sekali berada di dalam satu ruangan bersama pacarku sendiri dan seorang perempuan yang bahkan aku tidak kenal sedang menyuapi pacarku makan.
Seharusnya aku yang berada di posisi perempuan itu. Seharusnya aku yang menyuapi pacarku makan. Seharusnya aku juga yang pertama kali dilihat Max saat dia terbangun dari tidurnya. Seharusnya aku yang—ah sudahlah. Ini salahku yang terlambat tahu soal kecelakaan Max.
"Kamu udah makan?" tanya Max saat dia menatapku.
"Udah, kok." Bohong, jelas sekali aku sedang berbohong. Aku baru saja pulang kuliah dan tiba di apartemen saat tiba-tiba Carmen memberitahuku soal kecelakaan Max lewat telepon.
Suasana semakin terasa canggung. Tuhan, aku rasanya ingin pulang saja daripada berada dalam situasi seperti ini.
"Oh ya, Meg, kenalin, dia Rachel. Dia teman SMA aku," ujar Max memperkenalkan perempuan bernama Rachel itu.
Rachel tersenyum tipis padaku. Aku hanya terdiam—tidak merespons apa-apa. Aku menatap Rachel dengan tatapan datar.
Dia itu hanya teman SMA Max, kenapa dia bisa ada di ruangan ini lebih dulu daripada aku? Dan kenapa juga dia malah menyuapi Max? Kenapa bukan aku saja?
"Dia sepupu kamu, Max? Cantik ya, mukanya bahkan hampir mirip sama Caitlin," kata Rachel.
Aku menatap Rachel dengan tajam. Jika tidak mengingat ini adalah rumah sakit, mungkin sudah kujambak-jambak rambut pirangnya itu dan mengajaknya untuk perang dunia ketiga. Aku kesal sekali mendengarnya. Terlalu kesal sampai akhirnya kuputuskan melangkahkan kakiku keluar dari ruangan Max.
• • •
A/N:
hai semua, gue lagi seneng banget nih makanya hari ini gue update. untuk chapter kali ini gue bagi jadi beberapa bagian ya. rencananya sih mau sampe tiga bagian aja, kemudian gue bakal publish dua chapter lagi tapi gabakal berhubungan sama ketiga chapter yg dibagi jadi beberapa bagian ini.
ngomong-ngomong, ada cast baru nih yg bernama rachel. mau tau lebih jelas siapa rachel sebenarnya? tunggu aja chapter selanjutnya ya, ntar gue kasitahu deh lebih jelasnya siapa itu rachel. terima kasih udah mau baca, gue harap kalian suka!
KAMU SEDANG MEMBACA
Deep Inside
Short Story#28 in Short Story (23/07/16) Ini soal jatuh cinta dan patah hati. Keduanya sangat berhubungan, bahkan berada dalam satu paket yang sama. Jika seseorang sedang jatuh cinta, berisiko besar bahwa pada akhirnya, cepat atau lambat, ia akan merasakan pat...