siapa dia? [pt. 2]

266 57 7
                                    

"I love you. I am who I am because of you. You are every reason, every hope, and every dream I've ever had, and no matter what happens to us in the future, everyday we are together is the greatest day of my life. I will always be yours." ‒ Nicholas Sparks, The Notebook

:-:-:-:

"Dia sepupu kamu, Max? Cantik ya, mukanya bahkan hampir mirip sama Caitlin," kata Rachel.

Aku menatap Rachel dengan tajam. Jika tidak mengingat ini adalah rumah sakit, mungkin sudah kujambak-jambak rambut pirangnya itu dan mengajaknya untuk perang dunia ketiga. Aku kesal sekali mendengarnya. Terlalu kesal sampai akhirnya kuputuskan melangkahkan kakiku keluar dari ruangan Max.

Saat aku berada tak jauh dari ruangan Max, kudengar suara seseorang memanggilku. Awalnya aku ingin mengabaikan saja suara panggilan itu, namun begitu sadar bahwa itu adalah suara Carmen, sahabatku, aku pun segera membalikkan badan dan menghampiri Carmen.

"Kamu kenapa ada di luar sini, Meg? Kamu gak ke dalam untuk temuin Max? Atau kamu udah ketemu sama Max? Kamu kenapa kayaknya buru-buru banget gitu? Ada urusan?"

Ditanya dengan pertanyaan beruntun seperti itu, aku hanya diam saja—bukannya menjawab. Bahkan untuk bicara satu kata saja rasanya aku tak sanggup. Hatiku terasa sakit ketika mengingat pemandangan pertama yang kulihat saat aku pertama kali melangkahkan kakiku masuk ke ruangan Max. Perempuan bernama Rachel itu benar-benar menghancurkan suasana hatiku. Aku kesal sekali padanya.

Setelah cukup lama diam, aku pun mulai bertanya pada Carmen. "Kamu tahu siapa cewek yang ada di dalam ruangan Max?"

"Siapa yang kamu maksud? Setahu aku gak ada siapa-siapa. Keluarga juga udah pada pulang dari tadi."

Aku mengernyitkan keningku. "Cewek itu, yang ada di dalam ruangan Max, yang lagi nyuapin Max makan. Kamu gak tahu dia siapa, Car?"

Carmen mengernyit. "Siapa, sih? Aku bener-bener gak tahu, Meg."

"Yang namanya Rachel. Kamu gak tahu?"

"Rachel? Maksud kamu, Rachel mantan pacarnya Max?"

Aku sontak langsung membulatkan kedua bola mataku. Aku menatap Rachel dengan tatapan tidak percaya. "Jadi, Rachel itu mantan pacarnya Max?"

"Iya, setahu aku yang namanya Rachel itu cuma mantannya Max waktu SMA doang. Dia bener-bener terobsesi sama Max dari dulu, tapi gak tahu deh kalau sekarang. Dulu waktu diputusin sama Max, Rachel itu sampe depresi parah. Saking parahnya, dia sampe dipindahin sekolah ke luar negeri sama orangtuanya. Gila, ya?" Entah kenapa, saat mendengar cerita singkat Carmen, aku merasakan sedikit sesak di dadaku. "Lagian, dia ngapain ada di ruangannya Max? Dia tahu dari mana coba kalau Max kecelakaan?" lanjut Carmen bertanya.

Aku menggeleng lemah. "Ya udah deh, bilang Max kalau aku pulang, ya. Tiba-tiba kepala aku rasanya pusing. Aku kayaknya kecapekan, deh. Aku harus pulang."

"Kamu yakin bisa nyetir disaat pusing begini? Jangan dipaksain kalau gak bisa, ntar yang ada kamu kenapa-napa waktu di jalan."

"Aku gak apa-apa, kok," kataku sambil tersenyum.

"Iya, deh. Hati-hati di jalan, ya. Aku mau ke ruangan Max dulu, mau anterin ini." Carmen memperlihatkan parsel yang berisikan buah-buahan di dalamnya padaku.

"Oke, bye," ujarku singkat sambil melambaikan tanganku padanya.

***

Aku terus memainkan gantungan kunci yang kupegang di tanganku. Mataku menatap lurus ke depan—tepat ke sebuah kafe yang dulu menjadi awal tempat pertemuan dan perkenalan pertamaku dengan Max. Mungkin, kalau bukan karena Chris yang mengingkari janjinya untuk menjemputku dan membuatku merasa kesal hingga akhirnya memilih untuk mampir ke Jeanette's dulu, aku tak akan pernah bertemu dengan Max.

Mungkin, aku tidak akan pernah ditabrak secara tidak sengaja oleh Max dan menyebabkan sebagian kopi dari cangkir yang sedang ia pegang tumpah membasahi baju seragamku. Mungkin, aku juga tidak akan punya pengganti Chris di hatiku. Sebab aku tahu, Chris adalah sosok yang sulit untuk digantikan. Dan entah bagaimana, kini Max sudah berhasil menempati tempat teristimewa di hatiku melebihi Chris dulu.

Aku dan Max sudah menjalin hubungan berpacaran selama lima tahun. Tidak terasa waktu berjalan secepat itu. Sudah lulus sarjana S1 tentunya tidak membuat Max berniat untuk segera mencari pekerjaan. Max sekarang sedang mengambil S2 di universitas yang sama denganku—hal itu membuat kami berdua jadi lebih sering bertemu. Sedangkan aku? Tidak lama lagi aku akan segera wisuda. Entahlah, mungkin beberapa bulan lagi.

Aku bangkit dari dudukku dan segera berjalan memasuki mobilku. Hujan sudah mulai turun rintik-rintik. Aku harus menuju ke rumah sakit untuk menjenguk Max. Dia sudah dirawat selama hampir seminggu. Keadaannya semakin membaik akhir-akhir ini. Soal Rachel, dia masih sering datang, kata Carmen. Setiap kali aku menjenguk Max, tak jarang aku juga bertemu dengan Rachel. Jangan tanya soal perasaanku saat bertemu dengan perempuan itu—pastinya aku merasa kesal.


• • •


A/N:

halooo! masih ada yg nungguin gue update ga? *krik krik* maafin gue ya kalo chapter ini agak gimana gitu menurut kalian. mood gue lagi gabagus waktu nulis ini, makanya hasilnya jadi gini deh. tapi gue harap ada yg suka ya. makasih udah mau baca! tunggu ya lanjutannya *peluk satu-satu*

Deep InsideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang