Semua mulai membaik sejak menerima Bayu. Menerima ia merindukanku. Menerima ia menyayangiku. Menerima ia mengkhawatirkanku. Menerima memperhatikanku. Namun aku-sampai hari ini hanya menerima. Setidaknya, aku lebih tenang sekarang memiliki orang yang kupercaya sepenuhnya.
Pagi ini aku tak hanya menatapnya meneguk kopi di bingkai jendela, namun aku ikut memegang kopi yang sama di lenganku. Meneguk si hitam sambil menatapnya dekat.
"Hari ini kamu ikut ke rumah sakit?"
"Hmmm," kuangkat mataku ke langit-langit, mempertimbangkannya sejenak, "Iya."
"Tapi," lanjut Bayu, "Jangan ilang"
"Hahah, Iya da aku teh anak kecil yang ikut orangtuanya ke mall."
Kami mulai menjalani hari yang cerah dengan suasana yang cerah. Tak ada permintaan maaf untuk Bayu hari ini. Hari ini adalah terima kasih untuk Bayu, yang masih selalu hingga detik ini, mengerti aku. Mengendarai mobil disampingku sambil mendengarkan Radio, tanpa mengungkit kesedihannya belum bisa memilikiku seutuhnya.
Berkat Desta and Gina in the morning, kami dapat tertawa bersama.
"Kira-kira dirumah sakit aku ngapain ya? sambil nungguin kamu."
"Kamu bisa wisata kuliner di kantin, hehe."
"Waw, bagus banget idenya," ledekku.
"Hahaha, kamu sih biasanya nonton drama korea kalau lagi bosen." Jelas Bayu sambil membantuku mengumpulkan ingatan.
"Oya?"
"Iya, malah suka sampai ketiduran didepan TV. Koleksi DVD kamu kan banyak"
"Kayaknya harus aku lanjutin budaya menonton Drama Korea."
"Setuju," tegasnya, "itu bisa bikin kamu..," Ia menghentikan ucapannya.
"Bikin aku?" Kuulang perkataannya dengan nada bertanya. Maksudku ayo lanjutkan, aku menunggu.
"Bikin aku mengingat semuanya?," kulanjutkan sendiri.
"Ehehe, iya itu maksudku."
Tiba-tiba handphone Bayu berdering. Ia lalu mengangkatnya dengan cepat. Didalam handphone itu seseorang meminta Bayu untuk cepat datang. Ada pasien krisis butuh di operasi secepatnya. Kemudian setelah itu mobil sedan Bayu melaju dengan kecepatan tinggi.
Aku selalu senang melihat Bayu mempedulikan pasien-pasiennya. Merasa bertanggung jawab dengan pekerjaannya. Terkadang ia terlihat keren. Aku jadi mengaguminya di saat-saat seperti ini. Namun bersamaan dengan itu, mendengar kata 'Operasi' membuatku mendapati bayangan tentang lampu operasi yang terang. Sangat terang, hingga aku tak bisa melihat apa-apa selain putih. Namun dalam putih itu, banyak suara orang-orang yang memintaku untuk bangun. Suara seorang lelaki. Itu pasti Bayu. Apakah ia juga menangis disampingku? yang aku ingat tak ada suara tangisan di dalam putih itu.
"Ayo Fin!" ajak Bayu setelah sampai depan UGD.
"Kamu duluan."
"Engga, aku anterin kamu ke ruanganku, baru aku ke ruang operasi."
Sigap, aku keluar dari mobil dan mengikuti Bayu dengan langkah lebar dan cepat persis dengan yang dilakukan suamiku.
"Kamu tunggu sini ya, beberapa jam aja."
Suamiku membelakangiku dan punggungnya hilang dibalik pintu itu. Aku menunggunya sendirian disini. Mendoakan kelancaran operasinya. Untuk tangannya, semoga tak tertusuk jarum hari ini. Untuk kerinngatnya semoga tak mengganggu kenyamanannya. Untuk pikirannya, semoga mengkhawatirkanku tidak menjadi bebannya. Bayu, aku menunggumu dengan sabar disini, apa kau tersentuh?
Satu jam menunggu aku masih bersabar bersama handphoneku. Dua jam kemudian perutku mulai mengamuk. Pagi tadi kami tidak sarapan karena aku tidak suka makan jika belum lapar. Bayu juga pasti lapar. Aku memutuskan untu membelikan Bayu makanan ke kantin.
Aku keluar dari pintu. Beberapa staff rumah sakit di koridor mulai melihatku. Tatapan itu seperti 'siapa dia?' , 'Kenapa keluar dari ruangan Pak Bayu' dan tatapan sejenisnya. Namun aku tak mempedulikannya. Yang aku pedulikan adalah makanan untuk perutku dan Bayu.
Dengan bantuan papan penunjuk lokasi, akhirnya aku sampai di kantin. Dari seluruh kios yang ada, mataku langsung memikat warung nasi yang di urus oleh seorang ibu tua. Sepertinya dia orang yang ramah. Ayo kita hampiri.
"Punteun bu, aya kangkun?" (Permisi bu, ada kangkung?"
"Aya neng, haneut keneh, bade geulis?" (Ada, masih hangat, mau cantik)
"Muhun bu, meser dua we, dibungkus." (Iya bu, beli dua aja, dibungkus)
"Mangga, antosan nya neng." (Boleh, ditunggu ya)
Setelah menerima dua bungkus kangkung ditanganku kupindahkan sejumlah uang ke tangan Ibu lembut itu. Ia meninggalkan kesan yang indah. Aku berjalan masih sambil tersenyum menerima perlakuan baik yang jarang kudapati setelah kehilangan ingatanku.
"Bayuuuu," seruku gembira melihatnya sudah berada diruangannya.
"Hai." Balasnya sambil menyeka keringat di dahinya.
"Kangkung!" Kataku dengan keresek hitam yang terangkat ditangan kananku.
"Sini kangkungku sini."
Aku menghampirinya. menyimpan makanan diatas meja dan beridiri lagi.
"Eh, kemana?" Tanya Bayu heran melihatku tidak duduk disebelahnya.
"Minum dulu." Perintahku. Gelas berisi air yang kuisi barusan ia raih dengan ragu.
Ia ragu. Aku sendiri heran dengan perbuatanku.
Bayu, mungkinkah aku akan mengatakan ini? Sepertinya aku ingat, aku mencintaimu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Namaku Fina(Sekuel Kisah Elang dan Kak Fina)
Teen FictionSiapa aku sekarang? dan siapa aku sebelumnya? Aku bahkan harus menghafal namaku sendiri seharian penuh. Lalu berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk mengenali diriku. Dan juga sosok itu. Lelaki penyuka kopi yang selalu bersandar di bingkai jendela t...