Part 10

48 7 1
                                    

Aku tidak lagi terlelap samping tubuh suamiku. Tak lagi menuangkan kopi di tiap paginya. Tak lagi repot-repot membelikan nasi untuk makan siangnya. Dan semua yang tidak ada lagi terasa benar, namun membuatku tak terbiasa.

Bu Endah menatapku sesekali ketika aku menumis kangkung. Aku mengetahuinya, namun aku tak melarangnya untuk menatapku dengan rasa kasihan. Aku bahkan mengasihani diriku sendiri.

"Bu.."

"Yaa?"

"Aku belum dapet kosan, malem ini aku boleh kan tidur disini lagi?"
"Fina, kamu boleh tinggal disini selama yang kamu mau, ibu seneng kok ada yang nemenin."

Bu endah menjawabnya dengan nada lembut seperti biasa. Tangannya yang sembari mengelus bahuku, mengatakan bahwa aku tak perlu khawatir.

Bu Endah tak lagi pergi ke rumah sakit untuk menjual makanannya. Mulai sekarang Bu Endah membuka warung nasi dirumahnya. Pelanggan disini juga tak kalah banyak dari pelanggan di rumah sakit. Sebab banyak orang yang datang ke Taman Teras Cikapundung. Alhasil warung nasi Bu Endah sangat strategis untuk menarik orang-orang dari taman.

Aku berhak berterimakasih pada Bu Endah. Selain ia sudah mengizinkanku tidur ditempatnya, ia juga memberikanku kesibukan untuk bisa mengalihkan pikiranku yang semerawut. Tentang Bayu dan Elang.

Meski kenyataannya aku sama sekali-tak sedetikpun-bisa menghindar dari pikiran-pikiran itu. Beserta rasa marah dan kecewa, yang terlalu sulit untuk aku redakan seorang diri.  Membuatku tak tahu apa yang harus aku lakukan atas perbuatan mereka. Termasuk Elang, adikku. Aku bahkan ingin bertemu dengannya. Menanyakan semua kenangan kita. Merindukannya seakan sudah lama tak bertemu setelah lama tinggal bersama. Padahal aku pun belum mengingat, kehidupan seperti apa yang aku jalani bersama adikku itu. Namun aku tetap ingin dia dihadapanku, juga ingin memarahinya habis-habisan.

Seketika itu menjadi kenyataan.

"Kak."

Lelaki yang baru saja terlintas di pikiranku kini benar-benar ada dihadapanku. Dengan jantung yang tak bisa berdetak pelan dan tangan yang sedang memegang sepiring kangkung, aku menatapnya kosong. Seolah tak ingin peduli dengan panggilannya. Kemudian kakiku mulai melangkah mengabaikannya.

"Kak ayo kita bicara."

Ia mulai memintaku. Aku masih sama, tak melihatnya atau berhenti bergerak untuk memperhatikannya. Dalam hatiku, aku ingin ia memaksaku. Ayo, kita memang harus bicara. Tapi beberapa hari lalu kamu telah banyak berbohong kepadaku seakan-akan aku orang bodoh. Tentu aku tak bisa begitu saja memaafkanmu. Setidaknya aku harus sempat mengacuhkanmu, kan?

"Kak."

Ia masih mencobanya. Aku masih tak ingin luluh begitu saja.

"Pulanglah." Jawabku singkat.

***

Sejak hari itu, ia datang setiap pagi untuk sarapan di tempat kami. Dan yang menyebalkan adalah ia selalu meminta kangkung. Aku selalu mengusirnya, namun Bu Endah selalu membelanya. 

"Sudahlah Fin, dia kan pelanggan kita, ayo cepat ambilkan kangkungnya."

Aku kebelakang untuk mengambil pesanannya. Sayup-sayup terdengar suara Bu Endah yang membicarakanku.

"Teruslah berusaha, hatinya pasti akan lunak."

Nasihat orangtua sepertinya selalu benar. Bu Endah benar, hatiku mulai melunak. Kangkung yang dingin itu akhirnya aku panaskan untuknya.

"Nih, kalo udah habis langsung pulang."

"Hehe, makasih kak." Ujarnya, seakan semua baik-baik saja. Seakan dihari-hari kemarin aku tak pernah bersikap kasar padanya. 

"Aak!" Tak lama aku berteriak karena jariku teriris pisau saat memotong bawang. Elang berlari dari tempat duduknya, namun Bu Endah lebih dulu sampai didekatku.

"Duh, kamu ceroboh lagi."

"Kenapa kak?"

"Eh Nak, kamu urus ini kakakmu ya." Pinta Bu Endah seakan ingin menyatukan kami.

"Kakak gak kenapa-napa?"

Ia meraih jariku yang berdarah. Aku meringis perih, dan kesal melihat wajahnya didepanku. Mengingatkanku pada kesalahannya.

"Berhenti manggil aku kakak!" Bentakku sambil menarik kembali tanganku.

Ia seolah tak percaya apa yang baru saja aku lakukan. Membentaknya dengan keras dan penuh amarah. Ya, seharusnya kamu tahu, sebesar itulah lukaku karena kebohonganmu.

"Kamu gak pernah sekasar ini kak!"

"Memangnya aku ingat apa, hah?"

Aku berlari. Berhenti melihat wajah itu. Wajah yang akhirnya kubuat ia merasakan luka. Sebentar saja, rasakanlah sakit itu. Sedang aku sendiri akan berusaha menerimamu dikemudian hari. Dengan beberapa hal yang harus kau lakukan.

Elang, aku menangis karena kecewa padamu. Namun ada beberapa tetes air mata yang jatuh karena menyesal telah membentakmu.

***

Namaku Fina(Sekuel Kisah Elang dan Kak Fina)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang