Part 9

50 7 3
                                    


Semua harus bersikap seperti biasanya. Hingga kebenarannya terungkap depan mataku. Bahwa Bayu menyembunyikan sesuatu dariku.

Jika mengingatnya, aku selalu membenci Bayu. Namun ketika melihatnya, aku selalu kasihan padanya. Betapa membingungkannya hari-hariku. Jika bisa aku ingin tidak mengingat bahwa Bayu membohongiku. Tapi karena aku mengingatnya, aku harus lanjutkan tindakanku terhadap kebohongannya. 

Sebenarnya, meskipun aku takut untuk mengetahui kebenarannya, tapi tidak mendapatkan kebenaran adalah sesuatu yang lebih sesak.

"Sayang, mau pakai dasi yang biru atau abu?" Tanyaku dari depan pintu kamar mandi sambil sedikit berteriak agar terdengar.

"Abu!" Jawab Bayu singkat.

Selesai aku siapkan pakaian Bayu, ku raih handphonenya dan mulai menjalankan misi.

Jangan balas sms ini. Temui aku di basement jam 9, ini tentang Fina- Bayu.

Sent.

Tak lama Bayu keluar dari kamar mandi dengan wajahnya yang segar, tidak lupa senyuman untukku.  Aku tersenyum balik padanya.

***

"Bayu, aku di basement. kamu... kamu bisa kesini ga? sekarang. pokoknya kesini sekarang." Pintaku pada Bayu lewat telpon genggamku. Dengan suaraku yang bergetar dan terdengar ketakutan, Bayu menjadi khawatir dan melakukan yang aku pinta.

Di sudut lain, Elang berdiri sambil terus melihat jam tangannya. Wajahnya gelisah. Tidak seperti wajahku yang tenang dibalik tiang beton yang dingin. Tak lama Bayu datang dan menemukan Elang. Darisini aku dapat melihat dan mendengar mereka.

"Kamu liat Fina gak?" Tanya Bayu sambil terengah-engah.

"Enggak, kenapa?"

"Tadi dia nelpon aku, suaranya ketakutan gitu."

"Ada apa dengan dia?" Elang mengikuti Bayu yang panik.

Namun beberapa saat kemudian wajah panik mereka berubah menjadi wajah terkejut ketika aku mendekat dengan wajah tenang. Lelaki yang kuhadapi terlebih dahulu adalah suamiku. Sedang Elang berdiri di belakang kami, terdiam.

"Bayu, kamu mengenalnya." Ungkapku.

"Fin.. Fina kamu gak kenapa-napa?" Tanyanya masih dengan sisa kekhawatiran beberapa menit lalu.

"Bayu! Kamu kenal Elang!" Teriakku depan wajahnya sambil mengarahkan telunjukku pada Elang. Hatiku bergetar bahkan dengan teriakanku sendiri. Aku mengeluarkan semua kekecewaanku pada lelaki yang ku percayai ini. Lelaki yang di hari-hari sebelumnya kupilih untuk menemani hidupku sampai akhir. Tapi, apakah hari ini aku masih akan meminta hal yang sama?

"Fin.." Bayu masih tak menjawab, membuat perasaanku makin rapuh. Suaranya yang lembut membuat air mataku tanpa sadar terjatuh.

"Siapa dia, Bay?"

Elang menatapku, lelah. Sesekali ia menghela napas dan menutup mata dengan menyesal.

"Teddy Bear! Dia kan yang memberiku Teddy Bear itu?! Suaranya, suara yang memintaku terbangun. Lelaki yang tertawa bersamaku di setiap bayangan yang melintas di pikiranku, itu dia kan, Bay?!"

Tanganku tak kuasa menahan untuk memukuli dada Bayu yang bidang. Semua menjadi tidak terkendali. Air mata. Pukulanku. Dan dada yang penuh kesesakan. Tentang kekecewaan. Juga ketakutan untuk meninggalkan Bayu sendiri.

Bayu tak mengeluarkan sepatah katapun kecuali menunduk dan menggenggam tanganku. Menguatkanku yang terisak, karenanya.

"Kak.." Lelaki di belakangku yang sedari tadi terdiam, mulai mengeluarkan suara yang tak kalah bergetarnya dengan suaraku. Menahan tangis yang mungkin ingin meledak sejak lama.

Tapi aku tak ingin sedikitpun menoleh kepadanya. Aku tak percaya panggilan itu adalah untukku. 

"Siapa dia, Bay?" Tanyaku, yang hingga detik ini mempercayai Bayu sebagai tempat bertanyaku. Atas segala yang tidak aku ketahui.

"Dia Elang, adikmu."

Aku mulai marah mendengar jawaban Bayu. Tidak hanya karena ia menyembunyikan kenyataan bahwa aku memiliki seorang adik. Namun karena yang ia katakan padaku sebelumnya ternyata adalah kebohongan. Dan aku mempercayainya.

"Apa?! Bayu, kamu lupa?! Kamu yang bilang aku gak punya keluarga lagi!"

Semua darah dalam tubuhku seperti mendidih, membuat wajahku merah. Rasanya hampir gila. Ingin berteriak hingga suaraku habis. Ingin memukul segala yang melintas didepanku hingga tanganku tak merasakan apa-apa lagi. Hingga rasa kecewa dan marahku tak bersisa.

"Fin, belum waktunya aku kasih tahu kamu." Bayu membela diri, yang sama sekali tidak aku hiraukan.

Aku memandangi Elang satu kali tatapan.

"Bayu sepertinya benar, aku tidak punya keluarga. Keluarga macam apa yang tidak mengakui saudaranya."

Kuucapkan satu kalimat itu dengan dingin dan tatapan lurus pada Elang, yang menyesal. Selanjutnya aku meninggalkan kedua laki-laki itu tanpa pernah lagi menoleh ke belakang.



Namaku Fina(Sekuel Kisah Elang dan Kak Fina)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang