" Bayu, sepertinya aku sakit."
Ia langsung menghampiriku diatas rannjang dan meraih tangan kiriku.
"Tensimu normal." Katanya heran. Aku hanya melihatnya ingin mengatakan bahwa kepercayaankulah yang tersakiti. Tapi tentu aku tak akan mengatakannya. Aku akan memberitahumu dengan cara yang lebih mengejutkan.
"Oya? Kenapa aku merasa tidak enak badan ya?"
"Yaudah, hari ini kamu gausah temenin aku ke RS, kamu istirahat aja ya?""Oke, tapi kamu jangan lupa makan ya."
Ia tersenyum manis padaku. Aku memasang senyum semanis yang aku bisa. Menutupi kecurigaanku. Entah, tapi aku hanya tak ingin menanyakan langsung padanya. Mungkin karena ia pasti tak akan menjawabnya. Atau aku memang sudah sama sekali tak mempercayainya. Setiap kata yang kudengar dari mulutnya, membuatku marah. Ingin rasanya aku memaksa Bayu untuk jujur saja.
Oh Bayu, apa yang kau sembunyikan. Semua membuatku tak ingin lagi menerima pelukanmu dengan tulus.
"Aku pergi dulu ya." Pamitnya.
Aku mengangguk sambil berkata dalam hati 'Pergi saja, cepat!'
Aku masih belum tahu seperti apa sikapku dahulu sebelum ingatanku hilang. Hari-hari sebelum ini aku menjadi gadis lugu yang selalu percaya kepada suamiku. Kini aku berubah, menjadi sangat pendendam dan penuh rasa marah. Tentu saja itu semua karenamu, Bayu.
Tak lama handphone si penguntit itu berdering. Ku angkat dengan tenang.
"Halo."
"Halo penguntit," Jawabku, "Betapa gugupnya kamu hingga tak menyadari aku berhasil mengambil handphonemu."
"Wuaah, sejak kapan istri seorang dokter jadi pencuri." Katanya kesal.
"Aku dirumah sendiri, sampai jam 12."
Aku langsung menutup telpon dan pergi ke kamar mandi. Aku tahu si penguntit pasti akan datang demi handphonenya.
***
Baru saja satu suap kangkung masuk ke mulutku, seseorang mengetuk pintu depan dengan keras. Membuat khidmat makan siangku sirna. Aku meletakan sendok dengan kesal. Moodku benar-benar sedang tidak bagus.
"Kau tahu alamat rumahku?" Tanyaku setelah mendapati wajah si penguntit depan rumahku.
Ia terlihat bingung dan tidak tahu harus menjawab apa.
"Kamu pasti mengenalku," Lanjutku tanpa menunggu jawabannya.
"Iya! Iya aku mengenalmu." Jawabnya dengan kesal, "Katakan apa yang kamu inginkan? Sampai perlu mengambil Handphoneku!"
"Katakan," perintahku, "Apa yang kau bicarakan dengan suamiku kemarin."
"Kamu tidak seharusnya bertanya padaku kan?"
Aku menatapnya, menerima jawabannya. Memang, seharusnya aku bertanya pada Bayu. Mengapa tidak aku lakukan? aku takut menyakitinya. Aku takut mendengar kenyataan darinya. Aku takut, sesaat setelah mendengar jawabannya aku harus melepasnya, dan membencinya.
"Baiklah," kataku sambil menyerahkan handphonenya..
Ia mengambilnya dengan ragu. Ambil saja mumpung aku sedang berbaik hati. Aku menatap punggung si penguntit itu. Rasanya sangat tak asing tubuhnya. Aku berusaha mengingatnya. Sambil melangkah perlahan dan terus melihat punggungnya yang kian jauh. Tak sadar aku melewati anak tangga depan rumahku sehingga aku terjatuh.
"Aaak!" Teriakku cukup kencang. Sebenarnya aku terkejut sehingga berteriak, bukan karena sakit akibat terjatuh.
"Kenapa?" Ia sama terkejutnya mendengar teriakanku. Si penguntit yang tadi kulihat punggungnya menjauh kini batang hidungnya mendekat hingga datang di hadapanku.
Aku belum menjawab pertanyaannya. wajahnya yang dekat denganku membuatku semakin keras untuk mengingatnya. Tiba-tiba bayangan itu kembali.
"Kamu, kamu orang yang tertawa bersamaku."
"Maksud kamu.."
"Siapa kamu?" Tanyaku tegas.
"Elang, aku Elang. Sekarang kamu sudah tahu. Sebaiknya kita tak usah bertemu lagi." Ia mengangkat tubuhku dan pergi tanpa berkata-kata lagi.
Sedang aku terus mengeja namanya.
Elang.
Elang.
Elang.
Elang.
Elang.
Sungguh aku tahu nama itu. Aku harus mengingatnya. Siapa dia. Mengapa ia memintaku untuk tak bertemu lagi. Apa yang salah dengan pertemuan kita? hingga langit berubah menjadi gelap tubuhku terbaring diatas ranjang dengan pikiran yang berusaha menjabarkan nama Elang. Membiarkan sepiring kangkung tadi siang diatas meja makan tanpa tersentuh lagi.
Bayu pulang dan langsung menghampiriku dibalik selimut tebal kami. Aku menutup mataku. Ia tanpa membangunkanku menyentuh dahiku untuk mengetahui suhu badanku. Setelahnya ia tetap tidak membangunkanku yang berpura terlelap. Tak lama ia kembali datang padaku dan menepuk bahuku perlahan.
"Fin.."
Mendengarnya hatiku bergetar. Bayu mengapa lelaki sebaik kamu harus berbohong padaku. Sehingga membuatku bingung bagaimana menempatkan hatiku.
"Hmm?" Aku membuka mataku perlahan dan menatap Bayu yang masih menggunakan kemeja kerjanya.
"Makan dulu, ini aku bikinin bubur susu."
Aku tersenyum dan membuka mulutku. Sesuap bubur kemudian mendarat dilidahku.
"Kamu kenapa bisa demam gini?"
Aku menggeleng masih menatap Bayu.
Aku memang jadi betul-betul demam karena berusaha mengingat nama itu setengah hari ini.
"Aku pengen cepet inget semuanya, Bay"
"Pelan-pelan Fin, jangan dipakasain. Kalau terlalu berat bisa bikin kamu sakit."
Ia meletakan sendok seakan baru menyadari sesuatu.
"Kamu maksain diri ya? Jadi sakit? Kan aku udah bilang jangan dipaksain."
"Maaf.." Kataku dengan manja.
"Bayu, apa kamu kenal dengan anak pemilik rumah sakit itu?"
"Tidak, aku tidak mengenalnya. kenapa?"
"Dikantin selalu saja ada yang membicarakannya, aku jadi penasaran."
"Kamu tidak boleh mengenalnya apalagi bertemu dengannya, nanti aku cemburu." Candanya.
"Apa? Cemburu? Aku kira anak itu perempuan."
"Tidak, dia itu laki-laki."
"Kamu tadi bilang tidak menganalnya."
"Iya, aku hanya tahu bahwa dia laki-laki." Jawabnya tenang sambil melanjutkan menyuapiku.
Bayu, kamu benar-benar berbohong padaku sekarang. Wajahmu yang berubah tenang tadi, kamu pasti tahu aku sudah mengetahui bahwa kamu berbohong padaku. Apa yang akan kamu lakukan Bay? Tidakkah kamu akan mengatakan yang sebenarnya saja sekarang?
"Ayo kita tidur, aku lelah." Katanya saat mangkuk bubur itu kosong.
Ia mematikan lampu dan berbaring disebelahku. Tidak seperti malam sebelumnya. Tubuhnya menghadap ke arah berlawanan dariku. Ia juga tak memelukku untuk menenangkanku, padahal aku sedang sakit. Menatap punggungnya yang datar membuatku kasihan padanya. Kudekatkan tubuhku padanya sambil membagi selimut untuknya dan memeluknya dari belakang. Aku berkata dalam hati 'Maaf Bayu, aku harus mencari kebenarannya sendiri, karena kau tak memberitahuku. Maaf jika ini menyakitimu'
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Namaku Fina(Sekuel Kisah Elang dan Kak Fina)
Teen FictionSiapa aku sekarang? dan siapa aku sebelumnya? Aku bahkan harus menghafal namaku sendiri seharian penuh. Lalu berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk mengenali diriku. Dan juga sosok itu. Lelaki penyuka kopi yang selalu bersandar di bingkai jendela t...