Tulisan itu bukan tulisan tanganku. Aku juga hampir tak bisa mempercayai setiap kata yang ada dalam surat-surat itu. Kisahku dengan Elang, sudah sepanjang ini? Aku tak percaya, ingatanku akan menyakitiku. Semua kejadian yang terkisahkan oleh lembar demi lembar surat ini, sulit untuk ku percaya. Bukan, sulit untuk membuat aku ingin percaya. Sejujurnya aku percaya, hanya saja aku tak mau. Hatiku tak ingin menerima kepercayaan itu. Akan berat rasanya jika menerima dan percaya.
Jantungku berdetak lebih cepat, membuat wajahku menjadi memerah seakan menahan setumpuk kepedihan yang tak bisa diredam. Disampingku, Elang berdiri tegang. Tangannya memegang pagar merah jembatan dengan erat. Sesekali menundukkan kepalanya, menyesal.
"Kak?"
Aku berpikir sejenak. Hingga satu tetes air mata jatuh ketika kuhadapkan wajahku didepan wajah khawatir Elang.
"Lang."
"Kamu ingin membalasku? Makanya kamu menyerahkanku pada Bayu?"
"Apa?! Apa yang kakak pikirkan? tentu saja bukan seperti itu kak!"
"Aku ingat, aku memang hampir mati.."
"Kak.."
"Dan kamu memohon aku untuk melakukan operasi!"
"Iya..."
"Aku menurutinya!"
Elang menunggu. Aku memberi jeda untuk dadaku bernapas. Memberi waktu untuk bersiap mengeluarkan amarahku.
"Aku menurutinya! Tapi kamu malah meninggalkan aku! Kamu ingin balas dendam padaku kan?!"
"Kakak!!" Elang berteriakn lebih kencang dari suara amarahku.
"Aku bilang bukan begitu!"
Namun aku tak kalah dengan teriakannya. Aku memandanginya penuh rasa kecewa. Kecewa yang lebih dalam dari kekecewaanku sebelumnya, ketika ia berbohong padaku.
"Kita impas. Mari tidak bertemu lagi."
"Berhenti berpikiran tentang balas dendam dan impas kak! Kita menyakiti satu sama lain bukan dengan sengaja! Apa kakak pikir perasaanku baik-baik saja ketika kakak bilang tidak mengenalku?! apa kakak pikir perasaanku baik-baik saja ketika aku berkata kita tidak usah bertemu lagi?! Apa kakak pikir perasaanku baik-baik saja ketika kamu bahkan tidak tahu namaku?! Memangnya Elang ingin ini terjadi? engga ka...."
Ia meneriakiku tanpa henti. Namun aku sudah lelah dan tak bisa berpikir apapun selain merasakan kecewa dan berputus asa akan kebahagian menemukan keluargaku.
"Pulanglagh.." Kataku dengan lelah.
"Ka..."
"Elang, kamu pulanglah." Kuulangi kali ini lebih tegas.
"Maafin aku, kak.."
"Aku yang salah! Kenapa kamu minta maaf?!"
"Itulah sebabnya kenapa kamu tidak harus mengingatnya!" Ia kembali meneriakiku.
"Karena kamu selalu menyalahkan dirimu..." Lanjutnya
Fina terdiam, mulai ingin memahami.
"Ayo kita hidup seakan-akan tak pernah ada surat-surat ini." Kata Elang sambil merampas surat-surat itu dari tanganku.
"Bisakah?" Tanyaku penuh keraguan dan ketakutan.
Elang merobek surat-surat itu depan mataku yang basah. Mataku malah semakin dibanjiri air mata menatap adikku, Elang.
"Apa tak apa? Jika aku melupakannya?"
"Tentu saja kak, berhenti menatap ke belakang."
Aku menangis, karena terharu melihat adikku yang bersikap dewasa. Mampu memaafkan kakak yang penuh dosa ini. Yang telah banyak memberinya luka dan malah hilang ingatan. Memarahinya karena menjagaku dari rasa bersalah.
"Apa tak apa?" Kuulangi pertanyaanku dengan lirih.
"Elang...." Kataku sambil diiringin rintih tangisku yang menjadi. Elang menghampiriku dan memelukku.
"Tak apa..." Katanya lembut sambil membelai punggungku yang bergetar.
Diatas jembatan, diiringi suara aliran sungai, dibawah langit jingga senja, didalam pelukan adikku, hatiku menyerah untuk menahan lagi tangis. Atas rasa bersalah dan kerinduan. Atas rasa dendam yang tak seharusnya. Juga atas rasa haru memiliki Elang, sebagai adikku. Dengan hatinya yang luas, dan dekapannya yang nyaman. Menjadi satu-satunya tempat pulang teraman dan ternyaman.
Aku bisa saja gila mengingat rasa bersalahku. Namun penerimaan Elang membuatku waras dan merasa dikasihi. Berada untuknya agar tidak melukainya adalah alasanku untuk tidak lagi putus asa atas hidupku.
Terimakasih telah lahir dengan hati yang luas dan menjadi adikku yang manis. Ingatanku belum sepenuhnya kembali, namun aku percaya sudah sejak lama aku mengucapkan syukur atas kehadiranmu tanpa henti.
Aku Fina, kakak Elang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Namaku Fina(Sekuel Kisah Elang dan Kak Fina)
Teen FictionSiapa aku sekarang? dan siapa aku sebelumnya? Aku bahkan harus menghafal namaku sendiri seharian penuh. Lalu berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk mengenali diriku. Dan juga sosok itu. Lelaki penyuka kopi yang selalu bersandar di bingkai jendela t...