Tidak ada lagi butir-butir obat yang kubenci. Tidak ada lagi suntikan yang teras sakit. Tidak ada lagi waktu-waktu yang penuh bayangan mengerikan. Tidak ada lagi air mata tentang penyesalan. Tidak ada lagi hari-hari yang berjalan begitu panjang. Tidak ada, semenjak kita berjabat tangan malam itu. Dan pertemanan sederhana yang begitu berharga untukku. Bayu, ia mengubah semua kelam menjadi penuh harapan. Karena atau bahkan untuknya aku memperjuangkan hidupku. Beberapa waktu lalu yang penuh kepasrahan, kini berbalik menjadi penuh semangat. Aku tak lagi menyerah pada kankerku. Aku menjadi begitu berani menghadapi dan melawan penyakit ini.
Di waktu awal matahari terbit, aku sudah menyisir rambutku yang tipis dan menatap pintu kamar inapku. Tak lama langkah kakinya terdengar dan membuat wajahku berseri meski dengan bibir yang pucat. Ia datang dari balik pintu dan menghampiriku dengan mimik yang serupa denganku. Tubuhnya yang tinggi membuatku harus sedikit mengangkat kepala agar tetap bisa melihatnya.
"Waktunya kita minum obat!" Serunya ceria.
Aku menatapnya dalam setelah berhasil menelan beberapa butir obat.
"Nanti siang, dokter yang mengantarkan obat lagi kan?"
Ia mengangguk masih tersenyum.
"Aku akan menunggu." Kataku kemudian.
"Okey, sekarang istirahat yaa."
***
Di tengah hari aku sudah duduk diatas ranjangku. Menatap pintu itu seperti biasa.
"Siang Nona Fina." Katanya ramah setelah memasuki ruanganku. Namun suara lembutnya membuat wajahku mengkerut dan hatiku kesal.
"Dokter Bayu kemana?" Tanyaku setelah ia meletakan baki penuh obat diatas meja.
"Dokter Bayu diminta membantu Operasi korban kecelakaan." Jelas suster itu padaku.
"Baiklah, suster kembali bekerja saja, saya akan minum obat ini sendiri."
Ia lalu pergi, dan aku langsung telentang, kecewa. Obat itu belum kusentuh sama sekali. Tadi pagi ia sudah bilang akan kesini. Aku akan menunggunya. Aku ingin dia ada ketika aku menelan obat-obat itu. Agar pahitnya tidak terasa.
Satu menit. Setengah jam. Mataku masih terbuka. Satu jam. Dua jam. Tak sadar aku terlelap.
"Fin..." Suara itu datang bersama goncangan lembut dibahuku.
Mataku terbuka dan langsung mencari sosok yang ingin aku lihat.
"Kamu belum minum obat?"
Aku mengangguk. "Nungguin dokter." Kataku selanjutnya.
Ia duduk dan mulai menemaniku menghabiskan obat-obat itu.
"Aku gak bisa selalu tepat waktu dateng kesini, tapi kamu harus minum obat tepat waktu." Nasihatnya.
"Dokter bilang akan datang, jadi aku menunggu."
"Aku pasti datang, tapi kamu harus minum obat tepat waktu, okey?"
Aku mengangguk seperti anak kecil yang sedang dinasehati ibunya untuk tidak telat makan.
"Apakah pasien operasi tadi selamat?"
"Tentu, ia berada ditangan yang tepat."
"Kalau begitu, aku juga akan selamat, kan?"
"Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."
"Aku tidak punya keluarga, ketika aku siuman, apa dokter tetap jadi temanku?"
"Iya, aku juga pasti akan menjagamu."
Aku tersenyum lebar. Aku beranjak dari ranjangku dan membuatkan kopi sebagai hadiah.
"Ini hadiah untuk dokter, karena sudah mau menjagaku." Kataku polos.
"Tapi aku tidak suka kopi." Jawabnya.
"Dokter akan menyukai kopi setelah meminum buatanku."
Ia meneguk kopi itu sambil mengkerutkan dahinya. Aku tertawa.
"Rasanya tidak enak, kopi ini juga bisa membuat gigiku kuning. Tapi karena Fina sudah minum obat, aku akan menghabisinya." sungguh kalimat yang menghibur.
***
Ranjang beroda empat itu keluar dari ruang operasi. Ia melewatiku yang tak sengaja sedang mengelilingi rumah sakit. Ia dikelilingi orang-orang yang terisak. Kaki hingga ujung rambutnya ditutupi kain putih. Hatiku berdegup tak karuan. Seolah kejadian itu mimpi buruk yang menghampiriku. Memenuhi otakku dengan pertanyaan bagaimana jika nasibku seperti itu? Teregang nyawa ketika dokter-dokter membantuku diatas meja operasi. Apakah akan ada orang-orang yang mengiringi ranjang rodaku sambil terisak. Atau hanya akan ada suara roda yang berputar diatas lantai dengan petugas yang bahkan tak mengenalku.
Jangan, jangan Tuhan, aku ingin hidup, aku ingin hidup normal, aku masih ingin memiliki waktu bersama Bayu.
Aku terus-terusan memohon sambil terbirit tak ingin dikejar bayang-bayang mengerikan. Sampai kamar aku terjongkok masih memohon berulang-ulang hingga bibirku mengering. Tanganku gemetar sungguh takut membayangkan tentang dunia yang sepi dan sendiri. Air mataku sudah mampu membasahi celana bagian lutut yang kujadikan penutup muka.
"Tidak, tidak, itu takan terjadi." Ucapku pada diri sendiri, entah berapa kali.
Menggeleng-geleng sendiri sambil terisak. Beberapa saat kemudian seseorang membuka pintu dan segera menghampiriku.
"Fin, kamu kenapa?" Tanyanya dengan nada yang tinggi dan cepat, secepat langkah kakinya barusan.
Tak sadar aku langsung meraih tubuhnya dan meletakan kepalaku didadanya.
"Aku tidak mau mati, aku tidak mau sendiri." Isakku.
"Fina... Fina... Aku masih disini, buat kamu." Katanya lembut, meyakinkanku.
Tapi aku malah menatapnya curiga, aku melangkah mundur dari tubuhnya sambil menggelengkan kembali kepalaku.
"Enggal!" Teriakku.
"Dokter hanya kasihan padaku!" Lanjutku.
Tak menunggu lama, ia dengan cepat menghampiriku dan menarik tangan kiriku.
"Engga!" Bentaknya, "Lihat ini!" Perintahnya setelah mengambil sesuatu dari saku jasnya.
Aku diam seketika, menatap benda itu.
"Ini cincin, ayo kita menikah. Kamu tidak akan sendiri."
"Menikah?"
Bukan perkataan mudah. Bukan pula ucapan yang pernah kubayangkan aku sanggup mendengarnya. Aku menatapnya penuh haru. Sikapnya membuat semua ketakutan tak terbayang lagi.
"Iya, kita saling mencintai kan?" Tanyanya tanpa ragu.
Aku mengangguk, "Kita saling mencintai..." Kataku pelan, mengulangi perkataannya.
"Kamu akan memilikiku dan mempercayaiku." Tegas Bayu.
"Jika aku tidak selamat, apa kamu akan menangis untukku." Tanyaku.
"Aku akan menangis untukmu seakan aku tak memiliki sebagian dari diriku hingga dunia tahu seberapa berharga dirimu untukku."
"Janji?"
"Ya, ayo kita menikah dan kamu berjanji untuk menjalani operasi."
Kuseka air mata, dan mengangguk padanya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Namaku Fina(Sekuel Kisah Elang dan Kak Fina)
Teen FictionSiapa aku sekarang? dan siapa aku sebelumnya? Aku bahkan harus menghafal namaku sendiri seharian penuh. Lalu berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk mengenali diriku. Dan juga sosok itu. Lelaki penyuka kopi yang selalu bersandar di bingkai jendela t...