Berdamai dengan Elang belum membuat ingatanku pulih seutuhnya. Termasuk pertanyaan terbesarku, yakni tentang Bayu. Lelaki itu, mengapa bisa menjadi suamiku? Aku masih belum mengingatnya, apakah karena rasa yang nyata? atau hanya karena rasa ibanya padaku yang tidak berwali setelah kehilangan ingatanku.
Meski selalu bertanya tentang bagaimana kisahku dengannya bermula, dan menumbuhkan banyak keraguan dan kekecewaan, aku masih tetap saja merindukannya. Atas hari-hari dimana rasanya aku tak akan lagi mempedulikan masa laluku. Dan ia dengan senang hati memberikan hidupnya untuk mendampingiku dengan segala kerepotan yang kuberi. Saat itu semua seperti akan baik-baik saja. Sampai akhirnya aku tahu ia membohongiku. Dan tak ada yang bisa kulakukan selain meninggalkannya. Setidaknya aku harus melakukan itu, walau aku sendiripun sebenarnya terluka atas apa yang aku putuskan. Tapi itulah yang harus aku lakukan jika seseorang yang aku percayai telah membohongiku. Agar ia juga merasakan luka seperti yang aku rasakan.
Tapi kemudian aku harus bertanya lagi, benarkah ia juga merasakan luka sepertiku? ketika sekarang aku merindukannya, apakah begitu pula dengannya? Yang terakhir kuingat adalah wajah penyesalannya ketika aku beranjak meninggalkannya. Apakah wajah itu akan terus berkembang menjadi wajah yang bersedih. Meriindukan istri yang tidak sengaja ia lukai? Mencintainya namun malah menyakitinya? atau ia hanya akan merasa bersalah telah berbohong pada wanita malang sepertiku?
Memikirkan satu nama, Bayu. Melahirkan terlalu banyak pertanyaan yang tidak tahu bagaimana menemukan jawabannya. Haruskah aku menghubunginya? atau cukup diam saja. Haruskah aku datang dan memarahinya? atau melupakannya saja? Pertanyaan kian menumpuk membuat semua menjadi semakin sulit dipahami.
***
BRUKKK
Suara keras berasal dari kamar Bu Endah membuatku meninggalkan makanan yang sedang kumasak diatas kompor. Kakiku geetar tak karuan, takut akan hal yang terjadi.
"Bu Endah..." Panggilku pelan.
Kubuka pintu kamarnya sedikit demi sedikit disertai rasa khawatir.
"Ibu!!" Teriakku seketika melihat tubuhnya tergeletak.
Aku panik tak tahu harus berbuat apa. Akhirnya aku menelpon Bayu, tanpa disengaja. Akibat rasa khawatir yang membuatku tak lagi bisa melakukan sesuatu dengan berpikir panjang.
Bayu mengatakan akan meminta ambulan ke tempatku dan membawanya ke rumah sakit. Bayu meminta pihak UGD untuk menyampaikan Bu Endah sebagai pasiennya.
***
"Bu Endah hanya perlu istirahat." Ujar Bayu, menenangkan aku yang panik.
Aku mengangguk tanpa berkata apa-apa. Aku menatap kaki bayu sambil tertunduk. Aku ingin melihat matanya tapi entah kenapa aku tak bisa. Aku malah meneteskan air mata karena itu. Memikirkan Bu Endah dan mengingat kekecewaanku pada Bayu membuat hatiku tak mau lagi menahan tangis.
"Fin.." Panggilnya lagi, tanpa beranjak dari hadapanku sejak tadi.
"Pulanglah, biar Bu Endah aku yang jaga."
Aku mengangguk. Segera ku seka air mata dan berbalik. Namun ia kembali memanggil namaku ketika jarak kita lima langlah jauhnya.
Ia berlari kecil menghampiriku.
"Pakailah." Katanya sambil memberikan jaket miliknya. Aku terdiam melihat perlakuaannya padaku.
"Diluar dingin." Lanjutnya sambil menarik tanganku dan menyimpan jaket itu diatasnya. Ia tak menungguku mengatakan apa-apa. Ia langsung pergi dan tak terlihat lagi.
Sementara aku perlahan memakai jaket itu pada tubuhku yang dingin dan sedikit gemetar. Sebenarnya aku masih menahan tangis, apalagi ketika ia menarik tanganku. Yang aku inginkan aku juga menarik tangannya dan masuk kedalam pelukannya. Tapi tubuhku tidak melakukannya. Rinduku menjadi geram dan menyiksa hatiku.
Aku berjalan sendiri sambil memeluk diri sendiri dengan jaket Bayu yang aromanya membuatku tidak bisa berhenti memikirkannya. membuat wajah dinginku yang diterpa angin malam merasakan hangat tetesan yang jatuh dari dalam mata. Sampai di rumah Bu Endah aku meringkuk diatas kasur sendiri dan mengeluarkan semua tangisku yang terlalu lama ditahan.
Aku menangis. Tanpa berhenti. Membiarkan dadaku berteriak tentang pilu-pilu yang belum juga terselesaikan.
***
"Nih." Kataku sambil mengembalikan jaket yang kupinjam beberapa hari lalu, masih tanpa menatap matanya.
"Aku akan membawa Bu Endah pulang hari ini."
Bayu mengangguk dan menerima jaket yang sudah kulipat rapih. Entah bagaimana aku tetap tidak menatapnya hingga membelakangi orang yang kutangisi dalam malam-malam kemarin.
"Fin.." Katanya, mengehntikan langkahku yang sebenarnya tidak ingin aku hentikan. Beberapa bagian dari diriku masih belum siap untuk menghadapinya. Bahkan aku belum bisa menempatkan perasaanku. Apa aku merindukannya atau membencinya. Mana yang harus kupilih ketika kedua perasaan itu sama-sama kuat.
"Maafin aku, aku..."
"Sudahlah," Kataku memotong kalimat yang sepertinya sudah susah payah ia susun sejak semalam.
"Aku sedang tidak ingin mendengar apapun." Lanjutku.
"Tapi Fin.." Langkahku lagi-lagi terhenti karena ia masih melanjutkan apa yang sedang tidak ingin aku lakukan. Aku masih bingung dan tidak siap, dan itu membuatku marah.
"Bayu!" bentakku sambil akhirnya mebalikkan badan dan menatapnya.
"Kamu pikir aku sedang dalam keadaan siap mendengar penjelasanmu?"
"Kenapa?" Ia masih tak ingin berhenti.
"Kamu selalu memintaku memberitahu semuanya, sekarang kau menghentikanku saat aku akan melakukannya." Lanjutnya.
"Kamu tidak tahu apapun tentangku!" Bantakku lagi. Dengan dada yang panas karena berusaha untuk menahan tanganku yang ingin memukul-mukul dadanya.
"Kamu hanya tempat penitipan agar aku aman dari ingatan masa laluku yang mengerikan!" Teriakanku semakin keras hingga terlalu sulit untuk tidak mengeluarkan air mata.
"Benarkah?" Tanya Bayu sambil selangkah mendekati tubuhku yang tidak ingin kutegakan lagi.
"Begitukah aku untukmu?!" Kali ini Bayu membentak lebih kejam. Tidak seperti Bayuku yang manis ketika dirumah itu. Tidak. Sama sekali berbeda. Membuatku tertegun. Berpikir ada apa dengannya? Apa yang baru saja kukatakan apakah terlalu menyakitinya?
"Jika begitu, apa arti ucapan 'i love you' kamu di Cikapundung itu?" Bayu masih menancapkan tatapannya di permuakaan mataku.
"Itu bukan ingatan, aku tak ingat pernah mencintaimu. Dan seperti yang kita tahu, perkataan itu adalah wujud dari perasaan keputus-asa-an ku." Kataku perlahan namun dengan tekanan yang dalam agar dia mengerti.
Bayu mengangguk dengan keras dengan kaki yang perlahan mundur membuat tubuhnya menjauh dariku. Aku takut dengan apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Apakah ia akan melepaskanku sekarang? Membayangkannya membuatku takut.
Bersama dengan perasaan takutku, ia mengambil sesuatu dari dalam saku jasnya.
"Ini kunci ruang inapmu ketika kamu dirawat."
Kunci yang dia angkat membuatku tak sedikitpun melepas pandanganku.
"Aku tidak tahu apa yang akan kamu temukan disana. Mungkin ingatan-ingatan kecil yang bisa melengkapi puzzle ingatan masa lalumu."
Aku tak bicara sedikitpun. Bayu pergi dari hadapanku setelah meletakan kunci itu ditelapak tanganku.
Aku begitu ingin pergi kesana untuk menyempurnakan ingatanku, termasuk tentang Bayu. Pertanyaanku selama ini tentang 'bagaimana aku bisa hidup bersamanya' , 'bagaimana awal kisah kita?' dan 'bagaimana aku bisa mencintainya' mungkin akan terjawab disana.
Sambil menatap kunci itu, aku berharap, semoga aku memang benar mencintainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Namaku Fina(Sekuel Kisah Elang dan Kak Fina)
Teen FictionSiapa aku sekarang? dan siapa aku sebelumnya? Aku bahkan harus menghafal namaku sendiri seharian penuh. Lalu berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk mengenali diriku. Dan juga sosok itu. Lelaki penyuka kopi yang selalu bersandar di bingkai jendela t...