Jarak : 02

10.3K 1.2K 38
                                    

"Ra, lo denger gue kan? Dipanggil Pak Budi di Lab Biologi,"

Rara merasakan sebuah panah menancap di dadanya. Suara itu. Masih sama namun berubah.

Rara juga tak mengerti perasaannya. Bagaimana suara yang dihasilkan seseorang dengan identitas yang sama dapat berubah?

Rara tak mendapati kehangatan dari suara tersebut.

"Iya, gue denger. Bentar lagi gue kesana," ucap Rara berusaha tak peduli. Namun hatinya berkata lain. Hatinya masih peduli terhadap cowok yang baru saja memberitahukan soal Pak Budi yang menunggunya.

Hatinya masih menyayangi cowok itu.

"Oke," sahutnya sambil memakai jaket biru kesayangannya. Jaket biru tua yang simpel dan sederhana. Hanya ada tali seperti jaket pada umumnya yang berwarna putih. Lalu, cowok tersebut menyampirkan tas abu-abu ke pundaknya dan memasukkan kedua tangannya ke kantong celana.

Kemudian begitu saja.
Cowok berjaket biru tua itu berlalu dari hadapan Rara. Tanpa sedikitpun tambahan kata. Tanpa sedikitpun rasa peduli.

Bodohnya, hati Rara masih berpihak pada seseorang yang ia 'izinkan' untuk menyakiti hatinya.

Bodoh.

Lihatlah, bahkan cowok berjaket biru itu tak sedikitpun menoleh ke belakang untuk menatap Rara.

Ini yang menurut Abel 'dia tertarik sama lo'?!

Rara menatap jaket biru itu dengan nanar. Tiba-tiba berharap untuk mengulang waktu.

Bukan untuk memperbaiki apapun. Hanya untuk merasakan kehangatan Aldo untuk yang kedua kalinya.
Karena ia tahu,
Bukan ia yang berhak memperbaiki semua kekacauan ini.

Namun ia tak menyalahkan cowok berjaket biru tua itu. Dirinya justru menyayangi cowok itu.

Terkadang kita memang terlalu bodoh dengan mencintai seseorang yang bahkan tak peduli dengan kita. Yang bahkan telah menyakiti kita.

Ya, terkadang cinta se-irrasional itu.
Rara sudah tahu dari awal.

Tapi salahkah, bodohkah jika Rara masih berharap?

{#1} JARAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang