Jarak : 14

6.4K 865 14
                                    

"Ra, pinjem catetan lo, dong!" panggil Rafi sambil menarik ujung tas Rara.

Rara menoleh dengan kesal. Ia merasa terganggu karena sedang merapikan lokernya yang cukup berantakan.

"Pasti gak nyatet lagi," sahut Rara sambil mengeluarkan buku catatannya. "Nih,"

Rafi mengambil buku catatan Rara kemudian berkata, "Baik banget lo, Ra. Makasih ya,"

"Ya," sahut Rara malas. Kemudian ia kembali melanjutkan kegiatan merapikan lokernya lagi.

"Eh," kata Rafi tiba-tiba. "Pulang sekolah ada waktu gak?"

Rara menghentikan kegiatannya dan menoleh, "Mau ngapain? Perlu gue ajak Abel lagi?"

Wajah Rafi memerah, "Gak. Gak perlu. Lo aja yang ikut."

"Hah? Jadi berdua aja, nih?" tanya Rara dengan ragu.

Males amat berduaan sama Rafi. Ntar gue dikira makan temen, batin Rara dalam hati.

"Ih, Ra. Dulu juga kita sering jalan berdua doang," sahut Rafi. "Waktu kita tetanggaan dulu, sih."

"Betul juga,"

***

"Sebenernya gue sedikit gak terima, sih. Ternyata gue diajak cuma buat ngajarin lo Fisika," ucap Rara setengah kesal. Kalau Rara boleh jujur, tawaran Rafi untuk mengajaknya makan dan minum disini menarik juga.

Karena Rafi yang bayar. Kalau Rara bayar sendiri sih, rasanya makan di Warung Bu Nur yang berada di belakang sekolah lebih baik. Terutama ayam penyet favorit Rara.

Namun, sekali lagi, karena Rafi yang membayar segala makanan dan minuman, Rara sih oke-oke saja. Walaupun ia sebenarnya malas sekali mengajari Rafi.

Sekarang mereka berada di cafe yang tidak jauh dari sekolah. Harga makanan dan minuman di tempat itu tidak terlalu mahal. Pas untuk kantong anak SMA.

Walaupun begitu, Rara akan tetap memilih ayam penyet di Warung Bu Nur.

Design ruangannya juga menarik. Agak berbeda dengan cafe pada umumnya. Warna dinding didominasi dengan kotak-kotak hitam putih. Di setiap dinding ditempel beberapa foto polaroid secara asal-asalan. Namun disitulah letak keunikannya. Di setiap tempat duduk juga terdapat jendela dengan ukuran agak panjang dengan hiasan pot bunga di bawahnya.

Rara sering berkunjung ke cafe ini. Bersama teman-teman dekatnya. Terkadang mereka hanya memesan minum, kemudian menghabiskan sisa waktunya dengan berfoto.

Tapi, Rara tidak pernah datang ke sini untuk belajar. Apalagi mengajari orang.

"Berbagi itu baik," sahut Rafi dengan singkat. "Eh, Ra. Yang ini tadi rumusnya gimana?"

"Kenapa lo lupa mulu sih?" kata Rara dengan nada jengkel. Ia menatap soal yang ditunjuk oleh Rafi, "Kayaknya gue baru jelasin deh,"

"Kalo gue gak lupa, gue gak bakal nanya, Ra," sahut Rafi tak mau kalah. "Habis gue selesai semua dan lo bantu dengan senang hati, gue mesen tambahan cappucino buat lo."

"Nah gitu, dong. Mantep," komentar Rara sambil tertawa.

Rara diam-diam memerhatikan raut wajah Rafi ketika sedang mengerjakan soal. Wajah Rafi terlihat sok serius saat mendengarkan penjelasan Rara. Saat menemui soal yang agak rumit, dahinya berkerut dan terkadang ia malah menggigit pensil.

Aneh.
Tapi Rara menikmatinya. Mengamati wajah Rafi ternyata tidak membosankan.

"Ra," panggil Rafi. "Tentang Aldo.. Lo masih sayang?"

Rara terdiam. Ia menyangka Rafi memanggilnya untuk bertanya rumus. "Iya."

"Walaupun Aldo suka Lala?" tanya Rafi dengan nada tidak percaya.

Hati Rara mencelus. Kenapa Rafi malah menanyakan hal seperti ini?
"Is that true?" tanya Rara ragu. Ia tidak ingin mendengar jika jawabannya iya.

"I don't know. But that's what people say." kata Rafi sambil menggelengkan kepala. "Tapi gue gak percaya sih"

Rara terdiam. Matanya menatap gelas cappucinonya yang sudah kosong tiga perempatnya.

"Ra, lo gak nyari beasiswa buat sekolah ke luar negeri gitu? Atau lo mau kuliah disini?" tanya Rafi berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Hmm.. Belum tau," jawab Rara pelan. "Mungkin nanti nyari. Tapi entahlah, gue gak tau."

"Lo masih berharap bareng sama Aldo lagi?" tanya Rafi. "Lo tau kan kita gak bisa jadiin hal yang gak pasti sebagai pertimbangan buat lanjut ke mana?"

"I knew it. Lagian gue juga gak terpikir buat bareng lagi," sahut Rara dengan asal.

Rafi menatapnya sebentar kemudian menatap ke luar jendela. Sementara itu, Rara menatap cappucinonya yang sudah hampir habis.

"Raf, jangan lupa jatah cappucino gue ya," kata Rara. Namun Rafi tidak merespon. Masih menatap ke luar jendela.

"Raf? Rafi?" panggil Rara berulang-ulang. Rara mengikuti pandangan Rafi. "Raf, lo ngapa--"

Rara terdiam. Hatinya bagai tertusuk-tusuk. Ia tidak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang.

"Ra? Yah lo udah terlanjur liat ya?" tanya Rafi dengan nada bersalah.

"Raf, do you think he likes her?"

Rafi terdiam. Membiarkan gadis di hadapannya menyimpulkan sendiri apa yang ia lihat.

***
Halo!! Jadi sebenernya awalnya cerita ini dibuat berdasarkan pengalaman pribadi (kayak curhat dong?!). Tapi makin ke sini rasanya makin tidak seperti kenyataan. Tapi gak masalah sih biar gak terlalu kayak curcol HEHE

Sorry for the typo(s) and don't forget to leave ur vomments❤️

{#1} JARAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang