Jarak : 13

6.4K 885 30
                                    

"Apa lagi, Dit?" tanya Rara dengan nada jengah. Ia sudah lelah dengan semua yang berkaitan dengan Aldo.

Sudah lelah, namun masih berharap.

"Lo mau denger, Ra?" tanya Adit untuk memastikan.

Rara berpikir sejenak. Bagaimana jika ini kabar baik? Bisa saja kan? Jika yang akan Adit sampaikan memang kabar baik, ini akan berpengaruh pada kehidupan Rara.

Bagaimana jika sebaliknya?

Bukankah apapun yang Adit katakan tidak akan mengubah Aldo? Bukanlah pada akhirnya Aldo juga akan tetap diam bagaikan batu?

Rara memilih tidak.
"Kayaknya gue gak mau denger lagi, Dit," ucap Rara pelan. "Gue capek, Dit. Gue capek berharap. Semua ini udah nguras tenaga gue. Lo tau kan, Dit? Gue selalu cerita ke lo tentang itu."

Adit terdiam. Ia tahu seberapa dalam perasaan Rara pada Aldo. Ia juga tahu bagaimana perasaan Aldo yang sebenarnya.

Tapi Rara tidak mau tersakiti lagi. Adit tahu itu memang yang terbaik. Adit tahu pilihan Rara untuk tidak mendengarkannya adalah yang terbaik. Adit menghargai itu.

Setidaknya, Adit tidak perlu memberi tahu Rara tentang apapun.

"Ra, lo bisa cerita apapun ke gue kok. Kalo lo ada cerita tentang Aldo lagi, cerita aja. Gak perlu nangis malem-malem buat cowok kayak Aldo, Ra,"

"Lo jelekin temen lo sendiri?" kata Rara penuh dengan tanda tanya. Cowok kayak Aldo? Maksudnya?

"Bukaan. Cuma pengen bilang kalo dia kadang terlalu pengecut buat ngakuin perasaan dia sendiri. Dia selalu berusaha nyembunyiin. Mungkin aja, lo berhak dapet yang lebih baik," jelas Adit sambil tersenyum.

Rara juga tersenyum balik. "Thanks, Dit. Walaupun lo kadang nyebelin banget tapi ternyata bisa baik juga,"

Adit tertawa, "Yaiyalah. Oh iya, kalo di sekolah, kita tetep kayak biasa ya,"

"Tetep keliatan kaya gak kenal?" tanya Rara sambil tertawa kecil. "Sudah biasa."

"Tetep aja lo bisa curcol ke Rafi," kata Adit sambil menyendokkan es krim ke mulutnya. "Walaupun lebih seru curcol sama gue,"

"Sejujurnya, iya. Mungkin karena lo lebih tau Aldo?"

Senyum Adit perlahan memudar. Apa selama ini ia hanya dimanfaatkan untuk masalah Aldo? Bagaimana jika pada akhirnya Rara bersama Aldo? Bagaimanakah nasibnya?

Rara yang menyadari perubahan raut wajah Adit cepat-cepat menambahkan, "Maksud gue bukannya gue manfaatin lo juga, Dit. Emang lebih seru curcol sama lo soalnya lo lebih serius nanggapinnya. Kalo Rafi, ujung-ujungnya dia bahas Abel."

Adit tersenyum kembali. "Ya. Jadi lo tetep harus cerita apapun ke gue. Tapi di sekolah tetep kaya orang gak kenal ya."

"Gak separah itu juga dong, Dit. Boleh gak sesekali gue nyapa lo?" tanya Rara. Dirinya selalu bingung mengapa Adit ingin mereka bersikap seolah-olah tidak saling mengenal saat berada di sekolah.

Adit terdiam sesaat. Di sisi lain, ia juga ingin disapa Rara. Ada bagian kecil dari hatinya yang juga ingin mengobrol dengan sahabatnya itu. Tapi gue harus jaga perasaan yang di sana.

"Yah, nanti sesekali gue nyapa lo deh. Intinya, lo tetep harus cerita apapun ke gue. Terutama soal Aldo,"

Rara tersenyum puas, "Siap, Bos! Tapi kayaknya, gue udah gak pengen denger soal Aldo lagi, deh, Dit."

"Lo nyerah?"

Rara menggelengkan kepalanya. "Mungkin gue masih ada perasaan sama dia. Tapi gue gak pengen berharap lagi. Cukup ngeliat dia dari jauh aja."

Adit melamun sesaat. Ia tahu betul, kali ini perasaan Rara lebih dalam daripada sebelumnya. Seandainya gue gak terlambat, Ra.

***
Sorry for the typo(s) and don't forget to leave your vomments❤️❤️

{#1} JARAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang