"Pagi, Potters!"
"Pagi, Daddy!"
Tiga anak di bangku ruang makan masing-masing berseru kalimat yang sama. Disampaikan pada orang yang sama pula. Tidak hanya ketiga anak tadi, seorang wanita berambut cokelat berombak mengalihkan perhatiannya sejenak dari memasak waffle di balik partisi yang memisahkan antara ruang makan dan dapur.
Mata hazelnya melebar melihat suaminya muncul juga di ruang makan. "Aku kira dia akan bangun siang," batinnya. Ia tersenyum sambil memperbaiki anak rambutnya yang terburai mengganggu pandangan.
Harry mengecup satu persatu kepala putra-putrinya dan menghilang masuk ke dapur. Ia harus menemui Hermione sebelum duduk menyantap sarapannya. Akibat menyelesaikan tugas dari Kementerian yang menyita waktu istirahatnya semalam, pagi ini Harry bangun kesiangan. Ia baru bisa tidur menjelang subuh tadi. Saat terbangun, sayang sekali, Harry hanya bisa melihat jendela kamarnya yang sudah terbuka tanpa bisa mengagumi wajah damai istrinya ketika masih tertidur seperti hari-hari biasa. Ia sendirian dengan jam dinding kamar menunjukkan pukul tujuh lewat sepuluh menit.
Mata Harry melihat sekilas siluet Hermione saat kepalanya menyembul keluar dari balik pintu dapur. "Pagi, sayang!" ucapnya setelah memastikan itu benar Hermione.
"Pagi, sayang!" jawab Hermione di sela mengecek panggangan wafflenya. "Aku kira kau akan bangun siang hari ini. Jujur padaku, tadi malam kau tidur jam berapa?"
"Jam setengah empat—"
"Dan kau sudah bangun lagi sekarang? Kau tak capek? Wajahmu pucat, Harry. Hei, jangan memaksa tubuhmu, Mr. Potter!"
Pertanyaan beruntun Hermione mengudara ke seisi dapur. Harry sudah terbiasa mendengar Hermione berubah cerewet jika mengenai kesehatan dirinya atau anak-anak. Waffle dari pemanggang sudah matang. Hermione bergegas mengambil piring dan menatanya di atas piring. Waffle-waffle itu bagian untuk dirinya dan Harry walaupun di meja makan masih tersisa beberapa buah milik anak-anak. Tentu saja bukan milik James. Anak itu tidak pernah menyianyiakan makanan di piringnya.
"Aku tak memaksa kuat, Mione. Aku memang terbangun sendiri. Dan jangan salah sangka dulu, semalam aku tidak hanya mengerjakaan tugas Auror, tapi juga merencanakan sesuatu untuk acara kejutan besok."
Kejutan? Hermione berbalik dan meletakkan wafflenya kembali ke meja dapur. "Kejutan apa?" tanya Hermione. Rasa takut menyerangnya seketika mengingat waktunya sudah semakin dekat.
Ulang tahun ke 11 Lily.
"Kejutan untuk ulang tahun Lily of course!"
Saking semangatnya, tak sadar suara Harry keluar cukup keras sampai Hermione cepat-cepat membungkam mulut Harry serta tak lupa, memberikan sedikit ancaman agar tidak membuat curiga anak-anak di ruang makan.
Kepala Harry mengangguk paham, "aku sudah menyiapkan kejutan untuk pesta Lily besok. Aku akan mengajak James dan Al ikut mempersiapkannya juga," lanjut Harry.
Air muka Hermione berubah. Ia tidak sedikitpun menunjukkan rasa bahagia. Hermione sangat mengingat esok tidak hanya hari ulang tahun ke 11 Lily, tapi juga hari kematian sahabatnya sendiri, mantan istri suaminya.
"Kita akan ke makam Ginny juga sebelum merayakan ulang tahun Lily, Mione. Ginny tetaplah ibu kandung dari anak-anak. Wanita yang pernah mengisi posisi penting dalam kehidupanku dan aku tak pernah melupakannya. Aku tahu kau sudah mengerti semua ini, jadi ketakutanmu setiap ulang tahun Lily tiba tidak perlu kau terus-teruskan. Tidak akan terjadi apa-apa," suara Harry melemah. Menenangkan.
Mata Hermione berkaca-kaca. Ya, ia sudah lama memahami itu. Tapi bukan itu yang membuatnya tampak tak suka mengingat hari esok. Tapi mengenai Lily. Ya, ia mengkhawatirkan Lily. Mengkhawatirkan Lily terutama setiap hari bahagianya. Ingatan Hermione kembali berputar pada kejadian sebelas tahun yang lalu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Would You Still Love Me the Same? (a Harmony fanfiction)
Fanfiction"Anak yang akan lahir itu akan menanggung kecerobohanmu!" Hermone membuat 'kesalahan besar' yang mengantarkannya bersatu dengan cinta sejatinya, Harry Potter. Mengantikan posisi Ginny di hati Harry dan ketiga anaknya. Dan kesalahan itu, Li...