3. Big Question

1.4K 137 5
                                    

Lily tampak gelisah. Ia memilih duduk diam di meja makan sambil menata piring dan menuang susu yang baru ia ambil dari lemari pendingin. Sejak bagun tadi, Lily terus berusaha mencari suratnya. "Suratku ada di mana, sih?" Hermione mendengar Lily terus bergumam pelan di sela-sela ia berusaha menemukan suratnya.

"Hei, kenapa diam saja, sayang? Kenapa tak bantu Mom di dapur? Nanti kau malah diganggu James dan Al, loh!" Harry memeluk tubuh Lily dan memeluknya. Namun tak ada respon dari Lily.

Muncul Hermione dari balik partisi dapur sambil membawa nampan berisi telur dan sosis goreng. Serta satu bungkus besar roti tawar yang belum dibuka segelnya. Ia lantas duduk dan ikut menenangkan gadis kecil itu. Hermione meraih satu tangan Lily dan mengusapnya pelan. Seperti saat ia pernah menenangkan Ginny tiap kali sahabatnya ia merasa sedih.

"Kita akan cari tahu di mana suratnya, sayang. Kalau perlu nanti Mom coba tanyakan ke Prof. McGonagall. Pasti ada kesalahan di Hogwarts," kata Hermione yakin.

Harry makin mengeratkan pelukannya pada tubuh Lily. "Tuh, Mom bilang apa. Nanti Dad juga akan minta bantuan teman-teman Auror Dad untuk ikut mencari surat Lily. Biar cepat ketemu," ujarnya menggoda.

"Daddy!" wajah Lily langsung cemberut.

Hermione memilih untuk melanjutkan acara memasaknya. Membiarkan Harry dan Lily memiliki waktu mereka berdua saja, saling bergurau dan bercerita satu sama lain. Dialog ayah dan anak perempuannya memang menyenangkan. Seperti Harry dan Lily sekarang.

Tawa mereka pagi ini kembali dibuat karena ulah Lily. Bagi Harry dan Hermione, Lily adalah puteri kecil mereka. Bentuk sikap manja Lily tetaplah cerminan betapa ia adalah anak bungsu yang selalu ingin dekat dengan orang-orang yang dicintainya. Apalagi dengan Harry, Lily paling tidak bisa lepas dengan sang ayah. Begitu juga Harry. Rasa sayangnya sangat besar pada Lily, tumbuh semakin besar saat ia kembali mengingat betapa bodohnya ia pernah menyia-nyiakan Lily hingga dua tahun.

"Kenapa senyum-senyum sendiri? Nanti gosong sosisnya. Kalau Lily nggak mau makan bagaimana?"

Harry sudah berada di dapur tanpa sempat Hermione menyadarinya. Pantas, Lily sudah sibuk bercanda dengan kedua kakaknya di luar, suara Harry sudah hilang.

"Tidak, hanya mengingat masa lalu," Hermione mematikan kompornya. Berbalik dan menatap wajah Harry penuh kekaguman. "Kau sudah berubah jauh lebih baik, Harry. Inilah kamu yang sebenarnya,"

"Itu adalah kesalahan terbesar yang pernah aku lakukan kepada anak-anak. Khususnya Lily. Aku sangat menyesal—"

Atmosfer dapur terasa hangat saat Harry mengatakan apa kesalahan yang pernah ia perbuat kepada James, Al, Lily, begitu juga terhadap mendiang Ginny. Harry menitikkan air matanya. Sang kepala Auror pun bisa merasakan betapa lemahnya ia jika menyangkut keluarganya. "Aku tak tahu akan jadi apa aku dan mereka jika kau tak ada, Mione," kata Harry lirih.

Jemari Hermione dengan lembut menghapus aliran air mata yang membasahi pipi Harry. "Tindakanmu dulu memang salah, Harry. Tapi itu masih bisa aku maklumi karena.. itu menandakan kau memang benar-benar mencintai Ginny—"

"Hermione," potong Harry cepat-cepat. Ia menurunkan tangan Hermione dari wajahnya dan menggenggamnya erat. "Maafkan aku kalau—"

"Tak perlu, Harry. Kau tak boleh melupakan Ginny. Sampai kapanpun. Aku akan berusaha agar Ginny tetap bahagia melihat kau dan anak-anak hidup dengan kesedihan yang dalam. Mencintai kalian seolah Ginny benar ada di sini,"

Lebih tepatnya mencintai Harry dengan tulus, itu yang dilakukan Hermione. Sejak dari rasa simpatinya untuk Harry dan ketiga anaknya, Hermione rela melakukan apapun demi memberikan kebahagiaan untuk keluarga kecil itu. Memberikan rasa cinta pada Harry yang telah kehilangan cinta sejatinya. Kehilangan yang menyakitkan. Membuat Harry gila bahkan sulit memikirkan hal-hal realistis.

Would You Still Love Me the Same? (a Harmony fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang