Chapter 8

9.9K 925 81
                                    

NOTE: This chapter contains some rada-ga-jelas contents. You have been warned. Oh, and yes. This chapter is unedited. There will be some errors here and there. So please be patient with that. Mwahahaha.

CHAPTER 8

HUJAN tidak segera mereda. Bahkan hingga tengah malam, mereka masih bisa mendengar hembusan angin yang sesekali disertai dengan sambaran petir. Sebagian barang penting milik Lydia sudah selesai dia kemasi. Sebagian yang lain masih berada pada tempatnya. Dia akan mengemasinya lagi keesokan harinya. Karena barang yang dia miliki cukup banyak, dia tidak bisa menyelesaikannya sekali kemas.

Lydia terlihat menengok ke arah jendela, mencoba mengamati derasnya hujan yang mengguyur. Sesekali dia menyeringai mengingat kejadian yang terjadi beberapa jam yang lalu.

Sudah dipukuli, tapi toh akhirnya juga tidak pindah hari ini.

Petir menyambar, membuat langit seketika terlihat terang.

Ingatannya lagi-lagi melayang beberapa jam ke belakang, ketika Lydia tiba-tiba saja merasakan bibir Nathan yang lembut menciumi bibirnya. Dia sempat mempertanyakan semuanya, tapi sampai sekarang pun, dia masih belum mendapatkan jawabannya.

Lydia mengangkat tangan kanannya dan meraba bibirnya dengan itu-

Rasanya aneh.

Tentu saja aneh! Dia belum pernah merasakan yang seperti itu. Ketika dia merasa takut setengah mati hingga kemudian, bam, seseorang menciumnya. Membuatnya merasa nyaman- meski hanya sebentar. Aneh sekali, sungguh aneh.

Wajahnya yang terkena sorot langit malam terlihat menengok ke arah pintu kamarnya. Keadaan yang sepi membuatnya tidak berhenti bertanya-tanya-

Apa yang sedang dia lakukan di sana?

Dia tidak lagi berbicara dengan Nathan setelah kejadian itu. Mereka seolah larut dalam pikiran mereka masing-masing. Ketika Lydia sudah selesai mengemasi sebagian barangnya tadi, dia berjalan ke ruang tamu untuk melihat Nathan. Laki-laki itu terlihat santai, duduk di atas sofa kecilnya sambil memainkan ponselnya. Nathan tidak mengatakan apapun, maka dia mengambil kesimpulan kalau memang waktu itu belum saatnya mereka untuk pergi. Lydia kemudian berjalan ke dapur, membuat beberapa lapis roti isi dan kembali ke ruang tamu untuk melihat Nathan, sudah berbaring di atasnya; tertidur nyenyak.

Lagi-lagi Lydia tersenyum sinis ketika mengingat semua itu.

Bergegas apa. Dih.

Menghembuskan nafas panjang, Lydia mengambil langkah menuju ke tempat tidurnya. Dia menyelipkan tubuhnya di antara selimutnya yang tipis dan mulai menutup matanya. Sambil mengunggu untuk benar-benar tertidur, Lydia mulai memikirkan hal lain-

Mungkin sebentar lagi harus membeli selimut yang super tebal.

Tanpa terasa, Lydia tersenyum tipis saat memikirkannya.

Ya, tentu saja. Selimut tebal.

Beberapa saat saja berbaring, dia ternyata sudah tertidur. Tubuhnya memang tidak bisa berbohong. Dia lelah sekali. Apalagi setelah kejadian yang dia alami beberapa jam yang lalu. Jadi ya begitulah, ketika kepalanya sedikit saja menyentuh bantal dia langsung tidak sadarkan diri.

Waktu tidurnya kali ini terasa nyaman sekali. Dia tidak banyak bermimpi. Dia juga tidak banyak bergerak; berguling ke sana kemari.

BUK. BUK.

Lydia tersentak, seketika terbangun dari tidurnya.

Apa itu tadi?

Dia baru saja mendengar sesuatu. Lydia menengok ke sekeliling. Gelap, tidak ada apapun. Dia berusaha untuk beranjak dari tempat tidurnya, hingga kemudian di saat itulah dia melihat sesuatu: bayangan hitam terlihat sedang mendekat ke arah jendelanya.

Sweet Dystopia [Discontinued]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang