NOTE: This chapter contains some swearings.
CHAPTER 13
KEMARIN Nathan tinggal hingga malam. Tidak lama setelah Lydia menyelesaikan materinya, dia pamit untuk pulang. Lydia begitu bersyukur karena tidak terjadi hal-hal yang aneh setelah kejadian tadi. Terlebih setelah Nathan tiba-tiba saja memojokkannya ke sudut ruangan.
Dia tidak mau terdengar seperti seseorang yang lemah. Tapi apabila boleh berkata jujur: dia kali ini takut. Benar-benar takut. Entah berapa lama lagi dia harus bertahan dalam keadaan seperti ini. Dengan Nathan yang selalu saja hadir di sisinya. Yang selalu saja berputar-putar dalam dunianya. Dia pasti akan terus merasa seperti ini- takut. Dan saat dia tahu dia tidak bisa melakukan apapun tentang itu, dia merasa sangat buruk terhadap dirinya sendiri.
Beberapa saat dia duduk di sofa: merenung. Lydia mencoba mengatur langkah dan menghitung berapa nyawanya sekarang.
Hmm. Dengan keadaannya yang lemah seperti sekarang ini?
Bisa dibilang nyawanya hanya tinggal dua.
Lydia masih bisa bertahan karena dua perihal: Nathan masih suka bermain-main dengannya. Entah apa itu intensinya, dia masih suka menjadikan Lydia sebagai mainannya. Menggantungnya ke sana, kemari. Mendatanginya setiap waktu. Nyawa cadangannya yang kedua ada di tangan temannya, Thomas. Ketika semua berjalan buruk, dia masih bisa pergi ke tempat temannya itu. Bersembunyi, menunggu saat yang tepat untuk melarikan diri. Sounds like a great idea.
Tapi bagaimana kalau semua tidak berjalan semulus itu?
Bagaimana kalau Nathan akan merasa bosan dan Thomas tidak sudi untuk membantunya?
Shit.
Lydia mendadak merasa begitu rendah. Perlahan dia ditampar keras oleh kenyataan bahwa dia tidak lebih dari sekedar benalu. Dia akan hinggap ke sana kemari, menghisap inti sari kehidupan milik orang lain, semata untuk menghidupi hidupnya sendiri.
"Calm. Stay calm. Pasti ada cara lain untuk bisa bertahan tanpa harus pulang."
Dan itu benar. Dia tidak boleh begitu saja pulang ke negaranya. Dia sudah berjuang cukup hebat untuk sampai di sini dan dia tidak akan pergi hanya karena masalah seperti ini.
"Tetap tenang..." Ucap Lydia sambil mencoba untuk mengatur pernafasannya.
Pertama, dia butuh perlindungan. Dia harus merasa aman untuk bisa berfikir jernih. Tapi bagaimana bisa dia merasa aman?
Senjata. Aku butuh itu.
Belajar karate atau bela diri yang lain mungkin memang ide yang bagus. Tapi setelah dipikir-pikir lebih lama, dia terlalu penakut untuk bertarung dalam jarak dekat. Bah... bertarung. Berada dalam radius berapa kilo saja pasti dia sudah merasa panik.
"Ok.. senjata."
Tepat di saat itu juga, dia tahu Thomas tidak akan membantu. Nah, dia terlalu berhati-hati. Tidak mungkin dia akan membiarkannya membawa senjata.
Berarti hanya bersisa satu nama di kepalanya:
"Alex."
Lydia segera meraih ponselnya. Log terakhir, click. Sebuah nomor asing muncul di daftar paling atas. Tanpa membuang waktu, dia lalu menyimpan itu dan segera mengiriminya pesan singkat.
Kita perlu bicara. Ini penting. L.
Delapan menit kemudian, sebuah pesan masuk. Ternyata sebuah balasan. Alex pada awalnya setuju untuk bertemu di rumahnya. Tapi karena, lagi-lagi, merasa paranoid, Lydia meminta untuk bertemu di tempat umum saja.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Dystopia [Discontinued]
RomanceLYDIA tidak pernah menyadari, bahwa membantu seorang laki-laki yang tergeletak penuh luka di samping rumahnya, akan membuat hidupnya menjadi sulit. Semua mulai menjadi rumit, ketika dia tahu bahwa laki-laki itu adalah anak dari seorang konglomerat b...