Liam: Epic Cliche

701 38 31
                                    

Sinar cahaya matahari menerobos pintu gelap yang menghalau indah diantara aku dan dirimu. Aku memerhatikan dengan seksama apa yang terjadi sebenarnya. Kegagalan yang aku peroleh bukan berarti aku harus berhenti saat ini. Aku menengokkan kepalaku kepada dirimu. Seseorang yang selalu ada untukku selama ini. Tersenyum rupawan dan kini kau harus menjauh dariku. Apa yang telah kupikirkan selama ini? Kematian yang memisahkan kita? Total bullshit! Darling, kita belum menghabiskan sisa-sisa usia kita di pinggiran pantai Carribean seperti yang kau katakan pada waktu lalu. Kita belum sempat menghabiskan pie apel buatanmu yang terkenal itu. kita belum mengunjungi  kota tua Petra dan kau berdiri di tengah-tengah padang pasir untuk meneriakan kata  I do untuk menjawab pertanyaanku...  will you marry me?. Yang sempat aku lakukan hanyalah mencium keningmu sebelum kau tertidur yang akhirnya memisahkan kita untuk terakhir kalinya.

*******************

Kejadian ini terjadi ketika aku dan Cady berada di ruang yang sama. Dua jam sebelum terdengar suara tembakan. Mengerikan. Mengenaskan. Aku terus memeluknya ketika pintu terkunci dan ada tulisan merah yang menodai dinding tua kamar ini. Cady menangis dan terus terisak. Aku mencoba untuk menenangkannya. Tapi apa yang harus aku lakukan? Bathinnya mungkin belum sanggup untuk aku kendalikan, karena aku dan dia hanya terkoneksi sebatas mata. Aku mencintainya sepenuh hati, tapi Cady mencintaiku hanya sebatas ibu jari.

“Liam! I know everything. I remember anything!”, seru Cady.

Cady terus mengucapkan kalimat itu. Namun ia tak kunjung menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Cady selalu menunduk dan mengerutkan keningnya, mencoba untuk mengingat-ingat runtutan tragedi. Aku disini hanya bertugas untuk menenangkannya. Toh, aku tahu yang akan memenangkan semua ini bukanlah aku. Aku sudah merelakan Cady untuk Niall.

“For God’s sake! Aku ingat apa yang terjadi!”, ucap Cady.

Aku tersenyum sambil merangkulnya. “Then, start the story”, ucapku.

*******************

Nothing Hills, 17.30 pm

Apel merah mengkilap yang Cady gigit tiba-tiba terjatuh bebas dari genggamannya. Tak ada seorang pun yang menyadari tumbangnya Cady. Dalam bisiknya ia terus mengatakan help me.. help me.. ia merangkak menuju toko buku tersebut dan meraih gagang pintu emas yang seakan-akan rabun di matanya. Dengan lemah Cady mengetuk pintu tersebut dan terus mengatakan help me.. help me.. Seketika pintu tersebut terbuka dengan paksa. Senyuman picik menghiasi toko buku tersebut.

“Cady, kau siap untuk bedtime story?”, tanya Giselle.

“Kau..”, ucap Cady lemah.

“Granny, bawa dia masuk”, ucap Giselle menyuruh nenek tua penjaga toko.

“Giselle, sudahlah. Kasian dia, Annabelle juga tid..”.

Seketika pembicaraan nenek dan Giselle terputus. Giselle menarik baju nenek tersebut dan mengancamnya dengan kasar.

“Don’t you dare to stop me, Idiot!, ucap Giselle lancang.

Granny langsung melemas dan menunduk. Giselle mengamit lengan Cady dan memelototi neneknya untuk membantunya. Dengan tunduk pantuh neneknya membantu Giselle. Tubuh Cady yang sempoyongan tidak mampu melihat dengan jelas lagi. Sepertinya racun dalam nadi Cady sudah menyebar dan memberikan efek samping yang begitu besar dampaknya.

“Letakkan dia disitu!”, suruh Giselle.

Nenek tersebut mengangguk dan langsung meletakkan Cady yang terkulai lemas di sofa panjang. Wajah nanar Cady membuat Granny tak kuasa untuk menolongnya. Namun apalah arti seorang penguasa, Giselle dengan sigap langsung menyeret kursi kayu dan mendudukinya tepat di samping Cady. Grannya langsung mundur satu langkah dan tetap menunduk.

Summer Love: LondonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang