Cady: Possession

712 31 22
                                    

Minal Aidzin Walfaidzin ya readers. maaf kalau selama ini aku banyak ngebuat kesalahan. semoga dengan kita menjalani puasa di tahun ini, kita mendapatkan berkah dari Allah SWT. Aamiin. 

P.S. kalau baca part ini jangan malem-malem ya.

************************

Mati rasa. Sekujur tubuhku tak merasakan apa yang seharusnya dirasakan. Kepalaku berat seakan ada hujatan baja panas yang menyembur dari perapian. Hisapan lumpur hidup yang tak kunjung membuatku berhenti penasaran. Memori ini tergantung di pinggiran neuron terputus antar sel. Aku mencoba untuk mengingat. Melihatnya selama 10 detik, terbesit seketika sesosok wajah familiar yang menautkan bibirnya tepat dibibirku pada malam itu. Lampu kota yang menyoroti kami. Perasaan janggal masih tetap bertahan dalam hati, walaupun pikiranku sudah mengatakan ya dialah orangnya. Namun tetap saja ketika aku mendekatinya aku merasakan perasaan bersalah kepada seseorang yang samar dalam penglihatanku. Gelombang transversal yang menarikku untuk terus mengingat, terkadang membuatku keluar dari limit naluri. Bahkan aku tak mengenali diriku sendiri. apa yang sebenarnya terjadi?

*************************

Sorotan senter kecil sedikit menyilaukanku. Dibukanya mata sebelah kiriku dan berkali-kali dokter menyuruhku untuk melihat ke kanan. Ia memintaku untuk mengeluarkan lidahku. Dan senter itu menyorotiku lagi. Sesekali dokter menulis pada papan dada yang diletakkan di sebelah kanannya. Aku hanya duduk terdiam di ranjang pasien, memerhatikan ruangan dengan seksama. Bodohnya Niall! Sudah seminggu ini aku disuruh untuk menemui Dr.Hudson. Sudah kukatakan bahwa aku tak apa. Mana lagi sahabat-sahabatnya yang tak aku kenal, mereka terus mendesakku untuk meminum obat. Siapa itu, Louis? Dialah sahabat Niall yang paling cerewet menurutku.

“Cady, ini berapa?”, tanya Dr.Hudson yang terus menganggapku bodoh.

“Tiga”, ucapku kesal.

Dr.Hudson melayangkan jarinya. “Kalau ini?”.

“Lima”.

Ia menulis lagi pada papan dada tersebut. aku mencoba mengintip apa yang sebenarnya ia tulis. Sepenting itukah sehingga raut wajahnya harus ditekuk? Lagi pula, jika benar aku mengidap sebuah penyakit. Mengapa aku tak merasakan layaknya aku ini orang sakit? Terkadang dokter juga bisa melebih-lebihkan.

Dr.Hudson seketika tersenyum kepadaku. “Bagaimana kau dengan Niall?”, tanyanya.

“Baik-baik saja”, ujarku.

Dr.Hudson kembali tersenyum. Kemudian ia menuju ke ruangan samping untuk mengambil map merah yang tersegel aman. Ia membukanya dan membaca sejenak.

“Natalie, Natalie?”, panggil Dr.Hudson.

Sesosok suster cantik keluar dari ruangan sebelah dan tersenyum kepada Dr.Hudson. Beliau memberikan map merah tersebut dan beberapa file lainnya.

“Tolong panggilkan Mrs.White dan Mrs.Martin”, perintah Dr.Hudson.

Suster tersebut mengangguk. “Baik”.

Mrs.White dan bunda masuk dengan wajah yang was-was. Apakah hanya aku sendiri yang tidak mengetahui apa yang sedang  terjadi? Dan sepertinya aku tak mau mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Aku takut ketika aku mengetahuinya aku akan terjatuh.

“Cady, apakah kau keberatan untuk menunggu di luar?”, ucap Dr.Hudson.

Aku tersenyum. “Tidak, tidak sama sekali”.

Kubuka pintu ruangan tersebut. cahaya lampu redup menyambutku. Kututup kembali pintu tersebut dengan berat. Aku penasaran juga sih sebenarnya. Apa mau dikata? Dokter saja tidak memperbolehkanku untuk mendengarnya.

Summer Love: LondonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang