BAB 2

477K 25.1K 5.8K
                                    

BAB 2

"Kadang aku iri sama dia. Tanpa bersusah payah bisa deketin kamu. Sementara aku di sini melihat kamu aja suatu mukjizat di duniaku yang kelam."

(Kafe, Kisah, dan Kekurangan)

• • •

KATANYA, setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Maka dari itu ketika Iris mendapat nilai B- di mata pelajaran Biologi, dia nggak sedih banget. Waktu belajar di rumah dan di sekolahnya memang dipakai untuk menari, sehingga ketika ulangan, Iris mana bisa ngerti? Dia bukan Einstein atau Habibie atau siapapun orang cerdas di dunia yang bisa menghapal fungsi dan organ sistem eksresi dalam waktu satu jam.

"Ya, tapi gue harus belajar," putus Iris saat jam pelajaran terakhir, matematika, selesai. Saat ini pun Iris nggak ngerti cara menurunkan fungsi trigonometri dan sebagainya itu. Kayaknya tahun ini Iris butuh tenaga ekstra keras untuk mengimbangi belajar dan nari. Iris mendesah. "Ya, gue emang harus belajar."

Pita yang mendengarnya lantas kaget, "Lo? Belajar? Belajar nari 'kan maksud lo?"

"Belajar," kata Iris sambil menunjuk buku teks Biologi miliknya yang putih bersih. "Kayak pelajar biasa."

"Ngapain lo belajar kalo tiap universitas udah positif nerima lo? Inget, tari? Bentar lagi lo internasional, Ris," ucap Pita.

"Tetep aja itu nggak banyak berguna kalo gue bego."

Pita berhenti berkomentar. Seperti Iris yang biasanya. Susah diajak berdebat.

Pita pulang lebih dulu karena harus mengurus kedua adiknya. Sementara Iris memutuskan untuk bersemayam di kafe dekat sekolah. Tempatnya nyaman dan jauh dari gangguan. Harga minuman favorit Iris di sana juga terjangkau kantung anak SMA.

Iris memilih duduk di dekat jendela yang menghadap ke jalan raya karena tempat itu memberi Iris konsentrasi.

Dengan minuman dingin di sisi kanan, ponsel sisi kiri (kalo misalnya Iris mau search di internet) dan kedua telinga yang tersumpal headset, Iris udah siap belajar.

Tadinya sih gitu.

Tapi cowok itu tiba-tiba datang, duduk di hadapannya, dan memerhatikannya.

Iris melihat ke arah cowok itu dengan tatapan risih, lalu mencabut headsetnya, "Ya?"

"Hai, kita ketemu lagi," cengir Alden seolah mereka sangat amat akrab.

Iris itu introvert. Dia nggak bisa sesupel Pita atau seberani Ira. Lebih baik Iris diam dan berpikir matang di otaknya akan sikap apa yang ia pilih terhadap lawan bicara. Kadang Iris juga lelah karena sifat ini.

"Lo ngapain di sini?" tanya Iris setelah lama dia terdiam.

"Gue?" tanya Alden balik dengan wajah pura-pura kaget. Dia menunjuk buku teks Iris. "Belajar, lah! Apalagi yang gue lakuin di sini selain modu--belajar."

Cowok aneh.

Iris bersiap-siap pindah tempat ketika Alden melirik buku teks itu. "Nomor yang lo lingkarin itu jawabannya C."

I Wuf UTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang