BAB 18 (a)

146K 11.8K 546
                                    




ARI sudah menunggu di depan kafe selama sepuluh menit. Tangannya menggigil karena udara sehabis hujan. Dia lupa membawa jaket. Meskipun begitu, Ari tidak juga beranjak dari sana. Tidak ada keinginan Ari untuk masuk ke dalam kafe hangat itu. Matanya hanya terpancang pada wajah bahagia Iris bersama Ira dan Alden.

Mereka bahagia sekali, ya?

Setelah menghajar Zaki di sekolah sore tadi, Ari pulang ke rumah, tidak mendapati siapa-siapa. Ibunya mengikuti arisan dan ayahnya seperti biasa, bekerja hingga larut. Maka dari itu Ari lekas ke kafe, mengetahui bahwa Iris masih berada di sana. Dan... perkiraan Ari benar. Iris ada di sana. Bersama sahabatnya. Bersama adik kembarnya.

Tapi tidak bersama dirinya.

Ari mendengus geli, tangannya saling menggosok menghalau dingin, hendak masuk ke dalam mobil lagi ketika suara nyaring Ira membuatnya terhenti.

"Ari!" panggil Ira. "Ari kan? Woi, sini lo!"

Anju, batin Ari jengkel setengah mati. Punya adek kenapa berisik banget, ya?

Ari menoleh pada mereka. Di sana Ira sedang berdiri, tangannya mengisyaratkan Ari untuk ke sana. Sementara Iris dan Alden menyiratkan rasa canggung. Seolah mereka tertangkap melakukan kesalahan.

"ARI!!!" panggil Ira semakin kencang, beberapa pasang mata mulai mengarah pada si bego itu.

Tak punya alasan lain, akhirnya Ari beranjak menuju kafe. Tiap langkah begitu berat. Tiap langkah membawa Ari pada spekulasi dan kejadian yang akan terjadi setelah ini. Semuanya begitu memberatkan. Ari tidak... suka.

"Ngapain lo di luar kayak orang bego?" tanya Ira dengan alis terangkat begitu Ari duduk di sebelahnya.

Iris dan Alden yang ada di hadapan mereka tidak berkata apa-apa.

Ira akhirnya menyadari situasi tidak begitu baik di antara Ari, Iris, dan Alden. Sesaat dia heran karena Ari sama sekali tidak menceritakan apa-apa pada Ira. Tapi cewek itu hanya mendengus geli, menarik buku tulis Iris, dan menggambar sesuatu di sana.

"Kalo kalian terus kayak gini, kalian sama aja kayak dia," cetus Ira setelah selesai menggambar. "Kayak anak kecil, tau nggak."

Tiga pasang mata melirik penasaran pada gambar Ira. Dan mata mereka melebar melihat gambar tiga pasang babi dengan wajah memberengut.

"Woi," tegur Iris.

Ira mengangkat bahunya. "Makanya, jangan kayak anak kecil. Masalah dikit berantem."

"Lo nggak tau apa-apa, Ra," ucap Ari. "Lo yang ajak gue ke sini."

"Bukannya lo ke sini karena tau ada Iris?" tanya Ira terang-terangan. Alden dan Iris hendak mencegat mulut Ira yang pedas, tapi cewek itu tidak tertahankan lagi. "Udahlah, Ar, semua orang juga tau kalo lo takut Alden ngerebut Iris dari lo. Tapi lo sendiri nggak berani bilang ke Iris!"

Brak!

Semua pasang mata menoleh ke meja mereka ketika Ari menggebrak meja. Penasaran dan kaget. Keadaan menjadi tegang dan beku. Mata Ari sama sekali tidak mampu melihat Iris. Dia malu, kalah, dan tidak berguna. Mungkin inilah alasan Iris tidak bisa bersamanya. Karena dia pengecut.

"Terserah," gerutu Ari, berdiri dari duduknya. "Gue pulang."

"Ar," panggil Iris.

Sejenak Ari diam. Betapa dia kangen dengan suara Iris. Dan betapa dirinya juga yang bodoh karena terlambat.

Terlambat mengatakan pada Iris bahwa Ari menyukainya.

Dan yang bisa Ari lakukan hanya pergi.


A.N

Hai! Wulan di sini. Maaf ya gue baru bisa update sekarang. Akhir-akhir ini lagi banyak pikiran dan lagi sakit juga. Doain gue cepet sembuh supaya bisa ngehibur kalian di sini yaaa. :D

Hm... Ari udah ketauan suka sama semua orang. Iris bakal gimana, ya?

I Wuf UTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang