BAB 17 (c)

144K 11.6K 824
                                    




IRA: Gue lagi bareng Iris sama Alden di kafe. Lo dimana?

Pesan itu hanya Ari baca lewat notifikasi di ponselnya. Tidak ada keinginan Ari untuk membalas atau sekedar membukanya. Kepala Ari pening. Nama Alden dan Iris adalah dua nama yang ingin Ari hindari sekarang. Ari masih tidak percaya kalau sekarang dia tersisih. Baik dari Alden maupun Iris.

Maka dari itu, Ari memutuskan untuk berlatih futsal bersama teman satu ekskulnya sore ini. Berpura-pura. Seperti Ari yang biasanya.

Tapi kalau Zaki yang melihat, pasti sisi sensitif cowok itu bisa menilai perbedaan raut wajah Ari. Zaki itu ibarat temen yang selalu ada tapi nggak pernah diharapkan ada–tapi mau bagaimana pun juga, Zaki akan selalu ada. Ea.

"Napa lo?" tanya Zaki, logat betawinya muncul. Kadang Zaki memang seperti ini kalau sudah dekat dengan seseorang. Apalagi Ari yang nyaris tiap hari ketemu karena satu ekskul.

"Kenapa? Nggak kenapa-napa," jawab Ari tak acuh, menendang bola ke gawang, lalu berbalik ke paling belakang barisan. Sekarang mereka memang sedang mengantri untuk menendang bola.

Karena gilirannya, Zaki pun menendang bola. Dengan cepat bola itu melesat ke gawang, tepat mencapai sudutnya. Lalu Zaki berbalik ke belakang tanpa peduli tatapan kagum adik-adik kelas.

"Hah, gua mana percaya lu ngomong kek gitu," ucap Zaki slengean di belakang Ari. Persis seperti setan yang membisikkan sesuatu pada hati manusia. "Masalah lo mah kalo kagak Iris ya Alden kunyuk."

Ari melotot ke belakang. "Jangan bilang si Alden kunyuk, Bahlul."

"Sahabat kok nikung," cebik Zaki tak suka.

Ari nggak bisa berkata-kata lagi. Tapi ini bukan salah Alden sepenuhnya. Ini salah Ari yang takut jujur pada Iris. Ari yang nggak bisa memperjuangkan Iris. Ari yang nggak pernah bisa seberani Alden.

"Ar, lo tuh nggak boleh jadi ayam kampus–maksud gue, ayam kampung!" seru Zaki menimbulkan perhatian dari sekitar mereka.

Jengkel, Ari menggeplak kepala Zaki. "Lo ngomong dijaga, ya."

"Lo ngomong dijaga, ya," ulang Zaki persis seperti cewek-cewek antagonis di sinetron. "Jangan macem-macem lo sama gue, gue ini cucu dari pemilik sekolah ini. Sekali senggol langsung bacok, lebih serem daripada begal."

"Najong," balas Ari, memplesetkan kata najis jadi najong. Khas anak-anak jaman sekarang.

"Lu harus berani dong, Ar. Kalo gini terus caranya, Iris bakal diambil sama Alden Kunyuk! Lu udah suka sama Iris dari tahun jebot tapi buat bilang, 'Ris, aku suka sama kamu dari setahun yang lalu, jadian yuk?' aja susahnya kek lolos SNMPTN–gua nggak yakin lu lulus, anyway. Tapi yang penting dan harus digarisbawahi adalah Iris kemungkinan besar suka juga sama lu! Jadi yang bikin ribet itu adalah lu sendiri."

Antrian semakin menipis dan kini giliran Ari menendang bola. Tapi bukannya melakukan hal itu, Ari malah mengambil bola yang dioper dari sisi kiri oleh temannya, kemudian menggebuk wajah Zaki dengan bola itu.

Buagh!

"Wadaaaw!" seru Zaki kesakitan. "Edan, ente Bahlul!!"

Semua orang terkekeh geli melihat Zaki mengusap wajahnya yang merah. Sementara Ari keluar dari lapangan, duduk di dekat tasnya dan mengeluarkan botol Tupperware. Ari membuka tutup botol itu dengan jengkel seolah sedang memiting leher Zaki.

"Banyak bacot," desis Ari jengkel. "Gue juga tau kalo gue harus berani. Gue juga tau, Goblok."

A/N

Omg. Ternyata gue beneran suka nulis pendek-pendek begini. Feelnya lebih kerasa ;")))

I Wuf UTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang