BAB 7

240K 15.2K 2K
                                    




MENENANGKAN seseorang yang menangis mungkin hal yang cukup mudah bagi sebagian orang. Tapi tidak bagi Ari. Apalagi bila orang yang menangis adalah Ira. Butuh waktu dua sampai tiga jam hingga tangis Ira berhenti. Setidaknya hingga air matanya tidak merembes lagi.

Seperti saat ini. Ketika Ira sampai di rumah dan tangis yang ia bendung di kelas kini kembali pecah. Ari sudah mempersiapkan kemungkinan ini dengan membawa Alden pulang bersama mereka di rumah. Alden dengan sigap menenangkan Ira lagi, sementara Ari ke dapur untuk membuatkan teh apel hangat kesukaan adik kembarnya.

"Nih, minum dulu," ucap Ari sembari menaruh secangkir teh di hadapan Ira.

Alden dan Ira sudah duduk di sofa dengan Ira yang masih bersandar di bahu Alden. Seperti Alden yang biasanya, dia tidak marah atau merasa risi karena perilaku Ira. Alden malah mengusap punggung Ira yang bergetar dan membisikkan kata-kata menenangkan.

"Buat gue mana, Bahlul?" tanya Alden protes.

Ari hanya mendengus, "Ambil sendiri, lah!"

"Jangan! Alden di sini aja," isak Ira menghentikan pergerakan Alden yang ingin ke dapur.

Terpaksa Ari kembali ke dapur untuk mengambil minuman untuk Alden. Dia melakukan ini untuk Ira dan karena hal itu, dia nggak masalah sama sekali.

"Ira ngantuk?"

Sayup-sayup, suara Alden terdengar dari arah ruang keluarga. Ari berhenti menuangkan air mineral ke mug khusus untuk Alden–mug itu benar-benar khusus dibeli Ari dan Ira kalau-kalau Alden mampir ke rumah. Tunggu, ini momen yang pas untuk Ira, 'kan? Selama ini, Ira suka dengan Alden, 'kan? Kenapa Ari jadi bodoh dan tidak peka begini, ya? Jangan-jangan karena dia sering bergaul dengan Iris yang sama sekali nggak bisa peka.

Ari lantas berpura-pura sibuk di dapur. Entah itu menyapu, mengelap meja makan yang sebenarnya sudah bersih, bahkan menggoreng tahu bulat simpanan dari kulkas. Semua itu hanya untuk memberikan momen Ira dengan Alden.

"Ira ngantuk," ucap Ira dengan suara parau karena kebanyakan nangis.

"Ya udah, gue ambil selimut dari kamar Ari, ya?"

"Yang barbie."

"Iya, yang barbie," sahut Alden, namun kemudian. "Lah, Ari punya selimut barbie?"

"Selimut barbie-nya punya aku, tapi kemaren Ari minjem. Katanya selimutnya bikin tidurnya nyenyak."

Ari menutupi wajahnya yang memerah. Sialan, Ira! Sudah berbaik hati Ari memberikan waktu mereka berduaan, tapi dia malah mempermalukan Ari di depan Alden. Memang apa salahnya dengan selimut barbie? Yang penting enak dipakai tidur! Siapa peduli motifnya apa? Kalau motifnya totol-totol macan tapi enak dipakai tidur pun, udah pasti Ari memakainya!

Dengan ogah-ogahan, Ari kembali ke ruang keluarga dan menaruh mug untuk Alden di samping cangkir teh Ira. Mata Ari menatap Ira sinis, tapi cewek itu tidak mengerti dan malah menyesap isi cangkirnya. Tak lama kemudian, Alden datang membawa selimut, lalu menatap Ari dengan seribu tanda tanya, sementara Ari mendengus.

"Lo suka barbie? Sejak kapan?" tanya Alden langsung.

Ah, kambing kutuan.

"Nggak usah dibahas, oke?" Ari kemudian menatap Ira, "Tidur, gih."

Ira hanya cemberut. Matanya masih memerah dan sembab. Hidungnya pun memerah. Ari jadi nggak tega. Dia memeluk Ira singkat, mengambil selimut dari Alden, lalu menyelimuti adik kembarnya.

Ketika Ira sudah nyaman tidur di sofa, seperti bayi dibedong, Ari mengatakan, "Jangan nangis lagi, nanti jelek."

Ira hanya membalasnya dengan isakan dan wajah bete. Ari tertawa kecil, mengelus puncak kepala Ira.

I Wuf UTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang