BAB 5

278K 16.6K 3.1K
                                    

HARI ini, Alden nggak bolos tranfusi darah, dan tentu Nyonya Besar (alias Sang Bunda) sangat senang. Kemarin Alden bolos karena memilih bersama Iris di kafe lalu setelahnya jalan-jalan bareng Ira. Padahal Bunda selalu mengingatkan bahwa kesehatan itu lebih penting.

"Kamu tuh ya," omel Bunda di perjalanan pulang naik mobil. Kali ini, Bunda yang nyetir karena fisik Alden masih lemah banget. "Main-main sama cewek iya, kesehatan dianggurin."

Dulu waktu dokter bilang dia harus transfusi darah, Alden mengira darahnya akan diperbanyak dan Alden jadi lebih gemuk. Ternyata pemikiran bocah ingusan berumur empat tahun itu terlalu polos untuk penyakit yang berbahaya ini.

"Alden, denger Bunda ngomong, nggak?" tanya Bunda sewot.

"Iya, Bundaku Sayang," jawab Alden sambil nyengir kuda. Dia menoleh ke arah Bunda. "Bun, Alden kapan matinya, ya?"

"Astaghfirullah, Alden! Nggak boleh ngomong gitu. Umur mana ada yang tau, sih?!"

"Yeee, Bunda... 'kan kata dokter umur Alden udah nggak panjang lagi. Mungkin lebih panjang penggaris Bu Diana dibanding umur Alden."

Wajah Bunda langsung pias. Jadi, Alden dengar soal itu?

"Dokter bohong," kilah Bunda, suaranya mulai parau. "Ya udah lah, Den, jangan terlalu dipikirin. Sekolah aja yang bener."

"Katanya satu tahun lagi, 'kan, Bun? Ini skenario tujuh belas tahun masih hidup aja udah bagus," ada kegetiran di suara Alden yang bisa Bunda rasakan, seolah Alden sudah siap untuk pergi meninggalkan Bunda, dan hal itu sungguh menyesakkan. "Apalagi sekarang transfusi darah nggak begitu membantu."

"Udahlah, Den, hal yang kayak gitu jangan terlalu dipikirin," sahut Bunda, matanya mulai berair. "Bunda nggak mau denger lagi."

Alden beringsut. Sudah jelas dia nggak mau Bunda nangis. Alden 'kan cuma nanya. Dia sendiri nggak bisa menahan kegetiran ini seorang diri tanpa Bunda.

"Bun, kalo Alden udah nggak ada, Bunda jangan sedih, ya. Bunda cari pengganti almarhum Ayah juga nggak apa-apa. Alden nggak larang. Asal Bunda bahagia, Alden juga," ucap Alden sambil nyengir kuda.

Kalau Bunda sedang nggak nyetir, mungkin dia sudah menangis hebat di pelukan anak tunggalnya.

• • •

"LAGI ngapain?" tanya Ira pada kembarannya.

Sebungkus permen Yupi ada di samping Ari, menandakan bahwa cowok itu sedang banyak pikiran dan pengalihannya adalah permen. Ira sedikit kagum pada konsistensi Ari untuk tidak merokok lagi.

Ari cuma terdiam sambil melihat riak kolam ikan di halaman belakang. Gemas, Ira menabok pundak Ari sehingga cowok itu menoleh ke arahnya, sudah jelas terganggu.

"Kenapa?"

"Lo yang kenapa, malah ngelamun di sini. Nggak jelas."

Ari mendengus. Sedari tadi perasaannya gusar karena mencampakkan Iris. Ada sesuatu yang salah, yang berlainan dengan hatinya. Otaknya memang percaya pada kata-kata Ira, tentu karena Ira adalah kembarannya. Seharusnya Iris memberinya penjelasan agar kata-kata Ira bisa Ari tolak. Tapi bersikap seperti Iris yang biasanya, dia belum berani memberikan penjelasan itu. Iris seperti menodong Ari dengan kenyataan bahwa tadi siang cewek itu bersama Alden.

"Ar," sekarang, Ira mulai cemas karena wajah Ari menggelap.

"Bawel," balas Ari seraya berdiri dari tempat duduknya. Dia bergegas ke lantai dua menuju kamar, sementara Ira mengikuti.

"Mau kemana?"

"Rumah Iris," jawab Ari singkat. Sekarang dia sudah masuk ke kamarnya.

Ira langsung melotot. Dia menahan pintu kamar Ari yang cowok itu hendak tutup. Kontan, Ari melihat wajah Ira yang paniknya setengah mati. Nggak pernah Ari melihat Ira seperti ini.

I Wuf UTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang