BAB 19 (a)

147K 10.8K 518
                                    

SUDAH menjadi rutinitas sehari-hari Ira bahwa hari Sabtu-Minggu adalah hari untuk keluarga dan hobi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




SUDAH menjadi rutinitas sehari-hari Ira bahwa hari Sabtu-Minggu adalah hari untuk keluarga dan hobi. Apalagi Sabtu pagi seperti ini. Ira merasa sesuatu yang baik akan terjadi. Maka dari itu senyumnya tidak hilang meski tadi di kamar mandi dia bertegur sapa dengan kecoa–ini sarkasme, omong-omong.

Tapi semua anggota keluarga Ira sedang tidak ada rumah. Bahkan Ari yang biasanya selalu bermalas-malasan di Sabtu pagi kini raib seolah ditelan bumi. Ira heran sama keluarganya sendiri. Mereka seolah-olah punya kehidupan dan kesibukan masing-masing. Jarang sekali berkumpul.

Nggak apa-apa, Ira masih punya kegiatan lain, yaitu memperdalam hobinya. Sabtu atau Minggu, Ira pergi ke studio untuk latihan tari.

Sejak ikut serta dalam lomba tari internasional dengan Iris, Ira jadi lebih aktif dalam bidang tari. Itu semua ia lakukan agar Ira bisa mengimbangi tarian Iris yang memang sudah handal sejak awal. Bahkan jauh lebih mahir Iris dihanding Ira. Tapi tetap saja Ira ingin selalu unggul. Maka dari itu, untuk mengejar ketertinggalan ini, Ira harus konsentrasi latihan menari. Tidak boleh lagi emosi menguasai Ira. Ira-lah yang berkuasa atas dirinya, bukan emosinya.

"Handuk udah, baju juga udah, sabun cuci muka...," gumam Ira saat mengecek perlengkapan tas selempangnya. "Sabun cuci muka gue mana, ya?"

Ira berpikir sejenak. Bertanya-tanya kapan terakhir kali dia menaruh sabun itu hingga akhirnya, Ira menepuk jidat.

"Ah, gue yakin ada di sekolah! Stupid Ira," gerutunya.

Satu hal paling ribet dari seorang cewek; kebersihan–setidaknya, ini untuk Ira yang super bersih dan rapi. Bahkan Ira nggak mau duduk bekas orang yang menurutnya kotor. Kalau terpaksa disuruh duduk, paling maksimal Ira harus menepuk-nepuk tempat duduk itu dulu. Bila dilihat dari sudut pandang orang lain, Ira kayak orang aneh yang baru melihat kursi.

Akhirnya, Ira harus beli sabun cuci muka dulu di minimarket dekat studio. Salahkan Ira dan maniak kebersihannya.

Minimarket itu tampak sepi di dalamnya. Hanya ada pekerja minimarket sedang menempeli label harga dan beberapa pembeli. Ira langsung bergegas ke rak produk sabun, mengambil sabun cuci muka yang memang sejak awal Ira pakai, dan menuju kasir.

"Satu sabun cuci muka, ada tambahan?" tanya penjaga kasir ketika mengurus belanjaan Ira.

Ira menggeleng. Matanya melirik jam di dinding, tepat di belakang penjaga kasir itu. Sudah jam sepuluh lewat lima. Ira telat lima menit. "Udah itu aja."

"Mau diisi pulsanya, Kak?" tanya penjaga kasir itu, senyumnya tetap ramah seperti biasa.

"Nggak, Mbak. Kuota saya masih banyak, jadi nggak perlu pulsa," balas Ira ngasal.

"Kue di samping Kakak sedang promo dari lima ribu jadi tiga ribu–"

"Maaf, sabun cuci muka aja, Mbak," potong Ira langsung, jengkel dengan sifat ramah sang kasir.

Penjaga kasir itu tampak tersinggung meskipun ditutupi dengan senyum tipisnya. Sejenak Ira merasa bersalah, tapi sekarang dia sedang buru-buru. Kan sayang kalau waktu latihannya berkurang banyak karena harus meladeni ucapan si penjaga kasir itu.

Tapi terkadang, Ira merasa tidak enak dengan sikap apatisnya. Maka dari itu Ira mengambil kue yang ditawarkan penjaga tadi, kemudian memberikannya. "Ya udah, saya beli dua kue ini, Mbak."

Sang kasir tersenyum, namun kali ini tulus, dan Ira tidak pernah tahu satu langkah kebaikan bisa merubah banyak hal.

Setelah selesai membeli sabun cuci muka dan kue itu, Ira berjalan keluar minimarket dengan pikiran kosong. Seolah jiwanya terserap pada kebaikan yang ia lakukan tadi. Membuatnya terhenyak.

Kalau saja Ira tidak benci dan iri kepada Iris, mungkin mereka masih bersama-sama. Mungkin...

Ira melihat gedung studio tempatnya berlatih menari. Kemudian menghela napas seiring langkah beratnya membawa Ira ke sana.

Mungkin... sekarang Ira sedang berjalan bersisian dengan Iris menuju studio itu, seperti empat tahun yang lalu, dimana semuanya masih terasa begitu mudah. Mungkin Ira bisa membantu Iris ketika dia kesulitan dalam belajar, atau sebaliknya, Iris membantu kesulitan Ira dalam menari. Sebenarnya mereka saling melengkapi, tapi gengsi menutupi.

Selalu seperti itu.

Di sisi lain, ketika Ira sedang melamun dalam perjalanan menuju studio, seorang cowok dengan mata cokelat cerahnya mengamati figur cewek itu. Ada kilat penasaran di mata sang cowok. Seolah telah berhasil menemukan hal menarik di antara jutaan hal yang selalu membuatnya bosan.

"Kok kayak pernah liat yang modelnya kayak gitu...," gumam sang cowok bermata hitam legam, menyedot Slurpee-nya, kemudian menautkan alis. "Siapa, ya?"

• • •

Author Note

Haii, ini Wulan. Sebenernya gue merasa kaku pas nulis cerita akhir-akhir ini. Kayaknya faktor kesibukan sekolah dan yang lainnya. Tapi gue tetep melanjutkan, hehehe. Semoga rasa kaku ini bisa ilang ya :) Aamiin.

Kangen banget sama komen kalian yang kocak-kocak.

P.S: Tgl 22 Oktober 2016, gue akan jadi Special Guest di acara Pelatihan Jurnalistik SMAN 2 Tangerang! Kalian yang ada di Tangerang dan sekitarnya bisa dateng. Langsung CP ke Deshin (ID LINE: deshhhhh)

P.S.S Quotes paling atas gue dapet dari http://www.relatably.com/q/img/unrequited-love-picture-quotes-tumblr/wpid-friends-love-quote.jpg, pas banget buat Ira :').

• • •

Reach Me On:

Instagram – wulanfadila

LINE@ – @rqk9220a

LINE@ (for novel) – @awn0061r

I Wuf UTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang