ALDEN merasa sesak.Seolah pasokan udara dalam paru-parunya telah direnggut. Alden mencari-cari udara, namun tiap usaha yang dia lakukan hanya berujung pada rasa sakit yang menyiksa. Berusaha menemukan jalan keluar, tapi yang ada Alden malah semakin tersesat.
Kemudian Alden diam.
Dia bukannya tidak peduli. Bukannya tidak ingin keluar dari sana. Bukannya tidak ingin kembali menghirup udara segar.
Hanya saja ... sekarang dirinya putus asa.
Lebih baik Alden berhenti di sini. Tidak kemana-mana. Tidak perlu lagi mencari jalan keluar. Karena hal itu tidak akan pernah terjadi. Ya, lebih baik Alden berhenti.
Namun bukan berarti Alden menyerah di titik ini. Bukan berarti kesempatan satu persen itu hilang. Bahkan bila kesempatannya 0,1 persen pun, Alden akan mengejarnya. Mengejar Iris. Meskipun itu artinya Alden harus merebut Iris dari Ari.
Karena Iris telah berjanji. Iris berjanji untuk mempertimbangkan dua bulan. Dua bulan untuk Alden bahagia. Apa itu cukup sulit untuk Iris?
Atau Alden terlalu meminta lebih?
Hahaha, Alden merasa seperti orang penyakitan yang ingin permintaannya dikabulkan, meski pun orang yang diminta harus terpaksa mengabulkannya.
Dan di sinilah Alden. Berdiri di depan kelas Iris seperti orang bodoh karena cintanya bertepuk sebelah sahabat–sekaligus sebelah tangan. Berharap bahwa apa yang dikatakan Ari malam itu hanyalah bualannya. Berharap Iris tidak datang ke sekolah dengan Ari.
Berharap pada 0,1 persen.
Makin lama Alden menunggu, semakin adrenalinnya meningkat. Kepala Alden pening. Untuk mengucapkan dua atau tiga kata, Alden harus berusaha.
Kapan terakhir kali Alden meminum obat?
Apa tadi dia sarapan?
Apa Alden sudah belajar fisika? Hari ini sepertinya ada ulangan harian. Alden seharusnya sudah belajar, tapi nyatanya, untuk mengingat apakah dia sudah belajar atau belum, Alden tidak bisa menjawabnya.
"Kamu harusnya liat muka Pak Bejo waktu itu, ngakak parah!" celoteh riang dari suara yang sangat Alden kenal itu terdengar di kejauhan, membuat cowok itu perlahan mendongak.
Tolong, jangan. Tolong....
"Emang kayak gimana mukanya, Ris?" tanya Ari.
Pasangan itu berjalan bersisian dengan jari kelingking saling terkait. Wajah Iris begitu bahagia bersama Ari. Tidak pernah Alden melihat Iris seperti itu. Seolah semua kebahagiaan telah Iris dapatkan. Dan sumbernya adalah Ari, bukan dirinya.
"Kayak gini, nih!" seru Iris, memasang wajah konyol andalannya di hadapan Ari. Membuat Ari terkekeh geli dan mencubit pipi Iris.
Tawa mereka masih mengalun, mengirimkan rasa sesak di dalam dada Alden. Namun Alden tidak bergerak sama sekali. Hanya bersandar pada dinding kelas Iris. Mengatur napasnya saja sulit, apalagi berdiri tegak.
Jadi ini rasanya. Ketika Alden berharap Iris sebagai sumber kebahagiaannya, perempuan itu malah memilih sumber kebahagiaan yang lain. Tapi, kenapa harus Ari? Kenapa harus sahabatnya sendiri?
Perlahan tapi pasti, Iris dan Ari akhirnya sampai di kelas. Langkah mereka tersendat ketika melihat Alden di sana. Tawa yang tadi berderai kini senyap, menyisakan kecanggungan di antara mereka bertiga. Atmosfer di antara mereka sekejap berubah.
"Pagi, Den," sapa Iris kepada Alden. Ada nada bersalah sekaligus cemas di sana.
Alden menatap Iris terluka. Sementara Ari berusaha tidak menatap Alden, cowok itu hanya mengeratkan genggamannya di tangan Iris. Iris sendiri tidak tahu harus berbuat apa di situasi ini.
"Iris... kita bisa... ngobrol sebentar?" tanya Alden dengan suara parau. Alden lupa kapan terakhir kali dia kesulitan berbicara seperti ini. Kondisinya kian memburuk dan Alden tidak tahu lagi harus berbuat apa. Kepalanya sangat pusing, matanya berkunang-kunang, seolah seseorang memukulkan palu godam berkali-kali di sana.
Mata Iris menatap ke arah Ari, seolah meminta persetujuan. Cowok itu awalnya tidak ingin melepas Iris, namun Iris menatap Ari sungguh-sungguh, hingga akhirnya Ari melepas Iris.
"Aku ke sini lagi pas jam istirahat, ya," ujar Ari, mengusap puncak kepala Iris sebelum benar-benar pergi meninggalkan kecanggungan di antara Alden dan Iris.
Iris menarik Alden untuk duduk di balkon sekaligus menghindari tukang nguping pembicaraan orang lain. Cewek itu cemas melihat kondisi Alden yang benar-benar parah. Mata Alden redup, tangannya membengkak, dan bibirnya sedikit pucat. Iris tahu ini salahnya hingga Alden menjadi seperti ini.
"Den, lo tau gue nggak mau lo gini," ujar Iris serba salah. "Gue... maaf, gue nggak bisa ngasih dua bulan itu. Gue udah mempertimbangkannya. Dan mau gimana pun juga, perasaan itu nggak bisa gue bohongi. Gue nggak bisa."
Alden menatap iris mata Iris, begitu lembut, namun terluka.
"Ris, kamu sayang... sama Ari?" tanya Alden.
Perasaan bersalah menghujam tepat di diri Iris. Dia menarik tangan Alden dan menggenggamnya erat. "Den, jangan gini...."
"Kamu nggak jawab... pertanyaan aku."
Iris menutup matanya. Tidak. Dia harus tegas. "Ya, gue sayang sama Ari."
Gue sayang sama Ari.
Perkataan itu terngiang di otak Alden. Masuk ke dalam jiwanya. Dan menghempaskannya.
Begitu saja.
"Kamu tau... aku juga... sayang kamu," ujar Alden sambil tersenyum kecut.
"Den, mana mungkin lo sayang sama gue? Kita bahkan nggak kenal deket. Lo tiba-tiba muncul, tiba-tiba bantuin gue pas lagi kesusahan. Semuanya itu tiba-tiba. Gue nggak bisa ngerti semua itu," jelas Iris. "Lo nggak sayang sama gue, itu nggak mungkin. Lo cuma terobsesi."
Alden tertawa parau. "Kalo hujan itu menumpahkan seluruh isinya kepada bumi secara cuma-cuma, berarti aku bisa mencintaimu, tanpa syarat."
Iris merasa seperti seseorang telah menamparnya, namun jauh lebih sakit dibanding tamparan yang sebenarnya.
"Den, lo nggak bisa gini!" nada suara Iris naik beberapa oktaf. Ada gusar dan resah di sana. "Lupain gue. Lupain semua tentang gue! Gue nggak mau lo kayak gini. Ini bukan Alden yang gue kenal."
Saat Iris berlalu pergi meninggalkan Alden, Alden tahu satu hal. Bahwa mau sekeras apa pun Alden berjuang mendapatkannya, Iris hanya melihat Ari. Tidak ada ruang di hati Iris untuk Alden. Bahkan ketika Alden orang pertama yang berani mengatakan perasaannya lebih dulu dibanding Ari.
Bahkan ketika Alden rela melakukan apa saja agar dirinya mendapatkan hati Iris.
Semua itu belum cukup bagi perempuan bermata cokelat itu.
"Pathetic," gumam Alden pada dirinya sendiri, tersenyum kecut.
Akhir cerita ini menyedihkan.
Author Note
Gue sebenarnya kasian sama Alden, tapi di sini Iris juga nggak salah. Ari juga nggak. Ya yang namanya perasaan nggak bisa diubah, lah. Mau gimana pun juga. Semoga Alden diberikan kebahagiaan lain, ya! (Gadeng, liat aja nanti)
Dadah! Sampai jumpa di pertemuan berikutnya 💞
• • •
Reach Me On:
Instagram – wulanfadila
LINE@ – @rqk9220a
LINE@ (for novel) – @awn0061r
KAMU SEDANG MEMBACA
I Wuf U
Teen FictionI Wuf U: Ketika terlalu takut mengatakan "I Love You". Bila saja semua orang bisa berani menyatakan perasaannya. Pasti dinamika yang mengatasnamakan cinta tidak akan terjadi. Iris, Ira, Ari, dan Alden. Kalian akan berkenalan dengan Iris, perempuan y...