Haii..
Saya ga tau gimana cerita saya
Commen donk..
Saya ga maksa kalian vote deh..
Tapi, commen saya pengen tau dimana letak kekurangan cerita saya :)Terimakasih
Salam hangat,
DellAila
^^^
Seorang lelaki terlihat mondar mandir sedari tadi di hadapan ruangan dengan pintu kaca.
Lelaki lain memilih menyandar pada pintu itu, seakan akan menunggu orang yang sangat penting keluar dari sana.
Lagi dan lagi ia menunggu seseorang yang sama. Menunggu dengan ketidakpastian apakah seorang itu akan keluar dengan hidup atau bahkan mati.
Seharusnya ia sadar sejak awal. Dalang di balik kejadian selama beberapa minggu ini. Hanya ada tiga orang yang memiliki kemampuan di atas rata rata. Hanya mereka. Tanpa ia sadari tangannya terkepal. Buku buku jarinya memerah.
"Brian! Tenangkan pikiranmu"
Sentakan itu membuyarkan pikirannya.
Ia mendesah berat, "Bagaimana aku bisa tenang, Dom! Ini semua salahmu!!"Bugh!! Bugh,!!
Beberapa orang yang terkejut akan perlakuan Brian dengan segera memisahkan Brian dan Dominic.
Dominic bangkit seraya menghapus bekas darah di sudut bibirnya.
"Kau bilang ini salahku?"
Dom menatap Brian dengan santai.
Ia sudah berniat membongkar semuanya.
Bukan.
Ini bukan salahnya.
Ini salah pria bajingan di hadapannya ini.Sebuah seringaian tercetak jelas di wajah Dom.
Beberapa orang yang masih mencekal tangan Brian nampak sekali penasaran dengan ucapan Dom."Kau penyebabnya Brian. Sejak awal ini semua terjadi, kaulah penyebabnya"
Seringaian Dom semakin jelas terlihat.
"Kalau bukan karena kau yang memerkosa Brigitta, kalau bukan karena penderitaan Brigitta, kalau bukan ..""Tunggu... apa maksudmu Fernando dan Rossy adalah.."
"Ya.. mereka anak anak Brian dan Brigitta.. anak anak yang tak pernah diharapkan kehadirannya oleh Brian!"
Bugh!
Satu bogeman mentah melayang ke arah wajah Brian. Tidak, itu bukan Dominic yang melakukannya tapi Lando. Ia jelas tahu, bagaimana susahnya Brose melewati masa masa kelamnya dulu. Masa masa dimana Brose harus menenggak pil pil demi menyelamatkan hidupnya kala itu.
Dan ini semua hanya karena Brian? Ia sudah bersumpah akan menghadiahi siapapun yang menyebabkan Brose seperti itu dengan bogemannya. Dan voila, ia berhasil memenuhi sumpahnya.
Tidak ada yang melerai aksi Lando, hingga akhirnya petugas keamanan yang memisahkan mereka—Lando dan Brian setelah melihat keributan dari kamera cctv. Atas usul Lando, Brianlah yang di keluarkan dari rumah sakit itu dengan sedikit tarikan di kedua tangan Brian yang tentu saja erangan penolakan terdengar jelas di sepanjang koridor rumah sakit itu. Tidak ada yang berucap selepas kepergian Brian, Dom yang semula santai kini hanya terduduk cemas, berharap bahwa Brigitta—Black Rose— segera keluar dari ruang operasi itu, berharap bahwa ia akan baik baik saja.
Brian mengeluarkan sumpah serapahnya setelah sampai pada bukit di belakang rumah sakit itu. Sejenak, ia memijat pelipisnya yang dirasa sangat sesak. Batinnya berkecamuk, memikirkan segala ucapan dari Dominic, memikirkan bahwa kenyataan bejatnya dulu membawa dampak buruk bagi ia dan juga Brigitta. Bahwa, kini jika Brigitta dalam bahaya di sana, maka bukankah ia tak dapat bertemu dengannya lagi dan juga kedua anaknya yang baru ia ketahui kehadirannya? Sungguh, ia tak tahu harus bagaimana saat ini.
Getaran di saku milik Brian, membuyarkan lamunannya. Dengan gerakan asal asalan ia merogoh benda mungil yang bergetar, sebuah pesan masuk.
Kau tak ingin menginterogasi-nya?, Bos?
Kening Brian mengernyit, menginterogasi? Siapa? Seingatnya, ia sudah meminta cuti sementara waktu untuk mengurus Brigitta yang saat ini terbaring lemah karena ulah—tunggu, Ia ingat siapa yang harus ia interogasi. Tanpa Brian sadari, kukunya memutih dan jari jarinya memerah, tangannya telah terkepal kuat sedari tadi.
o0O0o
Langkah Brian terhenti, di depan sebuah pintu dengan sebuah papan angka 1412 yang terpasang di salah satu sudutnya. Matanya terpusat pada satu titik, handle pintu mengkilap yang memantulkan siluet wajahnya. Tangannya terulur, menggeser pintu dengan sidik jari sebagai kuncinya. Perlahan, bau anyir menyeruak memenuhi rongga pernapasannya. Matanya tertuju pada satu orang di tengah ruangan dengan lampu seadanya.
Dinding yang terbuat dari kaca memantulkan bayangannya yang bersimbah darah. Luka lebam di sekujur tubuhnya tak membuat Brian membalikkan badan, justru langkahnya semakin mendekat.
Bugh!
Satu bogemam mentah, melayang pada ulu hatinya. Lelaki itu, tidak mengaduh, tidak pula berteriak, hanya tersenyum dengan seringaian lebar seakan senyumannya akan membuat wajahnya terbelah.
"Apa yang kau lakukan pada Brigitta, Adam?" Brian, berkata dengan nada lirihnya. Tak tahu harus bagaimana lagi, kenyataan bahwa Brigitta di ruang operasi adalah kesalahannya membuatnya takut menanyakan hal yang sama pada Adam. Ya, Adamlah sang Vodka selama ini.
Banyak pertanyaan yang tanpa izin, menyusup masuk memenuhi otak Brian. Ia mengerang frustasi, mengacak rambutnya dengan kesal. Sementara Vodka, masih terkekeh melihat Brian—sahabat sekaligus rivalnya selama ini.
Tentang siapa Adam? Mengapa ia menjadi seperti ini? Melukai Brigitta? Meneror negaranya sendiri?
Tentang Dominic? Siapa dia? Mengetahui segala hal tentang Brigitta? Fernando dan Rossy? Siapa mereka? Anaknya?
Oh Tuhan! Maafkanlah hambamu yang satu itu, yang selalu berbuat kesalahan.
"Ceritakan semuanya, Dam" ujar Brian, kelewat cepat.
Vodka masih terkekeh, "Kau saja tak sanggup untuk mendengarnya. Masih sok bisa dan sok kuat?"
"Jangan lupakan fakta, bahwa kau ada di ruang 1412, Adam"
Kini, giliran Brian yang mengeluarkan seringainya.
"Fakta bahwa, siapapun yang masuk sini sudah dianggap mati! Itu artinya, membunuhmu di sini dengan siksa yang kubuat tak kan berarti apapun"
"Kaupun tahu, fakta bahwa akulah yang mengajarimu, tentang psikopat yang kau lakukan selama ini"
Skak!
Drrtt ! Drrrttt!
Brian merogoh sakunya, menggeser layar ponsel miliknya. Berbicara dengan seseorang di seberang sana. Alih alih menjawab, ia terduduk lemas.
Pandangannya kosong. Satu kalimat, dua kata ia ucapkan.
"Brigitta pergi"
o0O0o
Tbc..
Salam hangat,
DellAila 😆😘
KAMU SEDANG MEMBACA
BLACK ROSE
ActionBlack Rose. [On Going] Ia tak terlihat namun ia ada di sekitarmu. Mengamatimu. Menunggumu. Memercayainya. "Black Rose. Cara kerjaku simple. Percaya padaku." B.R Amazing cover made by @bellezmr