14

1.7K 103 1
                                    

Maaf lama update, karena ini bukan repost.

Warning (!) Typo(S) detected always.


o0O0o


Seorang lelaki tengah duduk di bawah naungan rindangnya pohon yang berdiri kokoh, lelaki itu seakan tak memiliki daya bahkan hanya untuk mengambil nafas demi hidupnya sendiri.

Untuk apa ia bernafas? Kalau alasannya untuk hidup sudah terenggut beberapa hari lalu. Ia masih saja melakukan hal yang sama. Pukul 5 pagi, ia akan menyeret tubuhnya untuk ke lokasi ini dan nantinya pukul 5 sore ia akan menyeret dengan berat hati untuk kembali ke mansionnya.

Sebuah tempat yang sepi, dengan beberapa gundukan di sekelilingnya. Di bawah naungan pohon ini, lelaki itu dapat melihat gundukan yang ia sukai-ralat-maksudnya di dalam gundukan itu ada gadis yang ia suka bahkan mungkin cinta.

Ia melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, pukul 5 sore. Perlahan ia bangkit, menyeret kedua kakinya untuk mendekati gundukan itu. Tangannya terulur, menyentuh nisan di depannya. Ia menggigit bibirnya, matanya terpejam sementara airmata sudah mengalir melewati pipinya dan membasahi makam itu. Sesak di dada yang ia rasakan, tangannya meraba nisan itu berharap bahwa nama yang ia raba bukan nama gadisnya.

Brigitta Rosella.


o0O0o


Lelaki itu, kini berada di sebuah cafe. Dengan beberapa cangkir bekas kopi yang ia tenggak sedari beberapa waktu yang lalu. Tangannya terulur ke atas, memanggil pelayan yang ada.

"Black coffee no sugar, please .."

Wanita itu tersenyum, "apa tidak ada pesanan lain, tuan? Kami memang akan menyediakan untuk tuan.. tapi kami tidak ingin tubuh anda akan bermasalah dengan black coffee yang tuan pesan sedari tadi"

"Tidak ada.. sediakan saja itu"

Wanita tadi kembali ke dapur, tak lama kemudian tangannya dengan nampan yang berisi black coffee dan beberapa cake tersedia di hadapan lelaki itu.

"Ini, untuk tuan Brian yang terhormat. Nikmati saja, sekalipun tidak memesan."

Brian terdiam, tak menanggapi apapun yang pelayan itu katakan. Ia menelusuri raut wajah wanita itu, mungkin seusia dengannya? Entahlah.

Brian masih mengamati wanita itu, bahkan ketika ia sudah kembali melayani pelanggan yang lain. Ia menyentuh gelasnya dengan kedua tangannya, rasa panas menjalar melalui pori pori merambat memenuhi setiap tubuhnya.

Perlahan, ia menyesap lagi kopi hitam dan pekatnya itu. Ia tak suka manis, untuk hal yang ditakdirkan menjadi pahit. Ia tersenyum miris, melihat tingkah pelayan tadi mengingatkan pada Brigitta tanpa ia sadari.

Dan tanpa ia izinkan, otaknya menampilkan memori ketika ia menjadi pembunuh yang sadis.


Flashback

Brian terduduk, lemas tak berdaya ketika ia mendengar kabar bahwa Brigitta tiada. Di dalam ruangan 1412 ia tertawa hambar, Brigitta tiada berkat orang ini. Dihadapannya, Adam sang sahabat yang sama shocknya dengan dirinya.

Brian mengambil pisau dari sakunya, pisau yang lama tak lagi ia kenakan sejak terakhir ketika ia bersumpah tak lagi membunuh siapapun.

Pisau itu, tak lebih dari pisau berkarat yang sudah lama tak tersentuh dan tak terasah. Ia bangkit berjalan mendekati Adam yang kini wajahnya pucat pasi.
Oh jangan menganggap Adam adalah pria bodoh yang tak tahu apa yang selanjutnya terjadi. Ia jelas tahu pasti, apa yang akan Brian lakukan.

"Kenapa kau membunuhnya"

Bersamaan dengan pertanyaan itu, keluarlah teriakan yang menggema di ruang 1412. Brian mengiris jari kelingking Adam perruasnya. Ruas jari itu menggelinding, Adam menatap Brian nanar, memohon ampun padanya.

Sedangkan Brian hanya terkekeh, "Kenapa? Oh.. kau kesakitan? Apa saat itu, kau melepas Brigitta yang juga sama kesakitannya dengan dirimu?" Brian memegang kelingking Adam yang hanya tersisa dua ruas. Darah segar mengalir dari sana, anyirnya bau yang menyusup rongga pernapasan Brian tak mengganggunya sama sekali. Tangannya kini di penuhi darah Adam.

Ia menyesap aroma itu dalam dalam. Sesekali terkekeh dengan tingkahnya sendiri, "ini kan yang kau lakukan terhadap korban korbanmu?" Pertanyaan retoris itu meluncur bersamaan Brian yang menjilat darah milik Adam.

Lalu tanpa butuh izin siapapun, Brian memotong tiap ruas jari milik Adam. Ruangan itu penuh dengan suara gema penderitaan Adam. Ruas demi ruas terkoyak habis dengan pisau itu. Darah demi darah mengalir memenuhi ruangan 1412.

"Oh.. aku juga ingat .. mata Brigitta sepertinya kau renggut juga.." seringaian Brian tercetak di raut wajahnya. Ia menjilat pisau itu, rasa khas darah dan bau karat bercampur dan memenuhi rongga mulutnya.

Brian terkekeh lagi dan lagi, sensasi lama yang sudah tak ia rasakan kini dapat ia cecap lagi. Brian menarik kelopak mata Adam yang terpejam kuat mengirisnya dalam beberapa sentakan dan koyakan. Perlahan mata Adam memerah terkena tetesan darah yang mengucur dari bekas kelopaknya. Tak perlu waktu lama lagi, Brian menusukkan pisau itu ke sudut matanya, lalu mencongkelnya dalam beberapa kali gerakan.

Teriakan Adam menjadi nada tersendiri bagi Brian. Lagi dan lagi, satu mayat tergeletak.

Saksi itu, hanya diam. Tak berani bersuara bahkam tak berani mengedipkan mata.

Flashback Off


o0O0o


Selamat menikmati :)

Salam hangat,

DellAila



BLACK ROSE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang